Padepokan Witasem
api di bukit menoreh, mataram, kiai gringsing, kiai plered, panembahan hanykrawati, agung sedayu
Lanjutan Api di Bukit Menoreh

Lanjutan Api di Bukit Menoreh 397 – 2

”Tampaknya segala sesuatu di barak pasukan khusus padepokan ini memang sudah selesai,” berkata Ki Waskita kemudian, ”apakah kesatuan-kesatuan yang direncanakan sudah mulai bergabung di barak?”

“Ki Lurah Kertawirya dan Ki Lurah Sanggabaya sudah mulai berada di dalam barak ketika pengembangan pasukan khusus sudah dimulai. Termasuk juga Ki Lurah Partajaya yang membawa para petugas untuk membangun juga sudah menempatkan beberapa kelompok dari pasukannya untuk bergabung dengan pasukan yang lain di barak,” kata Agung Sedayu lalu, ”dengan bantuan para pemimpin prajurit yang sudah berada di dalam barak maka latihan-latihan untuk menyusun tataran bagi para prajurit juga sudah mulai dapat dilaksanakan.”

“Oh,” Ki Gede Menoreh mendesah kagum dengan kecepatan Ki Rangga Agung Sedayu dalam mengembangkan kemampuan pasukan khusus Mataram yang berkedudukan di Tanah Perdikan Menoreh. Kemudian, ”Angger Agung Sedayu, apakah ada kemungkinan peningkatan kegiatan di barak itu karena keadaan yang berkembang di Panaraga?”

Ki Rangga Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia memang dapat membayangkan, jika pada akhirnya Mataram harus mengirimkan pasukan segelar sepapan untuk memadamkan gejolak yang terjadi di Panaraga.

loading...

“Ki Gede,“ berkata Ki Rangga, “yang kita harapkan, adalah sebuah penyelesaian dengan menghindari benturan kekerasan. Aku sendiri berharap bahwa perang tidak akan pernah terjadi dalam gejolak yang terjadi di Panaraga. Akan tetapi segala sesuatunya terserah Panembahan Hanyakrawati.”

KI Gede Menoreh mendengarkan penuh seksama dengan sesekali mengangguk dalam-dalam. Begitu pula Ki Wakita yang seakan-akan melihat isyarat yang biasanya terlihat oleh mata batinnya. Kemudian Ki Rangga melanjutkan, “Nah, untuk itulah aku mengharapkan kedatangan Glagah Putih dan  Rara Wulan yang sedang berhubungan terus menerus dengan Ki Patih Mandaraka.  Aku berharap ia akan banyak mendapat keterangan tentang perkembangan keadaan di Panaraga meskipun terus terang, bahwa jalur kekuasaan keprajuritan belum begitu jelas sejak Pangeran Jayaraga berada di Panaraga. Namun demikian masih tetap ada kemungkinan yang tersembunyi dari pengamatan petugas sandi, terutama Glagah Putih dan Rara Wulan. Seperti halnya jalur kekuasaan di Pajang yang telah dibayangi oleh Kakang Panji.”

Dalam bayangan di hatinya, Ki Waskita seakan-akan melihat apa yang terjadi di Panaraga. Hampir saja terlontar satu pertanyaan dari bibirnya. Wajah Ki Waskita mendadak mengesankan ada sesuatu yang menggelisahkan hatinya. Hampir saja terlontar satu pertanyaan dari bibirnya namun demikian ia masih mengekang dirinya untuk sekedar berbicara dalam perjalanan ke rumah Agung Sedayu.

Ki Gede dengan mengangguk-angguk lalu berkata, “Semoga angger Glagah Putih dan Rara Wulan dapat memperoleh banyak bahan sehingga yang demikian akan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi Panembahan Hanyakrawati dan Ki Patih Mandaraka.”

Sebenarnyalah Ki Rangga Agung Sedayu sendiri kadang-kadang tidak dapat menyembunyikan kecemasan hatinya. Dalam pada itu ia mengakui, bahwa banyak hal yang tidak diketahuinya tentang hubungan di antara pemimpin-pemimpin prajurit yang baru saja bergabung di Tanah Perdikan. Bahkan Agung Sedayu dapat melihat betapa para pemimpin keprajuritan di barak pasukan khusus belum mendapatkan ikatan batin yang erat, sehingga mereka bertindak sendiri-sendiri sesuai dengan perasaan masing-masing.

