Jejak di Balik Kabut

Jejak di Balik Kabut 7 – Perkelahian Paksi

“Tetapi kau lihat, kekuatan sekelompok kawan-kawanmu sangat kecil, sehingga dalam waktu dekat mereka akan digulung. Jangan menyesal, bahwa bagi siapa saja yang tidak mau menyerah akan dihukum. Mereka harus mati,” berkata Paksi dengan geram. Kemudian katanya pula, “Kau tidak usah mengigau. Orang-orang padukuhan yang dipimpin oleh Ki Bekel itu sendiri berhasil menguasai seluruh medan. Jumlah mereka terlalu banyak untuk dilawan oleh sejumlah kecil para pengikut Kebo Lorog itu.”

Tetapi orang itu tertawa. Kalanya, “Dengan jumlah yang kecil itu, kami akan dapat menghancurkan orang-orang padukuhanmu. Bahkan kami akan memasuki padukuhanmu, merampas dan merampok apa saja yang dapat kami bawa.”

“Tidak. Kau tentu dapat melihat, bahwa Kebo Lorog itu tidak dapat mengalahkan Adeg Panatas, adik Ki Bekel. “

“Persetan dengan Adeg Panatas.” Orang itu menjadi sangat marah. Tiba-tiba saja ilmunya telah meningkat dengan cepat, sehingga beberapa langkah Paksi harus bergerak mundur. Namun Paksi pun kemudian telah menemukan kemampuannya sepenuhnya kembali, sehingga pertempuran itu pun menjadi semakin sengit. Tetapi beberapa kali Paksi dikejutkan, ia kenali unsur gerak lawannya itu. Ia sadari bahwa sekali-sekali ia mengalami tekanan yang sangat berat, justru karena lawannya menguasai unsur-unsur gerak yang nampaknya lebih matang. Bahkan Paksi mengalami kesulitan karena lawannya itu selalu berhasil memotong serangan-serangannya, seakanakan orang itu tahu, apa yang harus dilakukan. Tetapi dengan demikian, Paksi justru mendapat pengalaman baru. Ia melihat kemungkinan-kemungkinan yang terbuka bagi ilmunya sebagaimana dilakukan oleh orang berwajah cacat itu. Diluar sadarnya Paksi justru mulai mengetrapkannya. Kakinya, tangannya, sikunya, lututnya dan bahkan jari-jarinya. Tetapi serangan-serangan lawannya itu mulai mampu menembus pertahanannya. Ketika tangan lawannya terayun deras mengarah ke keningnya, Paksi sempat mengelak. Meskipun demikian, sisi telapak tangan orang itu masih menyentuh bahunya, sehingga Paksi harus meloncat mengambil jarak. Perasaan nyeri yang tajam telah menggigit bahunya yang tersentuh serangan lawannya itu.

Paksi meloncat beberapa langkah surut. Ia sempat mengusap bahunya yang sakit. Namun lawannya tidak memberinya kesempatan terlalu lama. Dengan garangnya lawannya itu telah menyerangnya pula. Kedua tangannya terayun dengan derasnya. Sisi telapak tangannya mengarah keleher anak muda itu. Tetapi dengan tangkas Paksi merendah, Ia justru menyerang kaki lawannya dengan sapuan Lawan Paksi itu terkejut. Ia tidak sempat mengelak, sehingga kedua kakinya yang ditebas oleh kaki Paksi terdorong selangkah. 

Tetapi orang itu tidak terbanting jatuh. Ia justru berputar dengan menapak pada tangannya, sementara kakinya terangkat tinggi-tinggi. Dengan satu putaran, maka lawannya telah berada beberapa langkah daripadanya, di antarai oleh tiga buah nisan batu hitam. Paksi mengerutkan keningnya. Ia tertarik melihat gerakan lawannya. Tetapi Paksi tidak sedang melakukan latihan. Ia sedang bertempur habis-habisan sebagaimana orang-orang padukuhan yang lain. Namun di luar sadarnya, ternyata Paksi telah terpancing semakin jauh dari arena pertempuran di kuburan itu Meskipun hal itu kemudian disadari oleh Paksi, tetapi Paksi sama sekali tidak menjadi gentar. Semakin lama Paksi semakin percaya kepada kemampuan dirinya. Dengan cepat Paksi justru telah menyadap unsur-unsur gerak lawannya yang menurut pendapat Paksi merupakan perkembangan dari ilmu yang mempunyai sumber yang sama dari ilmunya. Paksi tertegun ketika ia melihat lawannya meloncat beberapa langkah surut untuk mengambil jarak. Paksi memang tidak dengan tergesa-gesa memburunya. Ia harus lebih berhati-hati menghadapi lawan yang memiliki pengalaman dan memiliki ilmu yang lebih mantap.

