Padepokan Witasem
Pajang, Gajahyana, majapahit, Lembu Sora, bara di borodubur, cerita silat jawa, padepokan witasem, tapak ngliman
Bab 3 Pendadaran

Pendadaran 2

Beberapa bulan sebelumnya.

Ketika kapal mereka berlabuh di pesisir utara, keempatnya berupaya mencapai tempat yang terkenal di masa lalu. Mereka telah mendengar sebuah candi yang berada di sekitar Merapi. Atas pendapat umum yang menyatakan ‘jika engkau melihat candi, maka hampir dapat dipastikan : ada permukiman di sekitarnya’, maka empat orang itu menyusuri jalan ke selatan hingga tiba di lereng Gunung Sumbing. Sebagai orang yang dituakan, Tung Fat Ce memberikan pendapatnya agar mereka berhenti merasa sebagai pelarian lalu melebur ke dalam masyarakat sekitar. Bila perasaan itu dapat dienyahkan, maka ketakutan tidak akan lagi menjadi hantu bagi mereka. Sarannya, agar mereka segera memulai mempertahankan hidup melalui jalan wajar.

“Tetapi kita tidak mempunyai apa-apa untuk diperdagangkan,” berkata Toa Sien Ting.

“Tidak mengapa, kita sementara ini dapat menjadi petani,” sahut seorang yang lain.

loading...

“Petani? Apa kau kira semudah itu membuka hutan di tanah ini? Tentu saja perbuatan itu akan menarik perhatian pemimpin mereka. Dan akan menjadi mimpi buruk bagi kita jika Kao Sie Liong juga berada di tanah ini. Bukan tidak mungkin berita itu akan tersebar,” berkata Tung Fat Ce.

“Lalu, apa yang menurutmu baik untuk bersembunyi di tanah ini? Karena mengambil kepunyaan mereka pun juga akan berakhir sama dengan apa yang kau katakan tadi,” tukas Toa Sien Ting yang berbadan gendut. “Lagipula, dengan tetap menyebut-nyebut nama Kao Sie Liong, maka selamanya kita akan dikerdilkan keadaan yang kita ciptakan sendiri.”

Tung Fat Ce menengahi, katanya, “Biarlah, kita sementara tinggal di antara hutan dan terus berjalan setiap siang. Aku minta kalian mendengar baik-baik percakapan orang di pasar atau di ladang. Suatu ketika mereka akan membicarakan sesuatu yang mungkin akan membawa keberuntungan bagi kita di tanah ini.” Tung Fat Ce mengatupkan bibir lalu bangkit dan berjalan menyusur tepi hutan.

Mereka sepakat tetap berjalan hari demi hari, menyisir pedukuhan yang satu ke pedukuhan yang lain dan selalu berada di sekitar tempat orang ramai berkerumun. Mereka berpencar pada awal pagi, kemudian berkumpul di batas terluar suatu pedukuhan lalu bermalam di tepi agak dalam dari hutan.

Hingga pada suatu saat mereka mendengar Kademangan Grajegan sedang mengembangkan perdagangan antardaerah.

Tung Fat Ce menganggap apabila perdagangan telah meningkat maka dengan sendirinya akan membutuhkan pengawalan. Dan ia kemukakan itu kepada kawan-kawannya. “Pasti kalian telah mendengar kabar tentang Kademangan Grajegan,” kata Tung Fat Ce pada satu malam ketika mereka duduk melingkari api unggun.

“Bagaimana rencanamu?” Toa Sien Ting bertanya. Ia mungkin satu-satunya orang yang merasakan kegelisahan dan merasa paling menderita selama menjadi pelarian. Betapa di negerinya, ia cukup berkata-kata hingga orang di sekitarnya melayani dirinya cukup baik, tetapi di tanah yang baru diinjaknya, Toa Sien Ting harus melakukan segalanya dengan tangan sendiri.

“Kita pergi ke kademangan itu. Setelah kita dapat bertemu dengan pemimpinnya, kita akan menyusun rencana selanjutnya. Kita sesuaikan dengan perkembangan,” kata Tung Fat Ce.

“Apakah itu berarti kita akan merebut kademangan?’ tanya orang yang berbadan tinggi besar dan cuping hidung melebar.

“Tidak. Bukan seperti itu. Maksudku, apakah kita akan tinggal di sana selamanya atau hanya sekedar lewat? Itu semua tergantung bagaimana pertemuan dengan pemimpin mereka. Aku harap kalian semua dapat menahan diri. Kesempatan ini mungkin tidak akan terulang di kemudian hari. Persiapkan diri kalian dengan baik malam ini. Sudahlah, aku akan berjaga hingga menjelang malam.” Mendengar perintah Tung Fat Ce, kawan-kawannya segera merebahkan diri dan tenggelam dalam lamunan yang berkecamuk dalam benak masing-masing.

