Agung Sedayu menatap lekat mereka satu demi satu, lalu berkata, “Perintah yang diucapkan Nyi Pandan Wangi lebih mudah dipahami oleh para pengawal meski kemampuan mereka jauh di bawah pasukan kotaraja. Selain itu, para pengawal mengenal kedalaman medan tempur maka dengan begitu ada dua keadaan yang dapat mendukung pergerakan pasukan kotaraja.” Dalam rencananya, Agung Sedayu kemudian mengungkapkan lebih rinci di depan empat orang yang masing-masing mendapat tanggung jawab berlainan.
Hari semakin mendekati keadaan gelap. Beberapa saat lagi suasana temaram akan menyapa Kademangan Sangkal Putung. Sepanjang waktu itu, di dalam pringgitan, Pandan Wangi mengamati Kinasih secara diam-diam. Pemangku keamanan Pedukuhan Jagaprayan itu dapat menangkap getar lain yang memancar dari tatapan Kinasih setiap kali memandang Agung Sedayu. Pada waktu yang sama, Pandan Wangi juga merasakan semburan hangat yang menyorot dari Pangeran Selarong yang kerap mencuri pandang pada murid Nyi Banyak Patra itu. Pandan Wangi ingin tersenyum menyaksikan keadaan yang tidak tampak di permukaan. Tapi kebenaran di dalam hatinya masih enggan menyatakan secara benderang. “Ini adalah bagian yang aneh dari kehidupan,” bisik hati Pandan Wangi.
Hidangan makan malam pun tersaji di hadapan lima orang yang mendekati akhir pembahasan. Mereka sepertinya dapat menerima rencna induk yang diutarakan Agung Sedayu. Dengan berbagai kelemahan yang dapat dikenali, pendapat Pangeran Selarong, Pandan Wangi maupun Ki Lurah Plaosan dapat menjadi pendukung rencana yang segera digelar dalam waktu sangat dekat. Sementara itu, Kinasih benar-benar menjadi gadis yang ajaib karena sama sekali tidak bersuara sepanjang pembahasan siasat.
“Adakah sesuatu yang tidak dapat kau terima atau engkau terbiasa tidak bertanya pada Ki Rangga?” tanya Pangeran Selarong dengan awal nada gugup.
Kinasih hanya menjawab dengan senyum tipis.
“Menggemaskan sekali!” hati Pangeran Selarong disertai perasaan yang melonjak-lonjak tak karuan. Temaram cahaya oncor ternyata tidak mampu menyembunyikan perubahan wajah Pangeran Selarong dari tatapan orang-orang berkemampuan tinggi di dekatnya. Rasa kikuk seolah enggan meninggalkan ruang yang mungkin sudah disiapkan khusus di dalam hatinya. Seandainya mereka tidak dapat menahan diri, niscaya banyak selorohan yang menggodanya. Bahkan Agung Sedayu harus menarik napas panjang karena cukup geli dengan tingkah pangeran muda itu.
Ketika dua pengawal selesai membereskan perlengkapan makan di atas tikas bambu, lima orang itu segera bersiap menjalankan siasat yang mereka rancang bersama. Ki Lurah Plaosan bergeser tempat untuk membuat perlengkapan yang mirip dengan yang disandang oleh pasukan kotaraja. Dalam tugas itu, Ki Plaosan akan dibantu beberapa anak muda pedukuhan.
Sedangkan Pangeran Selarong bergerak menuju tempat pasukannya berada. Dia berlalu dengan kemarahan yang tetap haris ditahan. Perasaannya benar-benar berkecamuk karena merasa keberadaan diri dan kedudukannya seakan tidak dianggap oleh Pandan Wangi. Pangeran Mataram itu keberatan jika para tahanan dari kubu pemberontak ditempatkan di tengah barisan pasukannya. Mengapa justru lawan yang berada di bawah kendalinya? Mengapa bukan para petugas sandi yang sudah sewajarnya ditempatkan dalam barisannya? “Sebenarnya apa kemauan perempuan itu? Seandainya dia bukan putri Ki Gede Menoreh dan bukan pula orang dekat Ki Rangga, aku sudah pasti akan memberinya pelajaran keras,” ucap geram Pangeran Selarong dalam hati. Tapi karena harus melihat sisi lain yang diungkap oleh Agung Sedayu, maka dia menerima usulan Pandan Wangi walau terpaksa.
