Sekar Mirah mengangguk sambil tersenyum lebar. Dia menyandarkan tongkat di tepi pembaringan seakan ingin berdiri, tapi Agung Sedayu cepat menahannya dengan duduk di samping ibu dari anaknya itu. Jari jemari senapati Mataram itu tampak bergetar saat membelai bidadari kecilnya yang tidur lelap.
“Apakah dia tidak terbangun pada saat suasana begitu riuh di luar?” tanya Agung Sedayu.
Sekar Mirah menjawab dengan gelengan kepala.
Pertemuan itu seolah-olah mampu menutup semua jalan bicara murid tungga Ki Sumangkar itu. Sejak prahara melanda Kademangan Sangkal Putung melalui Pedukuhan Janti yang dikobarkan api peperangan, Sekar Mirah tak sempat bertanya keberadaan suaminya. Berhari-hari dan sepanjang waktu mengapung di langit Mataram, Sekar Mirah tak sekali pun bertanya pada Ki Demang atau yang lainnya mengenai kabar Agung Sedayu. Ipar Pandan Wangi tersebut memang mendengar Agung Sedayu mengalami luka dalam dan dalam perawatan putri Panembahan Senapati, tapi dia tidak pernah mencari kebenaran berita tersebut. Bagi putri Ki Demang Sangkal Putung itu, segala pikiran dan segenap perasaannya mengenai keadaan Agung Sedayu cukup tersimpan rapi di dalam hati. Setiap pertanyaan darinya dapat mengikis rasa rindu pada lelaki bersahaja yang dianggapnya sebagai pahlawan bagi bidadari kecilnya. Sekar Mirah teguh dengan pendiriannya.
“Setiap kata yang terucap adalah harapan. Bagaimana aku menunjukkan rasa cemas dan khawatir melalui kata-kata bila akhirnya membawa luka mendalam atau akibat buruk bagi kakang Agung Sedayu?’ kata Sekar Mirah dalam hati ketika mendengar ayahnya menerima laporan dari Dharmana.
Semenjak Agung Sedayu mengawal kepulangan Ki Patih Mandaraka hingga dirinya dilarikan ke Pengging karena luka-luka akibat bentrokan di Slumpring, Sekar Mirah bertekad kuat akan melakukan segala yang dibutuhkan demi keselamatan dan keamanan anaknya. Adik kandung Swandaru itu menyediakan dirinya sebagai tirai yang melindungi putrinya dari marabahaya termasuk gigitan nyamuk. Api yang membakar bumi Sangkal Putung dan Mataram tidak mampu menghanguskan hatinya yang menjadi tempat tinggal putrinya. Dia melakukan itu semua, memaksa dirinya menjadi segalanya demi kecintaan dan kepercayaan Agung Sedayu. Sekar Mirah tidak pernah rela mengubur berita-berita buruk karena dia yakin bila melakukan itu maka sama artinya dengan mengubur segala kenangannya dengan Agung Sedayu, mengubur pula harapan bagi anaknya.
Hari demi hari berlalu dan Sekar Mirah adalah padang rumput yang tiada jemu melahirkan bunga-bunga yang terus mengembang demi menyambut sinar matahari. Sekar Mirah menggemakan nama Agung Sedayu pada anaknya karena itu seperti hujan yang turun membasahi bumi yang kering.
Sepanjang waktu itu tidak ada kata yang terucap dari Agung Sedayu dan Sekar Mirah. Mereka membiarkan gelombang rasa dan getar-getar batiniah berbicara sendiri. Sekali lagi, hanya tatap mata dengan sejuta makna dan tangan mereka yang menjadi sibuk bergantian membelai kening putri mereka.
Hingga suara Sekar Mirah mengalun pelan namun mampu mengguncang persendian Agung Sedayu. “Kakang,” lirih Sekar Mirah berucap sambil menggerakkan kepala menunjuk pada putri mereka.
Agung Sedayu hanya menatap wajah istrinya tapi nalarnya seolah berhenti bekerja.
“Kakang,” ucap Sekar Mirah sekali lagi.
Agung Sedayu pun menatapnya saja. Tanpa kata-kata.
Sekar Mirah mencubit kecil lengan Agung Sedayu sambil berkata dengan sedikit gemas, “Belum ada nama.”
Agung Sedayu merenung sejenak dengan kepala mata menatap ke bawah sambil memejamkan mata. Dia mengingat pesan Ki Patih Mandaraka ketika berbisik padanya untuk sebuah nama. “Wangi,” desis Agung Sedayu, “Wangi Sriwedari.”
Sekar Mirah mengulang nama itu dengan suara lirih. Dia mengangkat wajah dengan sinar mata bertanya-tanya.
Agung Sedayu mengangguk. “Sriwedari adalah pemberian Ki Patih Mandaraka, sedangkan Wangi itu dariku,” kata senapati Mataram itu. Dia kemudian bertanya, “Bila kurang elok, kau bisa ganti sesuai harapanmu.”
