Padepokan Witasem
geger, alas krapyak, api di bukit menoreh, mataram, kiai gringsing, kiai plered, panembahan hanykrawati, agung sedayu
Bab 6 Geger Alas Krapyak

Geger Alas Krapyak 19

Ki Sor Dondong menjadi orang pertama dari rombongan besar yang menginjakkan kaki di Karang Dowo. Selebar jarak pandangnya, Ki Sor Dondong merasa bahwa tanah lapang yang tergelar di depannya adalah tempat yang baik untuk mengawali serangan fajar atau lebih cepat dari itu. Perintah berikutnya adalah agar setiap orang mengambil waktu dan tempat yang cukup untuk istirahat. “Itu tidak akan lama. Kita tidak beristirahat hingga pagi hari. Ambil secukupnya, setelah itu, kita harus membuat persiapan untuk menapaki hari yang lebih baik dari kemarin,” ucap Ki Sor Dondong di depan para ketua regu dalam pembicaraan singkat.

Perjalanan mereka terhenti untuk sesaat. Tidak lebih lama dari sepenanak nasi. Sejumlah pengamat melaporkan bahwa di depan mereka ada aliran sungai kecil dengan beberapa batang pohon yang dapat dijadikan jembatan sekedarnya.

“Namun kita akan kesulitan memindahkan beberapa alat berat,” kata Ki Sor Dondong lirih setelah mendengar keterangan dari pengamat yang disebarnya.

“Kita dapat mengurai peralatan itu, Kiai,” ucap seorang ketua regu.

loading...

Sejenak Ki Sor Dondong menatap ketua regu itu sinar mata tajam, Kemudian katanya, “Benar. Engkau berada di sini, dan untuk kepentingan itulah engkau akan menjadi orang pertama yang membuka jalan kemuliaan.”

“Kiai terlalu memuji,” sahut ketua regu yang bernama Ki Astaman. Ia adalah orang yang merakit banyak potongan kayu berbagai ukuran menjadi sebuah alat pelontar batu dan besi. Kemampuan yang diperolehnya ketika berkelana di wilayah utara Jawa. Pergaulannya yang luas dengan prajurit-prajurit tua – yang sempat mendalami ilmu perang turun temurun dari zaman Demak hingga Pajang – menjadikannya sebagai orang yang mahir membangun alat pelontar berbahan kayu.

Sebagian orang yang dipilih menjadi senapati dalam susunan pasukan Raden Atmandaru segera mendapat pengarahan singkat dari Ki Sor Dondong. Mereka beranjak bangkit dengan semangat dan kepercayaan diri tinggi untuk menggeser dua alat pelontar lebih dekat ke sungai.

Sementara itu,dari tempat yang lepas dari perhatian banyak orang, Sukra memperhatikan sejumlah kelompok yang tidak menggunakan waktu untuk istirahat. Sepertinya mereka sedang mengumpulkan batang atau dahan sepanjang kaki dan berbentuk yang agak luru. “Mereka tidak hanya membekali diri dengan senjata tajam yang beraneka bentuk, tetapi kayu-kayu pun tidak lagi berserakan. Apakah mereka sedang membuat anak panah yang cukup besar?” Sukra memandang sekeliling untuk meyakinkan diri bahwa tidak ada orang yang memperhatikan gerak geriknya. Pandulu Jaya telah lebur bersama kelompoknya. Maka Sukra pun melangkah dengan sikap yang wajar. Ia menutup rapat pintu cemas dan gelisah yang sesekali berusaha mendobrak keluar dari dalam dadanya. Lantas Sukra tampak bergabung dengan kelompok orang yang bekerja mengumpulkan dahan atau batang kayu yang diinginkan oleh Ki Sor Dondong.

Ketika  beberapa tumpuk kayu telah terlihat, Ki Sor Dondong mendekati para pekerja, lalu katanya, “Buatlah runcing pada salah satu ujungnya. Kita akan lepaskan panah raksasa sebagai kejutan bagi mereka.”

Jarak Sukra dan Ki Sor Dondong cukup dekat, tetapi belum cukup untuk menjelajahi paras wajah pemimpin pasukan pemukul Raden Atmandaru itu. Sepintas Ki Sor Dondong seperti orang kebanyakan, tetapi sorot matanya mengingatkan Sukra pada orang yang dikaguminya. “Pancaran matanya seperti milik Ki Lurah,” desis Surka dalam hati, “agaknya orang ini bukan orang sembarangan dan berkemampuan biasa saja. Namun Sukra tidak membiarkan pikirannya bergerak liar dengan membuat banyak prasangka. Ia masih harus menuntaskan pengamatan dan akibat yang ditimbulkan bila panah raksasa itu tertancap kuat di Gondang Wates. Apakah akan menakutkan orang-orang? Bila panah mengenai sebuah bangunan, apakah bangunan itu dapat bertahan? Bagaimana bila ujung panah telah terbakar? Segala jawaban sepertinya membuat Sukra tampak terganggu. Ia belum siap dengan perkembangan baru yang terjadi di dalam laskar pemukul lawan. Selain itu, upayanya untuk membuat kekacauan dari dalam juga belum menemukan waktu yang tepat. Meski demikian, Sukra tidak ingin tergesa-gesa melaksanakan perintah Pangeran Purbaya. Lebih baik tetap bersama mereka ketika serangan dimulai. Keselamatannya menjadi perhatian Pangeran Purbaya. Bila penyamarannya terbongkar lalu keributan gagal ditunaikan, bukankah itu adalah kerugian bagi Mataram dan Sangkal Putung? Jika terkuak, apa yang dapat dikatakannya di hadapan Pangeran Purbaya?