Pada waktu hampir bersamaan dengan kepergian Pangeran Selarong, Pandan Wangi pun mengayun langkah untuk memeriksa barisan pengawal yang sedang berjaga. Dia akan menata ulang penempatan pengawal dan juga telik sandi agar sesuai dengan garis besar Agung Sedayu. Di belakang Pandan Wangi ada dua pengawal pedukuhan yang menjadi pengiring. Mereka berdua pun akan mendapatkan tugas khusus darinya sebagai penyeimbang jika kelak benturan terjadi di dalam pedukuhan. Di antara sela langkah kaki, Pandan Wangi mengenang pembicaraan beberapa saat sebelumnya. “Gadis itu cukup tenang sehingga tak begitu tampak kesukaannya pada Kakang Sedayu,” ucap Pandan Wangi dalam hati. Apakah nantinya dia menjadi bahaya bagi Sekar Mirah? Pandan Wangi bertanya pada dirinya sendiri. Meski demikian, dia pun tidak ingin mengingkari setangkup rasa yang masih terjaga di dalam perasaannya.
“Nyi, mengapa hanya ada satu penjaga di lorong kembar?” Pertanyaan seorang pengawal segera menghentak kesadaran Pandan Wangi yang mengambang di bawah awan.
“Seharusnya memang tidak hanya dia seorang, tapi mungkin yang lain sedang ada keperluan lain,” jawab Pandan Wangi menenangkan pengawal pedukuhan yang mendampinginya.

Penjaga lorong kembar – dinamakan lorong kembar karena ada dua jalan setapak yang mengarah ke dalam hutan kecil di selatan pedukuhan – segera menyiapkan diri menyongsong kedatangan Pandan Wangi. “Kedatangan Panjenengan cukup mengejutkan karena tidak ada kawan yang mengabarkan,” ucap penjaga lorong kembar.
“Tidak apa-apa,” ucap Pandan Wangi. “Seorang lagi, di mana dia sekarang?”
“Oh, itu…dia sedang turun ke sungai kecil beberapa saat yang lalu,” jawab penjaga.
Pandan Wangi mengangguk, lalu memberi pesan penting pada penjaga tersebut. Tak lama kemudian, teman penjaga tergesa-gesa datang ke gardu lorong lalu menyampaikan alasan meninggalkan gardu. Pandan Wangi memberi tanda bahwa dia tidak ada masalah dengan keadaan itu karena memang sudah sewajarnya. Pandan Wangi lantas mengulang pesan kemudian menambahkan sedikit tugas pada dua penjaga lorong.
“Aku kira sudah saatnya Kakang berdua menempati kedudukan yang sudah diputuskan Ki Rangga,” kata Pandan Wangi pada pengawal yang mengiringinya.
“Saya, Nyi,” sahut masing-masing pengawal. Mereka segera menghilang di balik gelap malam usai bercakap sebentar dengan dua penjaga lorong.