“Jadi bagaimana menurut pertimbangan, angger?“ bertanya Ki Waskita.

“Bagaimanapun juga aku telah diwisuda sebagai pemimpin tertinggi pasukan khusus ini, Paman,“ jawab Agung Sedayu, “aku akan dapat berbuat sebagai seorang yang berwenang penuh atas kelima lurah prajurit yang berada di bawah naunganku.”

“Apa maksudmu?“ bertanya Ki Gede.

“Jika memang keadaan memaksa, bukankah aku lebih baik menyerahkan kembali pasukan di bawah lima lurah itu ke Mataram dan menghadap Ki Tumenggung Wirayudha untuk sekedar mengumpulkan bahan yang sekiranya dapat membantuku dalam menyusun kekuatan pasukan khusus,“ jawab Ki Rangga , “aku kira hal itu lebih baik dari pada apa yang terjadi saat ini tetap dipaksakan juga tanpa menyentuh landasan yang menjadi sebab perpecahan. Karena dengan begitu pasukan khusus ini mungkin akan mengalami gangguan-gangguan yang akan dapat menyulitkan di masa mendatang”

Ki Waskita mengangguk-angguk. “Tetapi rasanya Ki Lurah Patrajaya dan Ki Lurah Kertawirya akan dapat mengerti langkah-langkah tegas yang akan kau tempuh, ngger. Namun, jika keadaan memang menjadi sangat gawat, maka apa boleh buat.”

Agung Sedayu menundukkan kepala kemudian berkata, “Sebagaimana Ki Waskita dan Ki Gede ketahui, aku adalah seorang prajurit. Aku sudah menyerahkan diri kedalam ikatan yang utuh bagi seorang prajurit. Aku masih tetap seorang yang mempunyai pertimbangan nalar budi, sehingga apapun keadaan yang dapat berkembang pada saat-saat terakhir, aku akan menentukan sikap. Selain itu beberapa waktu yang lalu aku sudah sepakat dengan para perwira yang terlebih dahulu ada di pasukan khusus sebelum kehadiran prajurit tambahan, bahwa kami akan mendahulukan kebersamaan yang telah terjalin lebih dahulu untuk kemudian dapat mempertimbangkan semua keadaan yang berkembang kemudian.”

Ki Gede Menoreh dan KI Waskita pun dapat memahami bahwa Agung Sedayu memang cukup cepat berpikir dan kematangan jiwa sudah masak. Ia tidak akan menggunakan kekuasaanya terlebih dahulu untuk mengendalikan bila terjadi gejolak di dalam pasukannya. Tetapi baginya, setiap gesekan yang dapat menimbulkan kekacauan di barak dapat dipergunakannya sebagai alasan untuk menggunakan kekuasaannya.

“Agaknya hal seperti itu mungkin bisa dimengerti, ngger. Mungkin besok bisa kita pertemukan lagi bila ada tambahan bahan-bahan yang mungkin saja dapat berkembang,” berkata Ki Gede.

Ki Rangga Agung Sedayu pun kemudian minta diri karena pagi-pagi harus berada di barak untuk menjalankan tugasnya sebagai pimpinan pasukan khusus Mataram. Namun begitu agaknya Ki Waskita akan bermalam di rumah Agung Sedayu maka Ki Waskita pun meminta diri pula kepada Ki Gede Menoreh.

“Oh bukankah Ki Waskita masih belum kalah macan-macanan?” berkata Ki Gede dengan senyum kecil mengembang sambil mengiringkan kedua orang kepercayaannya menuju tangga pendapa.

“Kiranya telah ada Angger Agung Sedayu yang jadi macan yang mengawal, Ki Gede,” Ki Waskita begurau dengan melirik Agung Sedayu. Seperti biasanya Agung Sedayu hanya menundukkan kepala mendengarkan gurauan kedua orang tua yang dihormatinya.

Malam yang semakin dalam pun terbelah oleh langkah kaki mereka berdua.

“Selamat malam,” sapa Agung Sedayu kepada para pengawal yang betugas menjaga gardu peronda di regol halaman depan.

“Agung Sedayu. Ki Waskita. Marilah duduk sebentar dengan wedang jahe serta gula merah,” seorang petugas ronda membungkuk hormat dan mempersilahkan kedua orang itu untuk singgah barang sejenak.