Agar dapat mempunyai penilaian secara keseluruhan, Sukra berpindah pada kelompok-kelompok yang lain. Cahaya memang tidak mencukupi untuk menerangi Karang Dowo, dan itu menjadi keuntungan yang dimanfaatkan Sukra sebaik-baiknya.

Selembar waktu mengapung kemudian, Ki Sor Dondong duduk melingkar bersama para punggawa lainnya. Sukra menempatkan diri pada jarak yang cukup untuk mendengar. Ia berdiri tegak seolah sedang menjaga suasana pertemuan.

“Sangkal Putung tidak lebih jauh dari ini,” kata Ki Sor Dondong sambil melemparkan sebuah ranting kecil.

“Pekerjaan ini tidak akan menjadi semakin mudah,” tambah seorang ketua kelompok.

“Memang. Pekerjaan kita justru akan menjadi semakin berat meski para petugas sandi mengatakan bahwa Sangkal Putung tidak lagi diperkuat oleh orang-orang yang mumpuni. Itu adalah laporan sepekan yang lalu atau kurang dari tiga hari kemarin. Maka, aku minta kalian semua tetap waspadan dan menjaga kesiagaan dalam batas tertinggi, Ki Sor Dondong menegaskan.

“Kiai, bila cuaca nanti sama dengan sekarang, apakah itu akan membuat perbedaan? Atau kita dapat mengambil keuntungan di bawah cahaya yang terang?” bertanya seorang ketua regu.

“Pertanyaan yang bagus,” kata Ki Sor Dondong, “sebenarnya kita mempunyai pilihan dengan menunda serangan. Kita masih mempunyai bahan pangan yang cukup dan jumlah pasukan yang berlum berkurang.” Sejenak ia berhenti untuk mengatur napas. Lanjutnya, “Yang harus dapat kalian cegah adalah luapan perasaan yang berlebihan. Kita semua mengerti bahwa para prajurit dalam keadaan bosan. Kebosanan yang sangat menjemukan. Mereka,seluruhnya, sedang menunggu kesempatan ini. Sama dengan kawan-kawan kita yang sedang berada di kotaraja. Mereka sedang menunggu musim yang tepat untuk berburu. Mereka sedang menunggu waktu yang sama dengan Raden Mas Jolang. Namun perbedaannya adalah Raden Mas Jolang memburu dan menangkap kidang, sedangkan kita memburu kepalanya. Ini, ini persoalannya meski tidak sama dengan yang kita hadapi di Gondang Wates. Kita tidak sedang berburu, tetapi melumpuhkan ekor Mataram lalu memutus lumbung pangan  yang terdekat dengan kotaraja. Lebih cepat kita menguasai Sangkal Putung, itu akan memudahkan Ki Sekar Tawang dan yang lain mengendalikan keadaan di pasar-pasar kotaraja.”

Sejumlah orang menatap lekat wajah Ki Sor Dondong dengan harapan yang berbunga-bunga. Mereka sedang menanti jawaban yang melegakan.

“Tetapi keadaan dapat berbalik menjadi lebih buruk bagi kita apabila serangan kilat harus ditunda  dengan alasan yang sulit diterima nalar sehat. Ya, memang benar, cuaca terang dan langit yang benderang akan memudahkan Sangkal Putung maupun Gondang Wates melihat pergerakan kita. Beberapa petugas sandi melaporkan bahwa Gondang Wates atau Sangkal Putung masih berusha mengirim orang ke Mataram, tetapi orang-orang kita sanggup menggagalkan mereka. Bila tidak ada perubahan atau perkembangan yang tidak kita ketahui, Sangkal Putung adalah musang yang tak lagi bergigi.”

Mendengarkan Ki Sor Dondong berpanjang kata, Sukra segera melupakan bayangannya mengenai cahaya matahari yang menembus kerapatan daun dan ranting. “Esok atau tidak sama sekali,” desisnya dalam hati. Bahkan ia merasa harus meminggirkan harapan untuk dapat bertemu dengan Agung Sedayu di Pajang, meski sempat bimbang sebelumnya ; meninggalkan Sangkal Putung atau berlanjut mengayun senjata bersama Pandan Wangi?

Lagi, Ki Sor Dondong terdengar suaranya ketika berkata, “Mari, sekarang adalah waktu bagi kita untuk menentukan yang pantas menjadi penguasa Sangkal Putung.”

Para senapati segera bertempik sorak.

Namun Ki Sor Dondong cepat menyuruh mereka agar diam! “Jangan ada lagi suara yang menggema hingga udara Sangkal Putung meski kita sudah bertempur di sana.”

Wedaran Terkait

Geger Alas Krapyak 92

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 91

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 90

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 9

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 89

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 88

kibanjarasman

4 comments

mbah Karyono 11/03/2022 at 11:01

apakah ceritanya sampai disini ataukah menunggu Agungsedaya sehat kembali ? jangan jangan disana lagi PPKM hahaha

Reply
kibanjarasman 14/03/2022 at 15:24

belum bisa ketik lanjutannya, Ki.. ada gangguan..

Reply
Panca budi 14/03/2022 at 22:06

Mugi dimudahkan semua urusannya Ki… Sambil membaca ulang.. Daem tunggu wedaran selanjutnya… Nuwun

Reply
kibanjarasman 15/03/2022 at 10:21

matur nuwun perhatianipun, ki..

Reply

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.