Pandan Wangi pun beranjak melanjutkan perjalanannya mengunjungi tiga atau empat tempat penjagaan yang tersisa, tapi semuanya itu berada pada jalur yang membawanya pulang ke rumah tahanan. Di kabut yang perlahan turun menyelubungi permukaan pedukuhan, Pandan Wangi kembali tenggelam dalam pikiran tentang kehidupannya sendiri. Swandaru memang bukan lelaki yang istimewa meski memiliki banyak sisi kebaikan. “Apakah aku mampu bertahan di sampingnya seandainya dia sama sekali tidak ingin mengubah jalan hidupnya?” tanya Pandan Wangi pada dirinya sendiri. Pembelotan yang hampir menghancurkan hidupnya pun bukan sekali saja terjadi. Pengulangan yang sama pun kerap dilakukannya bila bertemu dengan perempuan-perempuan yang dadanya membusung. Pandan Wangi mengusap wajah saat kenangan-kenangan buruk menyapa dengan senyum mengerikan di sela-sela ketiak malam yang begitu gelap. “Segala sesuatu di dunia ini juga mempunyai akhir atau ujung. Aku harus membicarakan keadaanku dan perasaan ini pada ayah dan Ki Demang Sangkal Putung,” desah Pandan Wangi dalam hati.
Pengunjung Padepokan Witasem yang terhormat.
Anda dapat membaca lebih dulu wedaran Kitab Kyai Gringsing apabila berkenan berlangganan. Selain itu, Anda akan mendapatkan bonus tambahan ;
Kitab Kyai Gringsing (3 Jilid PDF) serta Penaklukan Panarukan serta Bara di Bukit Menoreh bila sudah selesai.
Caranya? Berdonasi sukarela dengan nilai minimal Rp 25 rb/bulan melalui transfer ke
BCA 822 05 22297 atau BRI 31350 102162 4530 atas nama Roni Dwi Risdianto. Konfirmasi transfer mohon dikirimkan ke WA 081357609831
Tanya Jawab ;
T ; Bagaimana jika Kitab Kyai Gringsing Buku ke-4 sudah selesai? Apakah akan ada kelanjutannya?
J ; Kami selalu berusaha memberikan yang terbaik demi keberlangsungan kisah.
Matur nuwun
Pandan Wangi, di balik ketangguhan tempur dan kecakapannya di gelanggang kanuragan, tetaplah seorang perempuan yang berhati lembut. Meski dia tidak pernah mau disemati sebagai makhluk lemah, tapi pikiran dan perasaannya tetap timbul tenggelam sepanjang perjalanan pada malam itu. Ketegasan dan kedalaman wawasannya mengenai pertempuran tampak menguat setiap kali dia berhenti di gardu-gardu yang harus diawasinya.
Namun naluri sebagai perempuan kembali menyergap saat Pandan Wangi berjalan seorang diri menyisir jalanan pedukuhan. Setiap kali hatinya terhimpit oleh bayangan Swandaru, maka sosok lain muncul sebagai penyeimbang. Dan begitu seterusnya ketika bayang wajah Sekar Mirah dan Kinasih bergantian memenuhi layar di balik kelopak matanya. Bisa jadi, Pandan Wangi mengandaikan bahwa Kinasih pada akhirnya bersanding dengan Pangeran Selarong. Bisa juga pula, Raden Mas Rangsang hadir dalam pusaran kisah yang berpusat pada Kinasih. Barangkali sulit dibantah karena Kinasih nyaris memenuhi persyaratan untuk menjadi pendamping orang terkemuka Mataram yang memiliki segalanya. Mungkin karena terlalu banyak pengandaian, entahlah, tapi berulang-ulang Pandan Wangi menarik napas panjang sambil berkata lirih pada dirinya sendiri, “Tidak seperti itu.”
Kokok ayam hutan jantan sudah terdengar ketiga kali saat Pandan Wangi tiba di depan halaman rumah tahanan. Dia cukup lama mengamati lingkungan sekitar. Dalam waktu itu, lagi-lagi, bayangan Swandaru seolah muncul di depan pintu rumah itu. “Aku tahu kebebasan Kakang sedang terkungkung dalam genggam Pangeran Purbaya. Tapi aku tidak dapat membantu Kakang. Aku ingin hanya saja penahanan itu sepertinya menjadi jalan terbaik yang harus ditempuh oleh Kakang,” hati Pandan Wangi berbisik demi menghibur dirinya sendiri.
