Padepokan Witasem
geger, alas krapyak, api di bukit menoreh, mataram, kiai gringsing, kiai plered, panembahan hanykrawati, agung sedayu
Bab 6 Geger Alas Krapyak

Geger Alas Krapyak 1

Salah seorang pengawal mengerutkan kening. Kemudian, dengan sedikit kepala terangkat, ia berkata pada pengikut Raden Atmandaru,  “Baiklah, anggap saja kami dapat menerima ucapanmu, apakah kalian akan membiarkan kami tetap menuju Mataram?”

“Tentu saja tidak ada satu pun dari kalian yang boleh melenggang ke sana. Kami tidak sebodoh yang kalian kira, Ki Sanak. Kalian menggelikan. Benar-benar menggelikan,” sahut seorang yang lain dari kawanan Raden Atmandaru. “Aku kira akan lebih baik jika aku mengenalkan diri terlebih dulu supaya tidak ada prasangka buruk dalam hati kalian. Setidaknya, aku lebih menunjukkan sebagai laki-laki yang berterus terang tentang keadaan dirinya. Baiklah, namaku Ki Bluluk Rambang.” Dan seterusnya Ki Bluluk Rambang menerangkan tentang kedudukannya selama ini di Sangkal Putung serta tugas-tugas mereka dari Raden Atmandaru. “Orang yang menjadi panglima kami di wilayah ini adalah Ki Garu Wesi. Aku yakin kalian tidak akan pernah mendengar nama itu meski aku ucapkan seribu kali.”

“Siapa yang menjadi senapati kalian di Sangkal Putung? Itu tidak begitu penting. Tapi, katakan, apa yang dilakukan Ki Swandaru Geni? Kalian membawa pertanyaan-pertanyaan yang tidak berguna untuk dijawab. Kami bukan anjing yang mudah digertak dengan suara-suara yang terdengar seperti suara seekor monyet,” tukas salah seorang pengawal yang berambut panjang sebahu. Ia berusia lebih sedikit tua daripada Sayoga.

“Ternyata benarlah kabar yang banyak kami dengar, bahwa kalian adalah para petani dengan otak terpasung tetapi dipersenjatai,” kata Ki Bluluk Rambang lalu menderaikan tawa. Sejenak kemudian, ia meneruskan, “Kita semua tahu dan mudah teringat kegemaran Swandaru gemblung pada belahan-belahan daging yang tersimpan di balik pakaian. Apa yang dapat kalian dari pancaran mata Swandaru ketika melihat pantat-pantat penari tayub sedang bergoyang? Belakangan, tentu saja, aku yakin kalian menyembunyikan penglihatan sejak kedatangan Swandaru gemblung di kademangan.”

loading...

Dua pengawal Sangkal Putung bergeming. Mereka telah mengetahui kedatangan Swandaru bersama beberapa orang asing, tetapi mereka baru mendapatkan keterangan lebih jelas bahwa yang datang bersama Swandaru adalah orang-orang di balik gerakan makar.  Walau mereka mengerti kelemahan Swandaru namun – menurut para pengawal – tidak pantas mengucapkan begitu gambling atas segala yang diketahui. Tabu, pikir mereka. Salah seorang pengawal dengan menahan geram, kemudian berkata, “Otak kami memang terpasung tetapi kami bukan monyet berkutu yang latah menggaruk ketiak. Ki Bluluk Rambang, mengapa tidak engkau utarakan saja semua yang dapat memberatkan kami agar kami dapat berpihak padamu?”

Ki Bluluk Rambang menarik napas, menenangkan diri agar tidak terjebak pancingan pengawal Sangkal Putung selama ia belum meyakini kecenderungan mereka. “Aku dapat mengingatnya tanpa perlu berpikir.” Kemudian ia menyebut nama perempuan yang kerap menempelkan dadanya pada Swandaru gemblung. Ki Bluluk Rambang juga mengisahkan perbuatan-perbuatan mereka di Randu Lanang.  Lantas, sebagai penutup, ia mengatakan, “Mengapa kalian tidak berpikir tentang Agung Sedayu? Di mana ia sekarang? Sebagai senapati dan orang yang dipercaya Ki Demang Sangkal Putung, mengapa Agung Sedayu  menghilang  ketika orang gemblung datang? Senapati pengecut!” Sejenak Ki Bluluk Rambang berhenti berkata-kata. Seolah ia sedang memberi waktu bagi dua petugas sandi kademangan untuk mencerna segala ucapannya.

Seseorang yang berdiri di samping Ki Bluluk Rambang tertawa. “Hey, dengar! Kalian tidak dapat mengusir kami dari Gondang Wates meski istri Swandaru berada di sana dan mengatur segala sesuatu untuk kalian. Hasilnya? Kami masih berada di sini,” katanya dengan suara yang tidak sedap didengar. “Lalu, apa yang sedang kalian tunggu? Bantuan dari Mataram? Itu omong kosong! Mas Jolang dan serigala tua itu tidak akan sudi menarik kalian dari kesulitan. Pikirkanlah, cobalah hitung, berapa banyak prajurit yang harus dikorbankan untuk pembebasan Sangkal Putung? Apakah itu sebanding? Apakah bantuan datang karena kisah-kisah manis di masa lalu?”

“Apa yang kita tunggu, Kiai?” tanya Sukra lirih pada Pangeran Purbaya. Perasaan dan pikiran Sukra begitu tegang. Rahang dan bahunya telah mengeras. Tanpa sadar, Sukra telah menghimpun segenap kekuatan yang tersimpan dalam dirinya.