Sekar Mirah menggenggam erat jari Agung Sedayu sambil menggeleng. Dia tersenyum lalu katanya, “Tidak, tidak ada keberatan karena memang nama yang elok dan mungkin anak ini akan sekuat mbokdhe Pandan Wangi.”
“Terima kasih,” ucap Agung Sedayu kemudian mengecup kening istrinya lalu berturut-turut pelipis anaknya.
Suasana hening beberapa saat. Agung Sedayu menarik napas panjang beberapa kali. Sekar Mirah mengetahui keadaan itu dan dia tahu bahwa suaminya sedang menimbang sesuatu untuk diucapkan. Jemari Sekar Mirah lembut menggenggam tangan Agung Sedayu. Kata perempuan kuat itu, “Katakan, Kakang. Aku tidak ada keberatan atau keluhan dengan apa pun yang akan Kakang ucapkan.”
Sejenak Agung Sedayu menatap wajah Sekar Mirah. Kemudian dia berkata, “Aku merasa dan kadang-kadang timbul pikiran seperti itu.”
“Seperti apakah?” tanya Sekar Mirah.
“Semacam perasaan bersalah bahwa pernikahan ini justru lebih banyak menempuh jalan bahaya,” ucap Agung Sedayu. “Kadang-kadang aku mengira bahwa masa bahaya yang kita lalui justru lebih banyak dari pada masa tenang dan damai. Aku menjalani pertempuran demi pertempuran, satu per satu pertarungan lebih banyak dari waktu yang seharusnya terluang untukmu, Mirah.”
Sekar Mirah berkata kemudian, “Sudah sewajarnya bila berjalan seperti itu, Kakang. Aku tidak dapat menolak atau menghindari segala peristiwa yang berkaitan dengan Kakang. Bagaimanapun, sebagai perempuan yang telah menentukan pilihan hidup, maka baik bahaya atau bahagia, susah atau kelapangan, itu semua adalah jalan yang harus ditempuh sepanjang hidup sebagai pendamping Kakang.”
Agung Sedayu mendengar ucapan istrinya dengan kepala tunduk. Sejenak kemudian, dia mengangkat wajah lalu menatap lurus Sekar Mirah.
Dalam waktu itu, di luar rumah Ki Demang Sangkal Putung, gelar yang diperagakan pengawal kademangan mampu menahan arus seragan para perusuh. Sepak terjang Swandaru menjadi pembeda sepeninggal Agung Sedayu yang mengambil waktu sejenak untuk menemui Sekar Mirah dan Wangi Sriwedari. Swandaru cukup berani membagi pengawal dengan memerintahkan sebagian kecil dari mereka untuk berjaga di bagian belakang rumah Ki Demang. Ya, benar, kehadiran Swandaru mampu mengubah ketidakseimbangan dari segi jumlah menjadi kelebihan bagi pengawal kademangan.
Seluruh bacaan di blog Padepokan Witasem dapat dibaca bebas biaya atau gratis. Kami hargai dukungan Anda atas jerih payah kami. Donasi dapat disalurkan melalui rekening BCA 8220522297 atau BRI 3135 0102 1624530 atas nama Roni Dwi Risdianto atau dengan membeli karya yang sudah selesai. Konfirmasi tangkapan layar pengiriman sumbangan dapat dikirim melalui Hanya WA Terima kasih.
Sekelebat bayangan melesat melalui pintu pringgitan lalu tiba-tiba Agung Sedayu memcah barisan perusuh yang berada di tengah halaman. Dia meneriakkan beberapa kata yang ditujukan pada Swandaru lalu bergerak sangat cepat hingga sejumlah perusuh terjengkang kemudian pingsan.
Mendengar perintah dari kakak seperguruannya, Swandaru segera merobohkan beberapa orang lagi lalu membuka jalan untuk mendekati Agung Sedayu.
“Aku tinggalkan kademangan padamu,” ucap Agung Sedayu ketika berdiri berdampingan dengan adik seperguruannya. berdiri tegak.
Swandaru mengangguk.
“Aku tidak mempunyai banyak waktu lagi jadi secepatnya harus tiba di Kepatihan sebelum orang bertanya mengenai diriku,” tambah Agung Sedayu.
“Aku sediakan kuda terbaik,” kata Swandaru lalu memberi pesan khusus pada seorang pengawal.
“Marilah, Ki Rangga,” ujar pengawal, “silahkan ikuti saya.”
Beberapa waktu berlalu.
Secara tiba-tiba muncul seorang lelaki yang sama sekali berbeda dengan Agung Sedayu. Dia mencongklang kuda, menerobos halaman sambil menyapu sebagian perusuh yang sedang bertahan di bawah gempuran Swandaru dan para pengawal.
Kuda itu melaju secepat angin menuju arah kotaraja dengan diikuti pandangan mata Swandaru yang menggeleng kepala berulang-ulang. “Bagaimana kakang Agung Sedayu mampu mengubah penampilan secepat itu?” Swandaru bertanya pada dirinya sendiri kemudian memberi sejumlah perintah pada dua penghubung yang terpaksa berkelahi di dekatnya.