Sesaat ketika Agung Sedayu serta yang lain memasuki bagian dalam rumah, ada dua penjaga yang menyambut kedatangan mereka. Pangeran Selarong dan Ki Lurah Plaosan mengerutkan kening. Mereka menyangka akan ada lebih dari lima orang yang berjaga di dalam rumah untuk mengawasi lebih dari tiga puluh tahanan. Pikiran mereka berputar lebih kencang saat melihat sekat pemisah yang begitu rapat sehingga suara pun pasti kesulitan merambat.
Walau tingkat keamanan terpasang secara rahasia, menurut Pangeran Selarong, itu bukanlah sebuah kewajaran yang dapat diterimanya. “Bagaimana Nyi Pandan Wangi hanya meninggalkan dua penjaga untuk sekian banyak orang yang terpisah dalam beberapa bilik?” tanya Pangeran Selarong.
Mendengar pertanyaan yang ditujukan padanya, Pandan Wangi lebih memilih untuk diam. Menurutnya, pengamanan di dalam rumah itu adalah yang terbaik jika dibandingkan dengan penjara di barak pasukan khusus Tanah Perdikan atau Ganjur.
Setelah menunggu jawaban Pandan Wangi yang tak kunjung mengudara, Pangeran Selarong lagi-lagi harus dapat menahan diri. Meski ingin mencecar lalu memarahi Pandan Wangi habis-habisan, tapi keberadaan Agung Sedayu dan Kinasih seolah menjadi belenggu yang sangat kuat baginya.
Dalam waktu itu, Agung Sedayu kemudian berjalan menghampiri dua penjaga lalu berkata, “Ki Sanak berdua dapat berjaga di luar. Saya ada beberapa kesibukan yang bersifat tertutup.”
Dua pengawal pedukuhan itu mengangguk. Kemudian salah satu dari mereka berkata, “Baik, Ki Rangga. Jika ada keperluan penting, Ki Rangga dapat memerintahkan kami untuk melakukan sesuatu. Kami mohon diri.”
Agung Sedayu mengangguk lalu berjalan memeriksa keadaan serta kedalaman rumah tahanan. Rumah itu terbilang cukup luas itu memang cukup untuk dijadikan tempat berhimpun sekitar lima puluh orang. Dalam waktu singkat dengan bantuan pengawal pedukuhan, Pandan Wangi merombak ruang-ruang di dalam rumah serta menambahkan beberapa bahan agar udara tidak mengalir bebas lalu menjadi penghantar suara. Pada kesempatan itu, ujung jari Agung Sedayu mengetuk acak lonjoran bambu yang menjadi penyekat dan ternyata di dalamnya berisi bahan padat. Dalam hatinya, senapati pasukan khusus itu memuji kecerdasan Pandan Wangi menata ulang rumah pada bagian dalam.
Diiringi Pandan Wangi yang bicara dengan berbisik, Agung Sedayu dapat mengerti latar belakang perempuan tangguh itu saat memutuskan untuk menahan petugas sandi Mataram. Namun, Agung Sedayu segera mengerutkan kening ketika Pandan Wangi memintanya supaya tidak menjelaskan latar belakang pemikiran itu pada Pangeran Selarong.
Kegiatan Agung Sedayu dan Pandan Wangi diiringi sorot mata tajam Pangeran Selarong. Putra mendiang Panembahan Hanykrawati itu tidak dapat turut dalam pemeriksaan keamanan itu karena perintah Agung Sedayu pada dua pengiringnya, Ki Lurah Plaosan dan Kinasih. Dalam perjalanan mereka menuju rumah tahanan, Agung Sedayu memberi isyarat tangan yang dapat dipahami Ki Lurah Plaosan dan Kinasih. Mereka berdua diminta olehnya membatasi pergerakan Pangeran Selarong apabila mereka sudah berada di dalam rumah tahanan. Sepertinya Agung Sedayu jeli membaca gelagat pangeran Mataram yang tidak mampu menutup perasaannya pada Kinasih. Pada waktu itu, Kinasih mampu menjalankan perintah dengan sangat baik sehingga dapat membuat Pangeran Selarong tampak kikuk pada setiap gelagatnya.
