Walau bertarung dengan sebagian kekuatan, tapi Swandaru masih mampu menunjukkan bahwa dirinya masih pantas disebut sebagai murid Kyai Gringsing. Sehingga pada akhir malam itu, dengan segenap usaha, para perusuh dapat dipukul mundur dari halaman. Orang-orang suruhan Ki Garu Wesi itu pun berlarian meninggalkan pedukuhan induk melalui lorong-lorong sempit yang dianggap akan menyulitkan pengawal kademangan jika mereka diperintahkan mengejar. Namun Swandaru lebih memilih untuk menjalankan perintah Agung Sedayu yang menghendaki pengejaran cukup sampai batas wilayah.
Ketika beberapa regu telah kembali ke halaman rumah Ki Demang, sebagian ketua pun bertanya pada Swandaru.
“Tugas dari kita semua telah ditentukan oleh Ki Rangga,” jawab Swandaru. “Aku tidak berani bergerak lebih jauh hanya untuk mengejar mereka. Kita akan kekurangan jumlah di setiap pedukuhan maupun dusun-dusun yang semestinya mendpatkan perhatian lebih baik. Kita harus meningkatkan kewaspadaan karena mereka mungkin akan menyerang lagi setiap saat. Setiap orang harus menyiapkan diri dari segala kemungkinan buruk yang dapat terjadi.”
Mendengar jawaban itu, para ketua regu mengangguk-anggukkan kepala, lalu meneruskannya pada tiap anggota mereka.
Kemudian Swandaru berkata lagi, “Kalian dapat segera kembali ke gardu masing-masing. Tetap berjaga agar dapat menghalau setiap orang yang berencana membawa keburukan pada kademangan. Mereka tidak boleh lagi dapat masuk halaman rumah Ki Demang atau kepala dusun dan banjar pedukuhan.”
Seorang penghubung kemudian datang dari arah Pedukuhan Jagaprayan. Dia melaporkan keadaan pedukuhan yang sedang dikawal oleh Pandan Wangi itu.
Swandaru mendengar dengan penuh seksama, Lalu berkata, “Kau dapat mengambil waktu untuk istirahat barang sebentar. Kemudian kabarkan segala perkembangan di sini dan setiap wilayah yang kau lalui pada Nyi Pandan Wangi.”
“Baik, saya laksanakan,” sahut penghubung itu lalu pergi ke banjar.
Keadaan di pedukuhan induk dan sejumlah dusun berangsur membaik sebelum fajar tiba. Sukra pun tampak sedang bercengkerama santai dengan beberapa pengawal di samping pohon pre yang berdaun rindang.
“Apakah kau akan kembali ke Menoreh atau bagaimana?” tanya seorang pengawal pada Sukra.
Sukra mengangkat bahu, lalu berkata, “Aku tidak tahu karena tidak ada perintah seperti itu dari Ki Rangga atau Nyi Pandan Wangi.”
“Ki Rangga sudah tidak berada di kademangan. Lagipula, bukankah kau dapat menanyakan itu pada Ki Swandaru?’ tanya pengawal itu.
Sukra menjawabnya dengan cara mengalihkan wajah, memandang bagian lain dari pedukuhan.
Ternyata bahasa tubuh Sukra dapat dimengerti oleh pengawal yang berada di sekitarnya sehingga mereka pun tidak lagi bertanya.
Sukra merenung beberapa lama, kemudian berdiri sambil mengibas kain panjang yang menutup sepasang kakinya. Dia berkata kemudian, “Aku akan menggabungkan diri dengan pengawal di Watu Sumping. Mungkin mereka akan membutuhkan tenagaku yang sedikit tersisa. Sampai jumpa.”
Beberapa pengawal memandang Sukra dengan tatap mata heran. Sebagian memendam pertanyaan, ada apakah di balik sikap anak muda Menoreh itu? Walau dapat meraba rasa yang terpendam di balik setiap mata yang melihatnya, Sukra bersikap seolah tidak ada sesuatu yang terjadi pada hatinya. Rasa penasaran mereka semakin menjadi-jadi ketika Sukra justru menempuh arah yang berlawanan dari yang diucapkannya. Sukra mengayun langkah menuju tempat Bunija yang sedang menjaga para tahanan, sedangkan Watu Sumping terletak pada arah yang berlawanan.
Di dalam ruang pikirannya, Sukra ingin memastikan keamanan Bunija seperti yang dipesankan oleh Ki Tumenggung Untara. Meski mereka sudah berada di bagian teraman di pedukuhan induk, tapi Sukra belum sepenuhnya dapat melepas pengawasan pada Bunija. Pengawal Tanah Perdikan Menoreh itu berjalan pelan sambil mengamati keadaan yang terjadi sepanjang perjalanannya.
Sejenak waktu berlalu, Sukra pun tiba di tempat Bunija berjaga. Tampak olehnya pemimpin pengawal itu sedang berbincang dengan penghubung dari Jagaprayan. Bunija melambai agar Sukra agar mendekat padanya. Saat itu, Bunija mendengar keterangan dari penghubung Jagaprayan bahwa keadaan di pedukuhan justru lebih parah dibandingkan dengan pedukuhan induk. Menurut penilaian penghubung, jumlah dan kekuatan lawan di Jagaprayan lebih tertata dan seakan tidak ada khawatir diketahui oleh Mataram.
