Benar-benar mengejutkan! Ki Bejijong pun tidak menyangka bahwa Ki Maja Tamping mengubah tujuan serangannya. Dalam waktu itu, isyarat Ki Maja Tamping memang tidak dipahaminya sehingga Ki Bejijong menunggu kesempatan untuk membalas serangan kawannya itu.
Perubahan begitu terlihat mencolok terjadi di depan Arya Penangsang. Adipati Jipang ini sigap mengikuti perkembangan dengan hati-hati. Dari kawan sepengepungan lantas beralih menjadi saling serang, bukankah itu mengejutkan? Bisa saja keadaan saling serang itu adalah sebuah jebakan. Namun juga terbuka kemungkinan bahwa telah terjadi sesuatu tiga musuhnya, pikir Arya Penangsang.
Ki Maja Tamping mencabut senjata yang sulit dilihat bentuknya. Mungkin keris atau golok karena gulungan sinarnya terlihat begitu pendek. Dalam usahanya untuk meringkus Poh Kecik hidup-hidup, maka Arya Penangsang tidak dapat segera memastikan senjata yang berada dalam genggaman Ki Maja Tamping. Selain itu, serangan demi serangan Ki Maja Tamping sedang mengalir deras pada jarak yang cukup dekat, menekan lawan sehingga mendatangkan kesulitan bagi Arya Penangsang untuk mengenali bentuk senjata Ki Maja Tamping. Namun itu tidak dapat memaksa Arya Penangsang untuk menunggu lebih lama. Kejelian dan ketajaman penglihatannya tidak berkurang banyak meski Poh Kecik menggandakan kegesitan. “Bukan senjata biasa. Andaikan orang itu mau, maka kekuatannya dapat meruntuhkan kedai ini,” ucap Arya Penangsang dalam hati.
Kemahiran Ki Maja Tamping memainkan senjata seolah memberikan kenyataan bahwa senjatanya adalah bagian yang tak terpisahkan darinya. Setiap putaran senjata seperti menunjukkan ketinggian ilmu yang dimilikinya. Seakan tidak ada keraguan pada setiap gerakan, baik ketika menyerang maupun mengelak serangan balik Ki Bejijong. Sehingga, dalam keadaan demikian, seiring dengan meningkatnya ketegangan yang timbul dalam perkelahian Ki Maja Tamping, Arya Penangsang mengira bahwa Ki Maja Tamping benar-benar akan menghabisi Ki Bejijong. “Bisa jadi ini hanya jebakan, tetapi bisa juga ada kepentingan lain yang sedang mereka perebutkan,” demikian isi pikiran Arya Penangsang.
Sekejap kemudian, bencana pun menerpa Poh Kecik yang semula merasa melambung tinggi terbuai imbalan yang menyenangkan dari orang-orang yang mengajaknya bergabung. Arya Penangsang mengibaskan sepasang tangan seperti burung mengepakkan sayap, menjejakkan telapak kaki, melesat deras, mematuk-matuk Poh Kecik dengan dua jari telunjuk.
Poh Kecik berteriak namun suaranya cepat tertahan ketika telapak tangan terbuka Arya Penangsang mengusap bagian tengkuk, kemudian mendoirong tubuhnya dengan sebelah lengan yang lain! Tubuh Poh Kecik terlontar, menghantam jendela lalu terlempar keluar kedai. Pada kejapan mata selanjutnya, Arya Penangsang memasuki lingkar perkelahian Ki Maja Tamping yang membingungkan. Dua lengan Adipati Jipang itu membuka lebar, mendorong ke samping kiri dan kanan, menjauhkan dua orang yang sedang berseteru dengan lambaran tenaga inti yang tidak terduga sebelumnya.
Ki Maja Tamping mengumpat kasar, lalu berseru, “Hey! Sebaiknya engkau tahu diri dengan tidak menganggu kesibukan kami!”
Lagi-lagi, karena perubahan yang terjadi secepat kilat itu, Ki Bejijong harus menahan diri. Dia tidak dapat menganggap Arya Penangsang sedang membantunya keluar dari kebingungan, dan juga tidak ingin berharap supaya Ki Maja Tamping berhenti menyerangnya. “Ini bukan sebuah kelonggaran yang kebetulan,” ucap Ki Bejijong dalam hati samba merasakan bahwa untuk bernapas panjang pun sebenarnya sulit dilakukan.
Arya Penangsang menatap mereka bergantian tanpa mengucapkan kata sepatah pun.
“Inilah Arya Penangsang, Adipati Jipang yang terkenal gemar mencampuri urusan orang lain,” seru Ki Maja Tamping.
“Aku mendengar ucapanmu begitu jelas,” sahut Arya Penangsang.
“Setelah dia menyelonong masuk ketika Jaka Tingkir dalam genggaman orang lain, setelah dia menerobos benteng pasukan di Panarukan, sekarang ini hanyalah penambahan bukti penyimpangan jalan pikiranmu, Penangsang,” ucap Ki Maja Tamping dengan ketus.
“Apa yang kau katakan tidak pernah dapat memutar waktu untuk mengulang peristiwa itu. Dan pula, yang kau katakana adalah ungkapan dan juga bukti bahwa engkau tidak bergerak sendiri. Seorang atau beberapa orang bersekongkol menghadang perjalanan kami bertiga,” Arya Penangsang berkata, “mungkin Kyai Rontek atau bisa juga ada pihak lain yang menempatkan orang itu sebagai boneka.” Dengan sikap yang mentereng, Arya Penangsang melanjutkan kata-katanya, “Inilah yang dinamakan panggung boneka. Kalian berdua dan Kyai Rontek adalah perpanjangan tangan dari seseorang yang tidak akan aku sebut namanya. Dan, aku sendiri tidak akan mencegah kalian menempatkan jari kematian di atas kepala atau wajahku. Kalian tidak perlu risau dengan Ki Rangga Gagak Panji dan Ki Tumenggung Prabasena. Percayalah, mereka akan tetap berada di tempatnya ketika kalian melenggang sambil menenteng sebutir kepala ini.” Arya Penangsang meletakkan ujung telunjuknya pada kening bagian kanan.
Pada keadaan itu, Ki Bejijong mengeluh, bahwa dia memang tidak dapat mengharapkan ketegangan dapat mencair. Dia juga tidak lagi memikirkan jalan selamat. Bagaimana dia dapat berharap jalan itu ada jika Arya Penangsang benar-benar berkelahi dengan segenap kemampuannya? Ketika matanya berkeliling, Ki Bejijong mendapati bahwa Poh Kecik sudah tidak lagi berada di dekat mereka. Dengan mudah, Ki Bejijong menyimpulkan Poh Kecik telah diringkus oleh salah satu dari dua kerabat Arya Penangsang yang berada di luar kedai. Udara yang memanaskan hari akan semakin panas hingga sore hari, pikir Ki Bejijong.
“Tuntaskan tanggung jawab kalian,” ucap lantang Arya Penangsang menantang. Nada suaranya terdengar lebih tajam daripada ujung keris Kyai Setan Kober.