Pada siang hari itu, di jalanan dan lorong-lorong pedukuhan, sejumlah pengawal yang bertugas sebagai penghubung serta telik sandi disibukkan pula oleh geliat pasukan Ki Garu Wesi di Pedukuhan Janti. Mereka yang bertanggung jawab pada keamanan wilayah saling berusaha memastikan kebenaran berita yang mereka peroleh. Dari pengawal Pedukuhan Janti, para petugas sandi Jagaprayan mendapatkan keterangan tentang geliat sejumlah orang asing di sekitar Watu Sumping. Berdasarkan pengamatan dan pendalaman yang dilakukan oleh para ketua kelompok pengawal Janti, mereka sepakat pada titik kesimpulan bahwa orang-orang asing itu adalah pengikut Raden Atmandaru. Berikutnya adalah terjadi kesepakatan antar kepala pengawal dari dua pedukuhan tersebut bahwa perkembangan itu hanya dilaporkan pada Dharmana. Swandaru menjadi nama yang dilupakan mereka atas sebab-sebab tertentu. Meski sempat terjadi perbantahan, tapi kebanyakan orang sepakat ; apakah laporan akan diteruskan pada Swandaru atau tidak? Terserah Dharmana.
Kabar mengenai kelanjutan gerakan makar di Pedukuhan Janti akhinya mencapai pendengaran Gemantar. Kepala pengawal Pedukuhan Jagaprayan ini segera membawa persoalan ke rumah tahanan. Dia tahu bahwa di sana sedang berkumpul sejumlah orang yang dapat menjadi pemutus akhir. Setibanya di regol rumah tahanan, Gemantar dihentikan oleh dua penjaga. Dari dua orang itu, Gemantar menjadi gamang, apakah dia tetap meneruskan berita terbaru pada Pandan Wangi dan Agung Sedayu atau menunggu perkembangan berikutnya? Selain dua nama tersebut, Gemantar dan dua penjaga memang tidak mengetahui jati diri tiga orang yang menyertai Pandan Wangi maupun Agung Sedayu.
“Apakah kalian dapat meminta Ki Rangga atau Nyi Pandan Wangi keluar sebentar?” tanya Gemantar pada penjaga rumah.

Seseorang yang tampaknya berusia sedikit banyak kemudian menjawab, “Kami hanya diperintahkan masuk apabila Ki Rangga membutuhkan sesuatu. Bukankah Kakang adalah kepala pengawal?”
Gemantar mengernyitkan dahi. Dia memang kepala pengawal dan sedikit lebih leluasa bila ingin mengabarkan sesuatu pada dua pemimpin mereka. Tapi rasa segan di hatinya ternyata lebih kuat daripada desakan keadaan di Pedukuhan Janti. Gemantar kemudian duduk sambil menenangkan diri. Bagaimanapun, walau ancaman dari Janti mulai menyebar dan menuju Jagaprayan, tapi beliau berdua pun mempunyai bahasan tak kalah penting, pikir Gemantar menghibur hati.”Lagipula, siapa tiga orang yang lain itu? Bagaimana jika mereka adalah serigala yang menyamar seperti yang dipesankan Nyi Pandan Wangi agar kami berhati-hati pada banyak orang?” ucap Gemantar dalam hati.
Kesabaran dan kesadaran Gemantar pun membuahkan hasil. Agung Sedayu, Pandan Wangi dan Pangeran Selarong tampak berjalan beriringan menuju pintu utama rumah tahanan. Sepertinya ada percakapan yang melibatkan tiga orang tersebut menurut penglihatan Gemantar. Dia masih duduk menunggu hingga kaki Agung Sedayu terlihat melangkahi tlundak.
“Ki Rangga,” ucap Gemantar sambil beranjak dari bangku panjang yang terletak di samping regol halaman.
Agung Sedayu berpaling pada kepala pengawal pedukuhan itu dengan kening berkerut karena ayun kaki Gemantar tampak tergesa-gesa.
Raut wajah Gemantar masih menampakkan kegamangan yang sedang bergolak dalam hatinya. Untuk menenangkan kepala pengawal itu, Agung Sedayu kemudian berkata, “Beliau adalah Pangeran Selarong. Kakang bebas mengatakan apa saja di depan beliau.” Agung Sedayu masih menggunakan sebutan kakang – untuk memperlihatkan rasa hormat pada setiap pengawal pedukuhan.