Pangeran Purbaya pun memberi isyarat agar anak muda Menoreh itu tetap bersikap tenang. “Perkembangan selanjutnya dapat diduga, tetapi kita tidak boleh gegabah.”

“Saya, Pangeran. Saya akan bergeser tempat, barangkali ada pengawal yang saya kenali,” ucap Sukra lirih. Ia bergerak dengan bunyi gemerisik yang halus dan tersamar oleh derit dahan yang diterpa angin. Sedikit ke utara, sedikit lagi hingga ia dapat mengenal dan yakin bahwa satu dari pengawal adalah seseorang yang pernah bertempur bersama di Gondang Wates.

“Sukra!” kata Pangeran Purbaya hendak menahan pengawal Menoreh tetapi Sukra telah menutup telinga rapat-rapat.

Di hadapan mereka, dalam bentangan jarak sekitar lima tombak, Ki Bluluk Rambang dan anak buahnya berdiri dengan sikap seakan menantang orang-orang yang memandang mereka. “Satu kemungkinan yang sebaiknya ada di dalam otak Sangkal Putung yang terpasung : mungkinkah Agung Sedayu berniat menarik lengan Pandan Wangi lalu melemparkan Sekar Mirah? Pikirkan itu! Karena kalian juga tahu Agung Sedayu enggan membunuh Swandaru walau adik seperguruannya itu berulang-ulang bertingkah deksura padanya. Apa yang dapat menahan tangan Agung Sedayu begitu kuat? Ya, tentu saja, tentu saja alasan itu adalah Pandan Wangi. Bila Swandaru terbunuh di Gondang Wates, Agung Sedayu adalah orang yang sangat pantas menjadi penguasa Tanah Perdikan selanjutnya.”

Tak ada yang bergerak. Tidak satu pun dari dua orang Sangkal Putung yang bertindak. Pada waktu itu, raut wajah Pangeran Purbaya begitu tenang ketika menatap dua baris orang yang bertentangan di depannya.

Promosi ; Pakan Burung

“capan anak buah Raden Atmandaru sungguh keterlaluan! “Mereka menodai nama Ki Lurah. Ini harus ada perhitungan!” Berawal dari kalimat buruk yang dibidikkan pada Agung Sedayu, Sukra bertekad membalik keadaan pengawal Sangkal Putung dari yang diburu menjadi pemburu. Tanpa perlu persetujuan Pangeran Purbaya? “Tidak perlu aku meminta izin pada Pangeran. Ki Lurah adalah urusanku!” desis Sukra dalam hati.

Tiba-tiba Sukra memutuskan untuk mengambil alih kendali keadaan. Gemblengan singkat Nyi Ageng Banyak Patra mampu meningkatkan kemampuan Sukra lebih pesat dan lebih tajan dari perkiraan orang. Sepasang anak panah berada dalam genggamnya, Sukra berkelebat seakan lebih cepat dari kepak sayap burung-burung malam dan kelelawar. Tidak ada bentakan atau lengking suara yang digaungkan Sukra. Serangannya benar-benar senyap. Sangat senyap!

Delapan orang berpaling ke arah yang sama. Tubuh mereka membeku dan seperti lumpuh karena terpaan serangan Sukra yang tidak disangka-sangka!

Seorang anak buah Raden Atmandaru terjengkang, sabetan anak panah Sukra menyilang pada permukaan dadanya. Lima orang meloncat mundur, ternganga dan bingung menyaksikan yang terjadi pada rekan mereka.

“Iblis atau setankah itu?” Demikian isi pikiran penganut makar.

Sukra tidak berhenti pada pijakan kaki yang pertama. Gebrakan awal Sukra begitu sangar dan mengerikan! Ia memancarkan wajah yang benar-benar ganas. Sepasang anak panahnya siap menjadi taring yang siap merobek kulit orang yang menghadang gerakannya.

“Sukra!” seru pengawal Sangkal Putung ketika mengenali sosok pemuda yang pernah melepaskannya dari tekanan pemberontak di Gondang Wates. Ya, ia juga teringat seorang anak muda yang lain, Sayoga. Namun demikian, pengawal tersebut sebenarnya masih mengira-ngira jati diri orang yang tiba-tiba memanaskan suasana.

 

Sebelumnya : Bab 5 Merebut Mataram

Wedaran Terkait

Geger Alas Krapyak 91

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 90

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 9

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 89

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 88

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 87

kibanjarasman

2 comments

Risang Jati 16/08/2022 at 16:32

Maturnuwun Ki, wedaranipun manteb sanget, sedikit masukan nggih ki :

Dalam cerita kitab kiai gringsing, bab 6 (geger alas krapyak 1) pada baris terakhir pengawal sangkal putung langsung mengenali sukro, padahal pada bab 5 bagian akhir diceritakan sukro sudah menyamar bersama pangeran purbaya dan sangat sulit dikenali.

Reply
kibanjarasman 18/08/2022 at 18:25

betul, ki..
Pengawal tersebut mengenali sosok = sebenarnya masih menebak-nebak tapi karena pengen mempersingkat uraian jadi ya langsung aja..makanya saya rangkai sekalian dengan menyebut “Sayoga”.. dan sudah saya tambahkan agar tidak membingungkan.

demikian dan terima kasih masukkannya.

Reply

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.