“He, kau anak iblis. Darimana kau memiliki ilmu seperti itu, yang mempunyai tatanan gerak mirip dengan ilmuku? Apakah kau telah mencurinya dari salah satu perguruan yang bersumber dari ilmu itu?”

Paksi memandang orang itu dengan tajamnya. Namun dalam kegelapan ia tidak dapat melihat dengan lebih jelas lagi selain ia dapat mengenali cacat di wajah orang itu.

“Kenapa kau tidak menjawab? Sebagai salah seorang murid yang mewarisi ilmu dari sumber ilmu yang aku junjung tinggi, maka aku mempunyai kewajiban untuk menghancurkan orang yang telah mencuri ilmu atau sebagian dari ilmu itu.”

Dengan lantang Paksi pun menjawab, “Tidak ada seorang pun murid dari jalur perguruanku menjadi seorang perampok. Jika kau menguasai ilmu dari jalur perguruanku, namun kau adalah seorang perampok, maka kau memang harus dimusnahkan, karena dengan demikian kau sudah mengotori nama perguruan kami.”

Orang itu tertawa. Katanya, “Kau jangan memutar balik persoalan. Tetapi nampaknya kau memang seorang yang licik. Di umurmu yang masih sangat muda itu, kau sudah berhasil mencuri ilmu dari perguruan kami. Selebihnya kau sudah pandai berbohong.”

Kemarahan Paksi tidak dapat dibendung lagi. Karena itu, ia tidak menunggu lawannya menyelesaikan kalimatnya. Dengan serta-merta Paksi telah meloncat menyerang dengan garangnya. Pertempuran telah menyala kembali. Paksi telah mengerahkan segala kemampuan yang ada pada dirinya. Tanpa disadarinya, ia justru terpengaruh oleh lawannya yang telah mengembangkan unsur-unsur gerak dari perguruannya. Ternyata serangan Paksi yang membadai itu telah membuat lawannya mengalami kesulitan. Apalagi ketika Paksi bertempur dengan memelihara jarak, karena nampaknya lawannya sering terhambat oleh jarak.

Dalam kemarahan yang memuncak, maka kemampuan Paksi justru menjadi semakin tinggi. Ia mampu bergerak semakin cepat dan kekuatannya menjadi semakin meningkat. Dengan demikian, maka lawannya pun mulai terdesak. Sekali-sekali serangan Paksi telah mengenai sasarannya sehingga beberapa kali keseimbangan lawannya telah terguncang. Karena itu, maka dalam keadaan yang paling sulit, maka lawan Paksi itu justru telah melenting menjauhinya. Kemudian dengan tangkasnya bertumpu pada kedua tangannya yang menapak, orang itu berputar dengan beberapa kali.

Ketika Paksi menyadari dan meloncat memburunya, maka orang itu sudah melenting berdiri dan berlari menembus kegelapan, justru meloncat masuk kembali kedalam kuburan. Paksi tertegun sejenak. Orang itu bagaikan hilang di antara gerumbul-gerumbul perdu disela-sela batang pohon kamboja. Untuk beberapa saat Paksi berdiri termangu-mangu. Ternyata ia telah kehilangan lawannya. Namun Paksi tidak dapat terlalu lama merenung. Sejenak kemudian ia pun menyadari, bahwa di kuburan itu telah terjadi perternpuran antara Kebo Lorog dan para pengikutnya melawan orang-orang padukuhan yang dipimpin oleh Ki Bekel sendiri bersama adiknya, Adeg Panatas. Jika semula perhatian Paksi sepenuhnya tertuju kepada lawannya sehingga ia seakan-akan tidak mendengar hiruk pikuk pertempuran, maka demikian ia kehilangan lawannya itu, maka ia pun segera bergerak mendekati arena.

Dengan hati-hati Paksi merayap di antara batang pohon kamboja serta nisan nisan yang membujurke utara.  Dalam kegelapan, matanya yang tajam melihat pertempuran itu berlangsung dengan sengitnya. Sekali sekali Ia mendengar teriakan-teriakan kasar. Umpatan-umpatan dan juga perintah-perintah di sela-sela pekik kesakitan. Paksi pun bergeser semain dekat. Ia berhenti di belakang sebuah nisan yang besar. Beberapa langkah daripadanya, di tempat yang agak lapang, Adeg Panatas tengah bertempur melawan Kebo Lorog.