“Minuman hangat yang sulit untuk ditolak. Barangkali ada daging kambing yang dibakar?” senyum Ki Waskita menyambut hangat tawaran petugas ronda. Sejenak kemudian mereka pun tertawa kecil mendengarkan Ki Waskita.

“Marilah, kami harus minta diri dahulu. Selamat malam,” Ki Waskita mengangguk hormat sambil meminta diri.

“Berhati-hatilah, Ki Sanak berdua,” jawab petugas ronda dan sambil tersenyum Agung Sedayu melambaikan tangan kepada para petugas ronda.

Setapak demi setapak dalam perjalanan menuju rumah Agung Sedayu, Ki Waskita menyempatkan diri mengeluarkan pertanyaan yang hampir saja terlontar ketika berada di rumah Ki Argapati. Namun demikian, agaknya Ki Waskita juga berhati-hati agar tidak menjadikan Agung Sedayu salah mengerti. Sambil menarik napas dalam-dalam Ki Waskita berkata, ”Angger, apakah masih ada persoalan lain yang harus angger pikirkan dan lakukan, sehingga angger mungkin belum melakukan pengamatan untuk meningkatkan diri ?”

Agung Sedayu menghentikan langkahnya barang sejenak, kemudian, jawabnya, ”Tidak ada, Ki Waskita. Aku hanya sedang menunggu sampai beberapa hari ke depan. Selain itu juga ada persoalan dalam kitab guru yang sepertinya harus aku kemukakan kepada paman sebagai orang yang mempunyai wawasan lebih luas.” Agung Sedayu kemudian menghela nafas panjang lalu melangkahkan kaki dengan tatap mata menerawang menembus kedalaman malam seakan-akan sosok gurunya sedang berdiri di depannya.

Ki Waskita pun tidak berkata lebih lanjut seakan-akan ia mengetahui bahwa Agung Sedayu sedang behadapan dengan gurunya. Ki Waskita merasakan bahwa ia menjadi lebih dekat dengan Agung Sedayu semenjak kepergian Kiai Gringsing yang terlebih dahulu menghadap Yang Maha Agung. Orang yang sudah berusia lebih dari setengah baya ini sudah menganggap Agung Sedayu seperti anak dan muridnya sendiri. Dan Agung Sedayu pun juga telah menganggap kehadiran Ki Waskita dan Ki Jayaraga adalah sebagai pengganti gurunya dan tentu saja, Ki Gede Menoreh sebagai orang tua yang dirasakannya seperti ayahnya sendiri.

Keduanya pun memasuki regol halaman rumah Agung Sedayu. Terlihat di tangga pendapa Ki jayaraga sedang berbicara dengan Sukra. Agaknya Ki Jayaraga memberi penjelasan serba sedikit tentang apa-apa yang pernah dilewati dalam asam garam kehidupan. Namun begitu Agung Sedayu dan Ki Waskita tidak mengetahui dengan tepat apa yang sedang mereka perbincangkan.

“Oh, Angger Agung Sedayu dan Ki Waskita,” berkata Ki Jayaraga lalu beringsut mempersilahkan keduanya naik ke pendapa. Sukra pun berdiri dan membungkuk hormat kepada keduanya. Lalu ia bergegas ke dapur untuk mempersiapkan sekedar minuman hangat.

Agaknya Ki Waskita mengetahui gelagat Sukra, lalu berkata mencegahnya, ”Sudahlah Sukra. Tidak perlu membuatkan minuman karena orang tua ini sedang ingin berbaring.”

“Mungkin Ki Waskita ini hendak sekedar ketela rebus ditambah sedikit garam. Segera buatkanlah untuknya,” berkata Ki Jayaraga dengan menggamit Ki Waskita. Lalu keduanya pun menahan tawa. Sukra pun mengurungkan niatnya untuk pergi ke dapur namun kemudian dia meminta diri untuk pergi ke sungai.

“Sebaiknya kau tidak usah ke sungai malam ini, Sukra. Pergilah ke sanggar dan persiapkan dirimu, sebentar lagi aku akan menyusulmu,” berkata Agung Sedayu kemudian mempersilahkan Ki Waskita dan Ki Jayaraga untuk duduk di atas tikar biru bergaris coklat.

“Baik Ki Lurah,” Sukra menjawab dan kemudian ia melangkah panjang menuju sanggar.