Terdengar desah panjang Toa Sien Ting ketika merebahkan tubuh di atas batu hitam yang agak rata bagian atasnya. Tung Fat Ce hanya melirik kemudian memejamkan mata, mengatur napas untuk mengembalikan kewajaran jalan darah dan kepenatan yang menderanya.

Demikianlah ketika semburat merah menebar panjang di cakrawala, empat orang ini berjalan menuju Kademangan Grajegan. Mereka bertanya pada orang-orang yang dijumpai dalam perjalanan, kesulitan berbahasa membawa kesan tersendiri bagi mereka. Tetapi Liem Go Song sempat menerima sedikit wawasan dari kakeknya, yang pernah menginjakkan kaki di Tanah Jawa pada zaman Kertanegara, maka kesulitan itu dapat diatasi.

Berkat ketelitian dan kecermatan mengamati setiap petunjuk yang diperoleh, lalu tibalah mereka pada jalur menuju kademangan. Perbincangan selama perjalanan itu tidak berkisar dari sikap orang yang mereka jumpai, tetapi tentang yang akan mereka peroleh selama pelarian.

”Agaknya tanah ini dalam keadaan menyenangkan. Orang-orang itu tidak menunjukkan rasa takut terhadap orang asing,” kata Feng Kong Li, seorang yang sudah tua usia dan berjalan sedikit bungkuk.

”Bahkan mereka juga tidak menaruh kecurigaan,” kata Tung Fat Ce, ”keadaan seperti ini hanya dapat digapai apabila pemangku kekuasaan memberi perhatian yang cukup.”

”Oleh karenanya mereka juga tidak menduga akan terenggut beberapa emas dan peraknya. Kalian masih ingat itu? Dengan mudah kita mengambil bekal dari rumah saudagar kaya raya, tanpa ada orang yang tahu,” Liem Go Song menyahut tanpa mengalihkan pandang mata dari sekumpulan orang yang cukup jauh dari mereka.

Tung Fat Ce membenarkan pendapat kawannya. ”Sikap semacam itu juga memberi keuntungan bagi kita. Dengan begitu kita tidak terlalu khawatir kelaparan sepanjang jalan,” kata Tung Fat Ce dengan seringai licik tersimpul di bibirnya.

“Berhentilah berkhayal. Kita harus hati-hati. Ingat, kao Sie Liong datang ke tanah ini dengan membawa cincin dari kaisar. Ia dapat melakukan segalanya agar dapat menyeret kita pulang,” kata Feng Kong Li dengan nada bijak.

Walau mereka menggerutu dalam hati, tetapi ucapan Feng Kong Li mempunyai kebenaran. Kao Sie Liong adalah mimpi buruk bagi mereka.

Dua hari perjalanan telah mereka tempuh sebelum tiba di tugu batas Kademangan Grajegan. Pada sisi barat mereka, terlihat Merbabu begitu gagah mengayomi alam yang berada di bawahnya. Merapi di sisi yang lain tampak menjulang tinggi dengan lingkaran awan tipis menutup sedikit lerengnya. Hari menjelang siang ketika mereka menapakkan kaki menelusuri jalan induk kademangan.

Berbekal penjelasan dari seorang petani yang sedang duduk di pematang, mereka melangkah pasti menuju pedukuhan induk.

”Sesaat lagi mungkin kita akan bertemu dengan pemimpin kademangan ini. Jaga sikap kalian. Meski ilmu kita berempat dapat membinasakan seisi kademangan, tetapi bisa saja akan berimbas buruk, bahkan mungkin lebih buruk bagi kita. Keramahan orang-orang yang kita jumpai mungkin saja akan mengirimkan pasukan seluas bentangan pasir di gurun ke tempat ini, lalu  mengusik kenyamanan yang sesaat lagi berada di tangan kita, dan berakhirlah kita di tanah ini,” Tung Fat Ce berkata sungguh-sungguh. “Karena bisa jadi, keramahan dan kehangatan itu adalah selubung dari kawanan serigala. Berhati-hatilah.”

Wedaran Terkait

Pendadaran 9

kibanjarasman

Pendadaran 8

kibanjarasman

Pendadaran 7

kibanjarasman

Pendadaran 6

kibanjarasman

Pendadaran 5

kibanjarasman

Pendadaran 4

kibanjarasman

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.