Baru sembuh dari sakit, tidak serta merta membuatku sehat wal afiat. Namun keharusan mengantar Panglima bertemu dokter, membuat aku harus merasakan kembali napas tersengal sekian
Pada pekan-pekan yang silam, ketika peperangan di Sumur Welut mendekati usai, sekelompok orang dalam jumlah yang cukup banyak bergerak menjauhi kotaraja. Iring-iringan ini merupakan pasukan
Agung Sedayu mengendapkan napas, udara begitu halus masuk dan keluar dari rongga hidungnya, pada saat itu pikirannya benar-benar menimbang keselamatan Ki Patih Mandaraka. Ia tidak
Aku mengira tenaga mereka lebih kuat dan lebih besar dari yang tergambar dalam ruang pikiranku. Kecepatan yang dimiliki para penyerangku pun sepertinya setara denganku. Dalam
“Rupanya pertemuan ini memang dirancang Agung Sedayu agar Anda mempunyai rasa iba padanya,” kata penggenggam Kiai Plered yang jelas mendengar percakapan dua orang di depannya.
Ki Swandanu lalu melanjutkan, ”Memang benar seperti yang dikatakan Angger Bondan. Saya maksudkan adalah memang benar ada perubahan akibat dari pengaruh orang-orang besar. Semenjak kehadiran
Detak jantung Agung Sedayu meningkat tajam. Bibirnya mengatup rapat dengan rahang terlihat mengeras. Meski demikian, belum ada keinginan darinya untuk membantah. “Benarkah ucapan itu, Ngger?”
Agung Sedayu menggeleng dan hanya menggeleng. Mungkinkah hanya bahasa itu yang dikuasainya? Perhatian suami Sekar Mirah tertuju pada kata-kata orang pertama penghadang mereka. Pikirnya, keberadaan
“Masuklah, pintu tidak terkunci!” perintah Raden Trenggana dari dalam. Gagak Panji mendorong pelan dan sedikit bunyi berdecit ketika pintu bergeser. Tak lama, ia telah berada
Ki Patih Mandaraka tidak mengucapkan sepatah kata, sepertinya ia sedang menunggu perkembangan. Menurut Ki Patih, tentu sesuatu yang penting dan mungkin juga menentukan apabila orang
error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.