Gemantar lantas membungkuk hormat pada pangeran Mataram,berturut-turut pula pada Pandan Wangi yang berjalan di belakang Agung Sedayu. Sejenak kemudian, setelah mengatur napas, kepala pengawal itu melaporkan perkembangan terbaru di Pedukuhan Janti dan sekitar Watu Sumping.
“Ternyata mereka cukup mempunyai keberanian,” desis tajam Pangeran Selarong dengan nada yang menggaungkan kegeraman.
Agung Sedayu meraih pundak Gemantar lantas berkata, “Saya terima laporan Kakang. Kami segera membahas persoalan itu. Dalam beberapa waktu ke depan, Kakang dapat membantu kami dengan meminta agar para pengawal menggandakan kesiagaan.”
“Saya, Ki Rangga,” sahut Gemantar lantas meminta diri.
Yang terhormat Pembaca Setia Blog Padepokan Witasem.
Kami mengajak Panjenengan utk menjadi pelanggan yang lebih dulu dapat membaca wedaran Kitab Kyai Gringsing serta kisah silat lainnya dari Padepokan Witasem. Untuk mendapatkan kelebihan itu, Panjenengan akan mendapatkan bonus tambahan ;
Kitab Kyai Gringsing (3 Jilid PDF) dan Penaklukan Panarukan serta Bara di Bukit Menoreh (KKG jilid 4) bila sudah selesai. Caranya? Berkenan secara sukarela memberi kontribusi dengan nilai minimal Rp 25 rb/bulan melalui transfer ke
BCA 822 05 22297 atau BRI 31350 102162 4530 atas nama Roni Dwi Risdianto. Konfirmasi transfer mohon dikirimkan ke WA 081357609831
Tanya Jawab ; T ; Bagaimana jika Kitab Kyai Gringsing Buku ke-4 sudah selesai? Apakah akan ada kelanjutannya?
J ; Kami selalu berusaha memberikan yang terbaik demi keberlangsungan kisah..
Demikian pemberitahuan. Terima kasih.
“Mereka sudah merasa kuat dan cukup mendapatkan waktu,” kata Agung Sedayu setelah bayangan Gemantar menghilang di balik tikungan. “Jumlah pasukan sepertinya tidak menjadi persoalan besar bagi mereka.”
“Apakah mereka sudah memperhitungkan keberadaan pasukan berkuda Mataram lalu menyerang kita? Apakah itu tergolong nekat?” tanya Pangeran Selarong tanpa bermaksud menguji kecakapan Agung Sedayu. Sekilas matanya melirik tajam pada Pandan Wangi yang belum bersedia melepaskan petugas sandi Mataram yang ditahan, lantas putra raja itu berkata, “Anda harus bertanggung jawab apabila ada kulit petugas sandi yang tergores!”
Pandan Wangi tetap pada sikap semula yang menunjukkan seolah dirinya dan Pedukuhan Jagaprayan bukan bagian dari Mataram. Tapi Pangeran Selarong tahu bahwa dia tidak dapat menilai buruk perempuan tangguh itu. Tak lama kemudian, Pandan Wangi berkata, “Permasalahan ini bukan sesuatu yang mengejutkan karena semua masih berada di dalam perkiraan dan jangkauan.”
Pangeran Selarong menggerakkan rahang dengan tatap mata bertanya-tanya. Apa maksud perempuan itu dengan ucapannya?
Suasana yang tidak mengenakkan pun kembali menyeruak di antara Pangeran Selarong dan Pandan Wangi. Agung Sedayu segera mengambil alih pokok bahasan. Katanya, “Walau arah pergerakan makar memang dapat diduga, tapi tidak semestinya hal itu dianggap sebagai keadaan yang biasa saja. Kekuatan mereka tentu akan terbagi karena Watu Sumping, pedukuhan induk serta Jagaprayan adalah daerah yang cukup luas. Keberadaan pasukan dari kotaraja pun akan mendapat perhatian khusus dari mereka.”
