Padepokan Witasem
KBA

Ia Bernama Sanumerta 3

“Ketahuilah! Kegelapan ada karena kejahatan yang disebabkan oleh cinta,” Sanumerta berkata datar. Wajahnya tidak menunjukkan perubahan yang menyiratkan gejolak perasaannya.

Orang alim yang berpakaian coklat itu kemudian menggetarkan bibirnya, “Angin berdesah melewatiku dan aku tahu kau tidak memiliki belas kasih, lalu kau bicara seperti itu padaku. Hari ini.

“Orang yang tidak mempunyai belas kasih dan menyimpan cinta dalam hatinya, sebenarnya ia tengah menempuh perjalanan panjang. Sebuah lorong kelam yang harus ia lewati tanpa kaki untuk berjalan, tiada tangan untuk memegang dan sayap yang enggan bertumbuh.”

Sanumerta berpaling. Ia mendengus.

loading...

Kasar menarik lengan orang alim lalu geramnya, “Aku seorang pejalan kaki. Bertegur sapa dengan iblis saat melewati jalanan penuh duri. Ia melihatku dalam terang matahari. Ia memujaku layaknya seorang nabi. Aku tidak berada dalam lorong derita seperti yang kau ucapkan. Di bawah benderang, aku melihat segalanya. Aku melihat kekejaman dari sebuah kekuatan yang tak terbantahkan. Aku menjadi saksi ketika berdiri di puncak gedung yang menjulang tinggi.”

“Bila begitu, sesungguhnya engkau tumbuh dalam duri.”

“Aku tidak peduli! Aku tak ingat lagi warna dan rasa yang bertempat dalam hati. Untuk kau pahami, iblis telah aku ludahi.”

“Kau berkisah padaku tentang keluarga yang kelaparan. Perawan yang ditelantarkan. Wanita yang terabaikan. Satu wajah yang berada dalam persimpangan. Seseorang berdiri didepanku setelah ia menelan dalam kekenyangan sementara ia menghirup napas kehidupan orang lain.” Orang alim memandang Sanumerta dengan sorot mata menyayat hati.

“Aku berulang mendengarnya dari orang-orang yang berkata di atas mimbar. Pada setiap menara-menara yang bergantung pada kaki langit, orang banyak mengucapkan mantra dan puja puji, namun itu tentang diri mereka sendiri. Mereka yang mengaku sebagai kekasih.”

“Aku adalah sang kekasih,” kata sang alim dengan mata beralih.

Belati Sanumerta menjawabnya. Matahari masih bersinar terik ketika Sanumerta menanam orang alim di bawah pohon bidara.

Penjaga langit menggeliat dengan lidah membara. Memasung marah di bawah kelebat pedang mendesing prahara. Mereka menjadi saksi atas kematian orang dianggap sebagai manusia suci.

Sanumerta meringkik pongah. Telanjang belati membakar hatinya.

“Aku bukan pendosa!

Ia memberiku tanggapan yang salah. Ia menilai dirinya terlalu tinggi. Tak pantas ia bernapas lebih lama dari seekor nyamuk. Tak patut ia berjalan sebagai gembala,” gumam Sanumerta lalu meneruskan langkah.

Hari berganti minggu. Bulan terbit dan tenggelam. Musim terus bergulir tanpa lelah menuju batas penantian.

Gelap telah lingsir berganti mentari yang meretakkan tanah kering.

Sanumerta masih melangkah dengan tumit terbelah. Ketika mendekati tapal batas sebuah kota, ia membaca coret aksara.

“Selamat datang, Begundal.”

Ia tertawa. Walau pedih hati, Sanumerta masih menebar rasa menyelimuti dadanya yang terluka. Berbicara dengan bau mulut yang luar biasa. Berjalan dengan aroma tubuh yang tidak biasa. Bernapas dengan udara yang berbeda. Udara panas, anyir dan busuk!

Ia mendapat petunjuk saat bertanya kepada pengembara. Melangkah lebar memasuki sebuah rumah berhalaman lega. Berpayung pohon mangga dan berpagar rendah.

“Tanpa suara kau mengambil sarang di tempat ini.” Pengunci ilmu dengan suara lantang berseru padanya. Seorang lelaki separuh baya bertelekan tongkat melangkah mendekatinya.

“Aku butuh makanan dan tempat tinggal. Berapa yang engkau punya?” angkuh Sanumerta bertanya.

“Sebuah kepala dan sehelai jiwa berdosa.” Lelaki bertongkat yang seorang guru memandangnya dingin.

“Kau berkata seolah aku seorang pendosa yang datang kemari untuk melakukan perbuatan tercela.” Sanumerta bertatap mata.

“Pak Tua! Kau, dia dan mereka selalu berkata salah. Kau dan mereka selalu berpanjang kata mengenai sesuatui yang tidak terlihat mata. Yang hanya dapat dirasa, itu kalian kata.Aku mengerti mencuri adalah perbuatan dosa. Tetapi, merampokmu di tempat ini sudah tentu sulit dilakukan.”

Lelaki bertongkat menjawab lirih,”Itu pendapatmu.”

Orang menilai ia seorang guru. Sebuah gudang ilmu, kata mereka.

“Beri aku segenggam harta. Dalam waktu tak lama, kita akan berpisah.”

“Aku menolak perintahmu. Kau bukan Tuhan bagiku dan kau bukan seorang perampok. Kau telah katakan itu. Sekarang, lakukan yang kau suka.”

“Aku tidak ingin merebut jiwa orang merdeka.”

Wedaran Terkait

Wong Edan

admin

Terbit ; Novel Penaklukan Panarukan

kibanjarasman

Tanpa Tudung

admin

Satu Kata Saja

kibanjarasman

Rengkuh Ombak Panarukan

admin

Rahwana dan Wanita

kibanjarasman

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.