Aku mengira tenaga mereka lebih kuat dan lebih besar dari yang tergambar dalam ruang pikiranku. Kecepatan yang dimiliki para penyerangku pun sepertinya setara denganku. Dalam waktu itu, aku tidak melihat celah yang dapat ditembus untuk melepaskan diri. Aku ingin bersikap tenang seperti Lis Prabandari. Apakah aku dapat berbuat seperti itu?
Seseorang berteriak, “Kita permalukan Rakai Panangkaran. Renggut kehormatan anak gadisnya!”
“Oh, jadi kalian menuntut balas dendam? Hey, aku tak lagi menyimpan kehormatan!” Aku membalasnya dengan suara lantang, dan aku ingin melihat rupa buruk mereka tetapi mataku masih sulit untuk dibuka.
“Tak tahu malu!” terdengar seseorang berteriak. Mungkin masih orang yang sama.
Dalam bayanganku.
Aku melihat orang itu meloloskan pedang dari sarungnya, lalu menerjangku sambil menebaskan bagian tajam pada batang leherku. Aku lontarkan tubuh ke belakang, melompat jungkir balik di udara, aku melayang? Entahlah, tetapi pedang itu gagal menyentuh tubuhku.
Tiba-tiba tubuhku berputar, melesat maju dan sepasang tanganku bergerak, menyambitkan sujen-sujen yang tersisa pada jari-jariku. Seekor kuda meringkik nyaring, mungkin sebatang sujen menancap pada bagian perutnya atau bagian lain, aku tidak tahu. Aku begitu sibuk mengikuti kekuatan ajaib yang menggerak-gerakkan tubuhku.
Mendadak muncul dari jalur yang aku lewati beberapa saat yang lalu.
Empu Balitung dan ibuku berkuda dengan jarak yang sangat dekat. Tubuh Lis Prabandari begitu ringan ketika melayang di udara, mendahului kecepatan kuda yang ditungganginya. Ibuku meluncur deras sambil melecutkan selendang.
Terdengar bunyi ledakan!
Aku melihat dengan mata terpejam ketika ibu memutar senjata yang berbahan kain. Selendang yang menyentuh senjata sejumlah orang yang mengeroyokku. Mereka terpental tetapi segera bangkit lalu membentuk sebuah lingkaran yang tidak sepenuhnya bulat. Mereka mengitari ibu dengan kaki-kaki yang bergerak sangat cepat. Satu demi satu tubuh mereka seolah lenyap dari pandangan tetapi aku tahu itu karena kecepatan yang mengagumkan. Lantas hanya bayangan yang beraneka warna yang tampak oleh mata. Tiba-tiba lingkaran itu pecah dua bagian. Sekelompok orang berkelebat menyerang Empu Balitung, kelompok lain seolah terbang menyerbu Lis Prabandari sambil melontarkan panah-panah yang berukuran setengah dari biasanya!
Aku terpaku! Aku ingin berkelit lalu membalas serangan tetapi tubuhku membeku sedangkan lontaran itu semakin dekat.
Sementara ibu mengerahkan tenaga, mempercepat putaran selendang hingga tubuhnya terbungkus rapat oleh gulungan sinar kemerahan. Serangan lawan begitu hebat dan mengerikan ketika suara bercuitan keluar dari kelebat senjata di tangan mereka.
Dalam bentang jarak yang cukup dekat, aku ditampakkan tata gerak Empu Balitung yang luar biasa. Ia menyambut serangan lawan-lawannya dengan tangan tanpa senjata tetapi dentang nyaring kerap terdengar. Pertarungan pada lingkaran Empu Balitung benar-benar melampaui dugaanku. Aku tidak mengira bahwa orang tua beralis putih itu sedemikian hebat. Barangkali sebanding dengan kemampuan Han Rudhapaksa, pikirku.
Ruang pikiranku menunjukkan bahwa tubuhku benar-benar tidak dapat digerakkan, bahkan seujung jari pun tak sanggup! Aku pikir inilah waktu kematianku. Tak jadi persoalan. Aku tidak mempunyai keberatan bila harus berpisah dengan Rakai Panangkaran dan ibuku. Tak juga akan menyesali pertemuan terakhir dengan Han Rudhapaksa, kakekku. Aku tidak akan melihat lagi kerabat dan teman-temanku di Tanah Kalingan. Biarlah, semua akan berlalu dan aku berada di kehidupan baru.
Tanpa aku sadari dan aku memang tidak merencanakannya, tiba-tiba, bibirku bersuit nyaring lalu tubuhku bergerak dalam keadaan beku! Sungguh, aku tidak mengerti penyebabnya ketika tubuhku berlompatan sangat cepat, mengelak dari hujan benda-benda tajam. Aku mendobrak dinding pertahanan lawan secara mengagumkan. Aku berlompatan dengan sepasang kaki yang seolah terikat erat. Gerakanku sangat lesat seperti kilat, lalu, mendadak terselip sujen-sujen di antara jari jemariku. Keanehan berulang. Sepasang tanganku bergerak-gerak, membentuk banyak lingkaran yang aneh lalu membalas serangan mereka.
Namaku Dyah Murti. Putri perempuan dari Lis Prabandari. Menurut berita yang aku dengar dari bisik-bisik para pengawal, kepergian kami mempunyai tujuan suci. Seorang lelaki akan mengawiniku lalu membawaku pergi meninggalkan Bhumi Mataram. Aku menghisap suara-suara yang bertebaran di sekelilingku karena ibu tidak memberi tahu.
Pada hari yang masih pagi, kewajiban baru menghampiriku. Aku harus mengabdi pada kehormatan yang berbentuk lubang sempit di selangkangan. Begitu yang pernah dikatakan oleh kakekku ketika kami bertamu di kediaman Mpu Pali. Aku sempatkan diri untuk bertanya, dan Mpu Pali memberikan jawaban, “Terlepas dari kewajiban dan hak yang hanya muncul sekali seumur hidup, adalah wajar jika seseorang harus mempunyai kehormatan lalu menempatkan lebih tinggi dari kepalanya.”
2 comments
Matur nuwun Ki , i love it ❤
sami-sami ki