Bab 7 - Bara di Bukit Menoreh

Bara di Bukit Menoreh 49 – Perbantahan Singkat antara Agung Sedayu dengan Pangeran Selarong

Semburat raut kemenangan terlihat pada wajah Pangeran Selarong. Dia merasa di atas angin lantas tersenyum lega dalam hati karena Agung Sedayu akhirnya berpihak padanya.

“Kita hanya mempunyai waktu yang sangat pendek ketika berbagai dugaan buruk bermunculan pada saat ini,” lanjut Agung Sedayu. “Walau demikian, benturan akan terjadi dan itu hampir dapat dipastikan jika kita menelaah cermat laporan sandi.”

“Menurut perkiraan Ki Rangga, berapa lama yang mereka butuhkan untuk persiapan sebelum menyerang kita?” tanya Pangeran Selarong.

“Pertanyaan itu, apakah cermin dari rasa gentar atau ketidaksiapan?” sela Pandan Wangi dengan tatap mata pada arah yang lain.

Ingin rasanya Pangeran Selarong menetak kepala pemimpin keamanan Pedukuhan Jagaprayan itu, tapi sebelum tangannya bergerak, Agung Sedayu cepat  berkata, “Tidak kurang dari sepekan.”

Pangeran Selarong menarik napas panjang. “Saya kira kurang lebih sepekan memang dapat menjadi ukuran meski mereka menambah kecepatan gerak.”

Memulai pembicaraan untuk menyusun siasat tandingan tentu harus segera dimulai. Beranda rumah bukanlah tempat yang tepat, maka Agung Sedayu lantas mengajak Pangeran Selarong dan Pandan Wangi kembali masuk ke dalam rumah.

“Mereka sudah cukup bersabar menunggu kesempatan seperti ini,” kata Agung Sedayu sesaat setelah mereka duduk berhadap-hadapan. “Mereka benar-benar mampu menahan diri dengan tidak berbuat sesuatu pun pada tiga hari masa berkabung. Itu sebuah keputusan yang patut dihargai walau mereka sedang berusaha menikam Mataram.”

“Namun itu bukan alasan bagi kita untuk menahan diri, Paman,” kata Pangeran Selarong.

“Saya tidak mengatakan bahwa kita akan membiarkan tapi sikap mereka dengan tidak berbuat onar pada masa duka… Itu adalah keadaan yang juga harus kita perhatikan,” ucap Agung Sedayu. Pemimpin khusus itu lantas menoleh Pandan Wangi, lalu berkata, “Aku harus berterima kasih padamu karena keputusan berani yang mengejutkan banyak orang.”

Pangeran Selarong ternganga saat mendengar Agung Sedayu menyatakan terima kasih pada Pandan Wangi. “Ini, bagaimana Paman dapat menerima lalu menjelaskan akibat dari keputusan itu pada Raden Mas Rangsang atau Pangeran Purbaya? Nyi Pandan Wangi secara terang dan nyata telah membahayakan petugas sandi Mataram. Bahkan keputusan itu juga menimbulkan ancaman baru.” Pandan tajam Pangeran Selarong menyapu wajah Agung Sedayu tanpa tedeng aling-aling.

Agung Sedayu menarik napas lalu menata perasaan sejenak. Katanya kemudian, “Keputusan yang dilakukan oleh Nyi Pandan Wangi tentu sudah memperhatikan kepentingan dan juga kebutuhan pedukuhan. Sekalipun itu dipikirkan sendiri tapi tidak ada pengabaian atas pertimbangan para pemuka pedukuhan.”

“Paman tidak memiliki bukti dan juga saksi yang menguatkan bahwa Nyi Pandan Wangi telah mendengar pendapat pemimpin pedukuhan,” sanggah Pangeran Selarong.

 “Perempuan yang kita bicarakan termasuk orang penting di kademangan. Setiap bekel dan kepala pengawal pedukuhan-pedukuhan yang dibawahi Kademangan Sangkal Putung akan dapat menerima segala keputusan beliau. Sebagai putri Ki Gede Menoreh sekaligus menantu Ki Demang Sangkal Putung menjadi salah satu sebab beliau diterima semua orang di kademangan ini. Kenyataan itu mustahil dapat kita ingkari, ditambah pula pengalaman tempurnya yang sudah cukup kita dengar.”

“Baiklah, saya dapat memaksakan diri untuk menerima pendapat Paman,” kata Pangeran Selarong. “Paman, saya akan katakan terus terang,”

“Saya, Pangeran,” Agung Sedayu berkata.

“Sedari awal saya bertemu dengan Paman, saya pikir Paman tidak mengungkap hampir semua yang terjadi maupun yang Paman pikirkan,” ucap Pangeran Selarong. “Apakah saya berkata benar atau memang ada yang sedang Paman sembunyikan dari pandangan saya?”

Agung Sedayu mengembangkan senyum. Dia tidak tersinggung ucapan Pangeran Selarong yang memang terbiasa berkata sejujurnya. Sebagai seseorang yang lama bersentuhan dengan bahaya atau peperangan, Agung Sedayu memang secara sengaja menyimpan semua pendapatnya yang terkait dengan keputusan Pandan Wangi dan perkembangan terakhir Sangkal Putung. Pikirnya, putra mendiang raja Mataram itu harus mempelajari segala sesuatu dengan cukup dalam sebelum merambah ke pokok persoalan yang sedang dihadapinya.

“Pangeran,” kata Agung Sedayu kemudian, “saya akan dengan senang hati mengatakan segalanya di depan Pangeran. Tapi keadaan saat ini tidak memungkinkan kita duduk berdampingan lalu membicarakan semua yang kita inginkan. Bahkan mungkin Pangeran akan memahami latar belakang keputusan itu seiring dengan waktu yang berjalan. Saya harap Pangeran tidak keberatan dengan itu.”