Sejenak kemudian ketika Sukra sudah menghilang dari pandangan mereka, Agung Sedayu membuka pembicaraan. Ia berkata, ”Ki Jayaraga, bagaimana menurut pandangan kiai tentang perkembangan anak itu?”

Sambil menarik nafas dalam-dalam, agaknya Ki Jayaraga sedang mengatur kata-kata agar Agung Sedayu tidak menjadi tersinggung karena anak itu berada di bawah pengawasan dan bimbingan Agung Sedayu sejak dibawa dari rumah orang tuanya. Sedangkan Ki Waskita sendiri tidak berani menduga-duga tentang rencana Agung Sedayu namun begitu Ki Waskita menaruh kepercayaan yang sangat tinggi kepadanya.

“Baiklah, agaknya anak itu mengalami peningkatan yang cukup menanjak. Aku melihatnya sering berlatih sendiri ketika Glagah Putih tidak berada di rumah terutama untuk masa yang panjang seperti sekarang ini. Namun demikian, aku sering menemaninya dengan mengajak berlatih di dalam sanggar. Pengaruh Glagah Putih sangat terasa dalam perkembangan jiwani anak itu. Dengan demikian, kau telah membentuk anak itu meskipun melalui Glagah Putih, Ngger” kata Ki Jayaraga penuh kagum kepada Agung Sedayu.

“Ah, sudahlah Kiai. Ini sudah menjadi tugas dan tanggung jawabku terhadap anak itu semenjak orang tuanya memberi izin untuk ikut tinggal di rumah ini,” berkata Agung Sedayu dengan wajah sedikit memerah karena pujian Ki Jayaraga.

“Ki Jayaraga, Ki Waskita. Sejak lama aku mempertimbangkan untuk meningkatkan kemampuan anak itu secara pribadi. Namun demikian, peningkatan itu tidak bertentangan dengan apa-apa yang telah dia pelajari selama masa pendadaran sebagai pasukan pengawal tanah ini. Meski begitu, aku mohon bimbingan dan bantuan kiai berdua untuk meningkatkan kemampuan anak itu dalam mengungkap bagian-bagian yang lebih rumit dan mendalami watak dari gerakan-gerakan yang dia latih selama ini,” berkata Agung Sedayu dengan penuh hormat.

Sambil membenahi ikat kepala, Ki Waskita berkata, ”Demikianlah, Ngger, kami percaya kepadamu. Sukra telah sekian lama bersama denganmu dan sudah barang tentu kemampuanmu untuk menyelami dan mengamati watak Sukra lebih mendalam dari kami berdua. Bukan begitu, Kiai?”

Ki Jayaraga yang mendapat pertanyaan seperti itu pun mengangguk-anggukan kepala, kemudian berkata, ”Sudahlah. Kami berdua akan membantumu serba sedikit dari apa yang kami ketahui.”

Kemudian mereka terlibat dalam perbincangan-perbincangan tentang Panaraga dan perkembangan terakhir. Lalu Agung Sedayu meminta diri untuk menyusul Sukra ke sanggar. Ki Jayaraga dan Ki Waskita pun beranjak menuju pakiwan untuk sekedar membersihkan kaki dan tangan lalu keduanya memasuki bilik yang selama ini telah mereka tempati untuk sekedar berbaring dan beristirahat.

Sejenak kemudian, Agung Sedayu telah berada di dalam sanggar dan mengamati Sukra yang sedang melatih diri di antara tonggak-tonggak bambu yang tertanam di dalam sanggar.

Sukra berloncatan diantara tonggak dengan kekuatan kaki yang mengagumkan. Keseimbangan tubuhnya sudah cukup memadai sebagai landasan baginya untuk lebih bebas menggerakkan tangan ke segala arah yang ingin digapainya. Kecepatan tubuhnya seperti burung sikatan menyambar belalang sehingga tangannya seolah seperti bayangan yang mempunyai puluhan lengan dan telapak tangan.

“Bagus sekali, Sukra,” kata Agung Sedayu dengan bertepuk tangan perlahan kemudian, ”sekarang ambillah beberapa kantong yang berisi bebatuan kecil kemudian lakukan seperti yang engkau perbuat tadi.”

Sukra pun mengakhiri gerakannya untuk kemudian mengikuti perintah Agung Sedayu. Sambil berjalan perlahan memutari Sukra, Agung Sedayu tidak berhenti memberikan perintah-perintah kepadanya. Dengan tekun Sukra mengikuti apa saja yang diucapkan Agung Sedayu.