“Tapi mereka selalu dapat menghindar dari jangkauan peronda yang dikirim Mataram maupun Jati Anom, Kakang,” ucap penghubung itu.
Bunija mengangguk dengan kening berkerut. “Perkembangan seperti itu semestinya sudah diketahui Ki Tumenggung Untara. Tapi aku kira beliau pasti mempunyai pertimbangan sendiri untuk membuat keputusan yang dapat dijalankan Nyi Pandan Wangi,” kata Bunija lirih, “Kakang Dharmana pun seharusnya mendapatkan laporan seperti ini.” Bunija kemudian memandang lekat wajah penghubung itu, lalu berkata, “Apakah engkau keberatan bila aku memintamu meneruskan keadaan itu pada kakang Dharmana?”
Penghubung itu menjawab dengan gelengan kepala. Sesaat kemudian, Bunija mengucapkan beberapa pesan yang disampaikan dengan suara pelan padanya. Setelah Bunija mengurai rincian pesan, penghubung itu pun meninggalkan tempat untuk menuju kediaman Ki Demang Sangkal Putung. Pada Dharmana, dia akan meneruskan keadaan Jagaprayan dan pesan-pesan Bunija.
“Hampir tidak mungkin bila kakang Dharmana kemudian membagi pengawal,” kata Bunija pada Sukra ketika penghubung Jagaprayan sudah tak tampak lagi. “Jumlah pengawal di pedukuhan induk, aku kira, tidak lagi memadai karena kita telah membagi perhatian dengan Watu Sumping.”
Sukra mengangguk, lalu bertanya, “Menurut Kakang, apakah keadaan pengawal di pedukuhan induk masih mencukupi seandainya terjadi lagi bentrokan susulan?”
Bunija menarik napas panjang. Jawabnya kemudian, “Kita bukanlah prajurit Mataram yang mempunyai pasukan cadangan yang dapat digerakkan setiap waktu. Meski dapat dikatakan akan kesulitan untuk menghambat laju pemberontak, tapi aku dengar Ki Swandaru telah berada di tengah-tengah kita. Itu akan menjadi keunggulan yang tersembunyi. Dan akan ada keamanan yang lebih baik bila kakang Dharmana membicarakan itu dengan Ki Swandaru.”
Di depan Bunija, Sukra nyaris saja mengucapkan, “Apa yang dapat diharapkan dari wong gemblung itu?” Namun Sukra dapat menguasai diri sehingga dia berkata, “Mereka menghisap banyak orang yang mudah diguncang pikirannya.”
Seperti pengawal lain yang heran dengan sikap Sukra, Bunija pun terpana sambil bertanya-tanya dalam hati, Sebenarnya, ada apakah di antara mereka berdua? Tapi Bunija tidak segera menyahut. Menurutnya, mereka akan dapat menyelesaikan jika memang ada perbedaan. Maka kepala pengawal itu pun mengalihkan pembicaran dengan membahas hal-hal lainnya.
Seluruh bacaan di blog Padepokan Witasem dapat dibaca bebas biaya atau gratis. Kami hargai dukungan Anda atas jerih payah kami. Donasi dapat disalurkan melalui rekening BCA 8220522297 atau BRI 3135 0102 1624530 atas nama Roni Dwi Risdianto atau dengan membeli karya yang sudah selesai. Konfirmasi tangkapan layar pengiriman sumbangan dapat dikirim melalui Hanya WA Terima kasih.
Pada jalan yang menuju kotaraja, kuda Agung Sedayu masih menderapkan kaki seakan-akan tahu bahwa mereka sedang berpacu dengan waktu. Sepanjang waktu yang telah diambilnya dalam perjalanan itu, Agung Sedayu membuat dugaan mengenai tempat persembunyian pasukan Ki Garu Wesi. “Kedatangan mereka begitu cepat. Keadaan seperti itu hanya dapat dijalankan bila mereka mampu menyembunyikan keberadaan selama ini. Tapi aku tidak pantas untuk menilai petugas sandi yang disebar Pangeran Pubaya dan kakang Untara,” ucap Agung Sedayu dalam hati.
Suasana masih begitu sepi ketika Agung Sedayu melaju di atas jalan yang telah dipadatkan. Segelintir orang memang sudah melakukan kegiatan keseharian tapi jalan masih tampak lengang. Kabut yang menggenani udara Mataram tidak begitu pekat sehingga Agung Sedayu pun tidak direpotkan dengan keadaan.
Sepanjang waktu perjalanannya, pikiran Agung Sedayu dipenuhi banyak pertanyaan yang dijawabnya sendiri dengan berbagai dugaan. Apakah Raden Atmandaru yang diwakili Ki Garu Wesi berhasil menarik perhatian orang-orang yang hidup di sekitar Sangkal Putung? Seandainya benar begitu, maka kemampuan mereka untuk menyerang dan bertahan tentu harus dicermati dan dipelajari dengan sungguh-sungguh. Keadaan seperti itu akan memudahkan pengikut Raden Atmandaru melebur dengan denyut nadi Mataram, khususnya Kademangan Sangkal Putung. Namun, Agung Sedayu pun membuka kemungkinan di dalam dugaannya bahwa para perusuh itu adalah orang-orang yang dibayar dengan perak atau emas. “Semua kemungkinan dapat terjadi dan dilakukan olehnya,” gumam Agung Sedayu dalam hati saat menerka langkah-langkah yang diperkirakannya akan ditempuh oleh Raden Atmandaru.