Padepokan Witasem
Meraih Hatimu dalam Badai, Danur, novel baru, prosa liris
Bab 1 Aku dan Masa Kecilku

Aku dan Masa Kecilku 2

Di dalam kamar mandi, aku lucuti satu per satu bajuku yang basah. Sambil menyelupkan tangan ke dalam bak, aku ingin tahu ukuran dinginnya. ‘Dingin, sedingin es batu.’

Aku membatalkan niat untuk mandi. Tapi, badan dan rambutku kotor terkena cipratan air yang bercampur segala macam sampah di jalan. Kotoran kuda, sayur busuk, dan air selokan yang menghitam.

“Tok, tok, tok.” Suara ketukan di pintu membuatku tidak sempat berpikir panjang. Aku buru-buru mengguyur kepalaku.

“Danur, Ibu bawakan handukmu. Jangan lupa siram kepalamu dengan air supaya tidak pusing! Sesudah mandi segeralah makan, sudah Ibu siapkan!”

loading...

            “Matur nuwun, Bu.[1]

Ibuku adalah seorang perempuan yang sabar. Tuturnya halus menyentuh hati. Meski aku dianggap nakal oleh banyak orang, ibu tidak pernah marah. Hanya kalimat bijak dan nasehat-nasehat berharga yang keluar dari bibirnya. Bapak setali tiga uang dengan ibu.

Aku sangat menyayangi dan menghormati mereka.

Kesulitan dan keprihatinan hidup yang mendera sejak muda tidak membuat mereka patah harapan. Berbagai pengalaman hidup telah menempa, menjadikan mereka bijaksana dalam menghadapi berbagai persoalan rumah tangga. Mereka berdua adalah panutanku!

Aku mengingatnya dengan baik, terutama ketika ibu menilaiku tidak bersikap semestinya.

Tuturnya, “Bersikaplah sopan, selalu siap menolong, dan hormatilah orang yang lebih tua darimu. Jangan mengeluh tetapi syukurilah segala rezeki yang kamu dapat.

Pohon bisa tumbang, tapi tidak ada yang bisa menumbangkan semangatmu.”

“Jangan mudah menyerah, teruslah berusaha karena pasti ada hasilnya. Untuk meraih sukses dibutuhkan perjuangan. Allah menyaksikan setiap upaya hamba-Nya,” nasehat bapak padaku.    Dan itu selalu diulang olehnya. Tanpa bosan!

Bapak dan ibu mewarisi sikap embah[2] yang sabar dan nrimo ing pandum.[3]

Aku lahir melengkapi kebahagiaan mereka saat kedua orang tuaku baru mulai meniti karir sebagai guru sekolah dasar. Embah kakung dengan bangga memberiku nama karena aku adalah cucu pertamanya.

“Menangislah yang keras, Le![4]

 

 

[1] “Terima kasih, Bu”

[2] Sapaan untuk kakek dalam Bahasa Jawa

[3] Menerima nasib dengan ikhlas

[4] Sapaan untuk anak laki-laki dalam Bahasa Jawa

Wedaran Terkait

Aku dan Masa Kecilku 4

Yekti Sulistyorini

Aku dan Masa Kecilku 3

Aku dan Masa Kecilku 1

Yekti Sulistyorini

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.