Di sela-sela latihan itu, Agung Sedayu memberikan contoh gerakan untuk diikuti Sukra. Tubuh Agung Sedayu untuk sesaat berdiri tegak, kemudian dengan sedikit menekuk lututnya lalu ia meloncat ke tonggak bambu yang paling pendek. Sejenak kemudian tubuh Agung Sedayu berputar-putar seperti gasing dan ia berloncatan berpindah dari tonggak yang pendek ke tonggak yang lebih tinggi hingga tonggak yang yang tertinggi. Lalu ia menuruni tonggak-tonggak bambu dengan keadaan tubuh yang masih berputar seperti gasing.

Agung Sedayu mengulangi gerakan berputarnya perlahan ketika kakinya menginjak lantai sanggar. Sukra merasa dirinya sekuku ireng ketika mengamati gerakan memutar Agung Sedayu meskipun dilakukan secara perlahan sekedar memberi contoh bagaimana gerakan itu dapat dilakukan.

“Kau harus lebih sabar untuk melakukan gerakan memutar ini. Dengan keseimbangan pada keadaan tertentu sudah barang tentu tanganmu akan dapat bergerak bebas. Bukan dalam bebas seperti yang engkau lakukan tadi tetapi bebas dalam menelusuri watak dari gerakan memutar yang telah kau amati,” berkata Agung Sedayu lalu,” sekarang mulailah dengan pelan dan terus tingkatkan.”

“Baik Ki Lurah,” Sukra menganggukkan kepala.

Sejenak kemudian Sukra telah tenggelam dalam latihan di bawah bimbingan dan pengawasan Agung Sedayu. Untuk beberapa lama Sukra ternyata sudah berada pada puncak kemampuannya. Melihat keadaan Sukra, Agung Sedayu pun mengakhiri latihan itu kemudian memberi pesan, ”Satu hal penting yang harus kau ingat, Sukra. Kemampuan dan kekuatan secara pribadi juga banyak berpengaruh dalam pertempuran yang lebih luas. Untuk itu aku mengharapkanmu dapat menjadi pelindung bagi kawan-kawanmu selain engkau dapat menghadapi senapati diantara prajurit yang menjadi lawanmu. Namun begitu, kau tetap harus ingat bahwa sikapmu dipengaruhi oleh keputusanmu setelah melihat keadaan medan perang yang mungkin belum terbayang olehmu.”

“Baik,” jawab Sukra patuh.

“Marilah kita beristirahat sekarang. Malam yang tinggal sedikit lagi namun demikian nampaknya masih dapat bagi kita untuk memejamkan mata barang sejenak,” kata Agung Sedayu seraya menepuk bahu Sukra.

“Baik,” jawab Sukra sambil berjalan mengikuti Agung Sedayu keluar dari sanggar.

Sejenak kemudian, keduanya telah memasuki bilik masing-masing. Dan Agung Sedayu telah mendapati Sekar Mirah dalam keadaan tertidur pulas. Agung Sedayu memandangi wajah istrinya yang masih terlihat cantik di usia yang sudah tak dapat dibilang muda lagi. Sebongkah perasaan tiba-tiba menyeruak ke dalam dadanya, ia menghela napas panjang untuk melepas pepat di dadanya lalu berbaring perlahan di sebelah istrinya.

Di sebelah timur Tanah Perdikan Menoreh, dalam pada itu sedang diadakan pertemuan antara Panembahan Hanyakrawati, Ki Patih Mandaraka, Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Singasari. Hubungan Panaraga yang semakin tidak jelas dan kehadiran orang yang mengaku sebagai Pangeran Ranapati agaknya telah menjadi persoalan yang dibicarakan di ruangan dalam istana Panembahan Hanyakrawati.

Wedaran Terkait

Tentang Kelanjutan Api di Bukit Menoreh

kibanjarasman

Pengumuman : Tidak Melanjutkan ADBM

kibanjarasman

Lanjutan Api di Bukit Menoreh 398 – 5

Ki Banjar Asman

Lanjutan Api di Bukit Menoreh 398 – 4

Ki Banjar Asman

Lanjutan Api di Bukit Menoreh 398 – 6

Ki Banjar Asman

Lanjutan Api di Bukit Menoreh 398 – 3

Ki Banjar Asman

10 comments

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.