Padepokan Witasem
Langit Hitam majapahit, silat Bondan, Padepokan Witasem, Gajah Mada, Majapahit
Bab 15 Pertempuran Hari Kedua

Pertempuran Hari Kedua – 10

Tiba-tiba Ki Sentot menerjang maju dengan dahsyat, Ken Banawa bergeser surut. Serangan tombak Ki Sentot mengalir deras dan tajam. Sepasang kaki Ki Sentot datang membadai dan memang sebenarnya ketinggian ilmu Ki Sentot Tohjaya sukar dicari bandingannya.

Serangan demi serangan Ki Sentot Tohjaya mengepung Ken Banawa dari segala penjuru. Pada waktu itu, Ken Banawa dapat segera menilai bahwa lawannya adalah orang yang yakin dan percaya diri dengan kemampuan. Dari setiap ayunan tangan dan kakinya yang menimbulkan angin tajam dan dapat merobek kulit, maka Ken Banawa dapat mengukur ketinggian ilmu Ki Sentot Tohjaya. Tetapi Ken Banawa telah bersiap sehingga dapat mengimbangi kedudukan dan membuat pertahanan yang cukup sulit ditembus oleh Ki Sentot.

Maka pertempuran yang terjadi di sekitar perang tanding Ken Banawa dengan Ki Sentot semakin lama menjadi semakin dahsyat. Terseret oleh laga dua panglima mereka. Para pengawal kademangan bertempur berkelompok dan terlihat sangat padu dengan prajurit Majapahit yang mempunyai pengalaman tempur lebih banyak. Sehingga kelebihan yang dimiliki oleh pasukan Ki Sentot belum mampu mengubah keseimbangan dan belum memberikan keuntungan bagi pertempuran secara keseluruhan. Para pengawal kademangan yang sebenarnya masih menyimpan jerih dalam hatinya, kini lambat laun mulai dapat menguasai diri saat menyaksikan sendiri kemampuan tempur prajurit Majapahit.

“Pergilah. Ngger,” kata Ki Wisanggeni ketika ia bertarung dalam jarak cukup dekat dengan anaknya.

loading...

“Tidak, Ayah. Saya tidak mungkin dapat meninggalkan janji yang telah terucapkan,” Lembu Daksa menolak permintaan ayahnya.

“Karma seperti apa yang aku terima? Aku telah berikan hidupku untuk melakukan kebaikan dan kebenaran,” keluh Ki Wisanggeni dalam hatinya. Ia terus memutar senjatanya menyerang Lembu Daksa dengan hati tersayat.

“Ayah, mungkin Sri Jayanegara memang mempunyai keburukan tetapi beliau adalah Raja Majapahit. Satu-satunya orang yang mempunyai wewenang seperti dewa. Kita tidak semestinya berdiri menentangnya baik dalam damai maupun peperangan,” kata Lembu Daksa sambil menghindar tusukan pedang ayahnya.

“Dan itu adalah persoalanmu yang terbesar, Ngger.” Ki Wisanggeni kemudian meloncat surut. Ia menebar pandangan sekelilingnya. Pasukannya telah mundur setapak demi setapak, sementara bagian sayap yang seharusnya dapat memberi keunggulan pada pasukan Ki Sentot justru terdesak.

Lembu Daksa memutar tombak menangkis sebatang anak panah yang deras meluncur menggapai tubuhnya.

“Pertempuran ini tidak akan berakhir hanya dengan kematian salah seorang di antara kita, Ayah,” ia berkata.

“Maka itu, mundurlah. Aku tidak dapat membiarkanmu untuk melakukan sesuatu yang salah,” Ki Wisanggeni mengulang permintaan.

“Justru dengan menentang raja itulah kesalahan, Ayah.”

“Aku tidak mempunyai jalan lain yang  terbuka lebar, Ngger,” berkata Ki Wisanggeni sambil menggebrak Lembu Daksa dengan sepenuh tenaga. Kini keduanya terlibat kembali dalam pertarungan yang sengit meski tidak ada keinginan untuk saling menumpas satu sama lain. Dalam hati Ki Wisanggeni tidak ada setitik kekejian dengan membunuh salah seorang anaknya demi sebuah keyakinan yang mendasar. Ia meronta dalam jiwanya karena seolah-olah dibiarkan berjalan sendiri oleh yang ia yakini sebagai kekuatan yang tidak terjangkau.

Ki Wisanggeni merasa seluruh hidupnya adalah perjuangan untuk menunaikan kewajiban. Baik sebagai prajurit, sebagai ayah dan juga sebagai bagian suatu kelompok masyarakat. Ia sangat memperhatikan secara baik apa yang menjadi panduan untuk menjalani kewajibannya dan ia melakukan itu dengan sangat baik. Namun kini Ki Wisanggeni diterpa badai yang menggoncang kejiwaannya. Semenjak ia bergabung dengan Ki Sentot, Ki Wisanggeni berusaha mencari alasan yang dapat ia benarkan untuk menerima kenyataan bahwa anaknya akan berhadapan dengannya sebagai musuh di medan perang.

“Andaikata Jayanegara adalah orang yang kuat dengan nalarnya,” suatu ketika Ki Wisanggeni bergumam dalam hatinya. Lalu ia mengangkat senjata melawan Jayanegara dengan bergabung dalam pasukan Ki Sentot yang dipandangnya sebagai orang baik.

Wedaran Terkait

Pertempuran Hari Kedua – 9

kibanjarasman

Pertempuran Hari Kedua – 16

kibanjarasman

Pertempuran Hari Kedua – 14

kibanjarasman

Pertempuran Hari Kedua – 13

kibanjarasman

Pertempuran Hari Kedua – 12

kibanjarasman

Pertempuran Hari Kedua 7

kibanjarasman

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.