Pangeran Selarong mendengus dengan raut wajah yang tak cukup pantas untuk digambarkan. Walau demikian, dia dapat menerima permintaan Agung Sedayu karena keadaan genting yang akan melanda Sangkal Putung. Sejenak kemudian, pangeran Mataram itu mengangguk.

“Terima kasih,” ucap Agung Sedayu dengan nada rendah. Lantas dia menjelaskan, “Para pemberontak mungkin sudah merasa pekerjaan mereka menjadi  semakin berat karena waktu tunggu. Sejak mereka menduduki Pedukuhan Janti,  maka waktu untuk menunggu perintah untuk menyerang adalah mesin pembunuh yang senyap. Keputusan hukuman mati yang disebarkan oleh para pengawal pedukuhan sudah barang tentu mempunyai tujuan. Pada hari ini, kita dapat mengetahui bahwa para pemberontak ternyata tidak berdiam diri. Mereka mengamati setiap perkembangan yang terjadi di kademangan. Bahkan kehadiran pasukan kotaraja menjadi bukti bahwa pengaruh keputusan itu memang sangat besar. Kita harus akui itu.”

Pangeran Selarong menunduk sambil merenungi kata demi kata yang diucapkan Agung Sedayu. Sekejap kemudian, dia sudah merasa tak perlu lagi duduk bersama Agung Sedayu atau orang lain hanya untuk membahas keputusan Pandan Wangi. “Lalu, apa rencana Paman selanjutnya?” tanya pangeran Mataram itu.

“Kedudukan mereka di Janti sudah cukup kuat untuk menjadi batu pijak serangan ke kotaraja,” jawab Agung Sedayu. Senapati pasukan khusus itu menduga  bahwa dua orang di dalamnya sudah mempunyai sanggahan di dalam pikiran masing-masing. Oleh sebab itu, Agung Sedayu meneruskan ucapan, “Jumlah bukan menjadi sebab yang dapat memastikan kemenangan. Saya maksudkan adalah kita tidak boleh jemawa karena mereka berjumlah kurang dari lima ribu orang. Justru yang harus kita tekankan adalah mereka mampu membuat kegaduhan hanya dengan orang-orang yang berjumlah kurang dari dua ratus. Tentu keadaan itu dapat menyebabkan pertanyaan : apa saja yang dilakukan petugas sandi dan prajurit Mataram sepanjang lima atau enam bulan yang telah berlalu? Pangeran Purbaya dan Raden Mas Rangsang akan kesulitan menjawab pertanyaan itu seandainya mengemuka.”

Pangeran Selarong dan Pandan Wangi mendengar dengan penuh seksama. Agung Sedayu kemudian meminta Ki Lurah Plaosan dan Kinasih turut bergabung dalam lingkar pembicaraan itu. Setelah dua orang itu mengambil tempat, Agung Sedayu lantas membuka beberapa pertimbangan yang memungkinkan untuk mengatasi ancaman.

“Kedudukan mereka di dekat Watu Sumping benar-benar menjadi tempat yang tepat untuk mengawali serangan maupun memutus hubungan antar pedukuhan,” ucap Ki Lurah Plaosan. Kemudian dia memandang penuh hormat pada Pangeran Selarong, lalu berkata, “Maafkan saya, Pangeran. Saya menyela bukan karena merasa lebih tahu dan mengerti keadaan. Tapi itu adalah pendapat yang pertama kali muncul saat mendengar keberhasilan mereka mendudukan sebagian wilayah Sangkal Putung.”

“Lanjutkan,” ucap pendek Pangeran Selarong pada Ki Lurah Plaosan kemudian berpaling ke arah Agung Sedayu sambil menggerakkan tangan.

Agung Sedayu kemudian mengatakan bahwa ada kemungkinan laskar Ki Garu Wesi telah menemukan cara untuk menghubungkan tempat-tempat yang telah mereka kuasai. “Sulit bagi mereka untuk menyusun kekuatan baru atau mendatangkan bantuan dari tempat lain,” lanjut Agung Sedayu. Lantas senapati pasukan khusus itu mengungkap kemungkinan-kemungkinan yang akan ditempuh Ki Garu Wesi.

Tanggapan pertama dinyatakan oleh Pangeran Selarong dalam bentuk seolah sedang menguji Agung Sedayu. Dia bertanya, “Salah satu dari kemungkinan itu adalah mereka mengandalkan jumlah sebagai kekuatan utama. Tapi, Paman menyakan sebelumnya bahwa jumlah bukan jaminan yang dapat memberi mereka kemenangan. Lalu, bagaimana mereka akan memecah kekuatan dalam serangan?”

“Pangeran dapat memutus jalur penghubung yang telah mereka buat,” jawab Agung Sedayu lalu memandang Pandan Wangi. Sepertinya senapati Mataram itu mengharap kesediaan Pandan Wangi membagi kekuatan pedukuhan.

“Bagaimanakah itu?” tanya Pangeran Selarong menyela sambil melihat ke arah yang sama demgan pandang mata Agung Sedayu. Kemudian pangeran Mataram itu menyusulkan satu lagi pertanyaan, “Mengapa Ki Rangga tidak meminta pasukan kotaraja yang menjadi pemutus serangan?”

Kisah Terkait

Bara di Bukit Menoreh 8 – Pembeda Itu Bernama Sukra

kibanjarasman

Bara di Bukit Menoreh 37 – Hukuman Mati yang Mengguncang Nalar Agung Sedayu

kibanjarasman

Bara di Bukit Menoreh 25 – Siapa yang Berhak Menjadi Raja Mataram, Raden Mas Wuryah atau Raden Mas Rangsang?

kibanjarasman

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.