Ternyata keduanya memang berilmu tinggi. Keduanya saling menyerang, tetapi juga saling menangkis dan menghindar. Ilmu mereka berdua agaknya telah meningkat semakin tinggi, sehingga benturan-benturan yang terjadi di antara mereka seolah-olah telah menggetarkan udara di kuburan itu. Ketika Paksi berpaling ke arah yang lain, ia melihat Sura dan Mertawira juga sedang bertempur. Tetapi keduanya tidak bertempur seorang melawan seorang. Beberapa orang anak muda tengah membantu mereka menghadapi dua orang perampok yang semakin terdesak.

“Nampaknya kedua orang perampok itu sudah tidak banyak dapat memberikan perlawanan” berkata Paksi di dalam hatinya. Sejenak kemudian, maka Paksi pun bergeser lagi. Ia melihat Ki Bekel yang sedang bertempur. Ternyata Ki Bekel juga mampu bergerak cepat mengimbangi lawannya. Ketika Paksi bergeser lagi, dilihatnya Ki Jagabaya juga bertempur bersama beberapa orang melawan seorang yang bertubuh tinggi tegap. Ia adalah pengiring Kebo Lorog ketika ia datang ke rumah Ki Pituhu. Orang yang bertubuh tinggi tegap dan berwajah garang itu memiliki bekal kanuragan yang cukup pula. Tetapi ia harus bertempur menghadapi beberapa orang, dan bahkan di antaranya adalah Ki Jagabaya, maka orang itu harus memeras kemampuannya untuk bertahan.

Dengan demikian, maka menurut pengamatan Paksi, orang-orang padukuhan yang dipimpin langsung oleh Ki Bekel dan adiknya, Adeg Panatas, akan segera dapat mengatasi lawan-lawanya. Karena itu, maka Paksi pun tidak dengan tergesa-gesa melibatkan diri. Ia masih bergeser lagi, justru mendekati lagi pertempuran yang sengit antara Kebo Lorog dan Adeg Panatas. Nampaknya keduanya sengaja bergeser menepi, di tempat yang masih agak lapang, sehingga kaki mereka tidak setiap kali harus menghindari batu-batu nisan yang tersebar. Adeg Panatas sendiri merasa kurang mapan untuk berloncatan diatas onggokan tanah kuburan dan batu-batu nisan. Paksi mengamati pertempuran dengan jantung yang berdebaran. Ia melihat keduanya semakin meningkatkan kemampuan mereka. Bahkan nampaknya mereka sudah merambah ke tenaga dalam sehingga tenaga mereka seakan-akan menjadi semakin besar. Beberapa kali keduanya saling membenturkan kekuatan. Jika yang seorang menyerang dan yang seorang menangkis serangan itu, maka kedua-duanya tampak menjadi goyah.

Paksi mengangguk-angguk di luar sadarnya. Ia pun sudah menapak pada tataran sebagaimana disaksikannya itu meskipun sumber ilmunya berbeda. Meskipun baru pada tataran dasar, namun Paksi mampu mengungkapkan tenaga dalamnya sebagai tenaga yang besar. Paksi sempat merenungi pertempurannya sendiri melawan orang berwajah cacat. Sesuatu tiba-tiba membersit di kepalanya. Ia teringat bagaimana lawannya berusaha memancing tenaga dalam yang masih belum terungkapkan dari dalam dirinya dengan unsur-unsur gerak yang pada dasarnya pernah dipelajarinya. Paksi menjadi termangu-mangu sejenak, Ia merasa mampu untuk melakukannya. Tetapi tentu tidak dengan serta merta, agar justru tidak menyakiti bagian dalam tubuhnya sendiri. Apalagi jika hal itu dilakukan tanpa tuntunan seorang guru atau orang yang memiliki ilmu yang sejalan, namun sudah berada pada tataran yang lebih tinggi.

Paksi yang merenung itu seperti terbangun ketika ia melihat Adeg Panatas terpelanting jatuh. Untunglah bahwa tubuhnya yang lentur masih sempat mengatur diri. sehingga dengan demikian Adeg Panatas itu tidak mengalami kesulitan ketika ia meloncat bangkit. Bahkan ketika Kebo Lorog meloncat menyerangnya, Adeg Panatas dengan tangkasnya bergeser selangkah kesamptng, namun yang dengan serta merta telah berputar dengan ayunan kakinya yang tepat mengenai dada lawannya. Kebo Lorog terdorong beberapa langkah surut. Namun ketika Adeg Panatas memburunya, Kebo Lorog telah siap untuk menghadapinya. Paksi menarik nafas dalam-dalam. Ia belum melihat, siapakah di antara mereka yang akan dapat memenangkan pertempuran itu. Tetapi dengan demikian Adeg Panatas telah membuktikan, bahwa tidaklah sia-sia ia berguru untuk beberapa tahun lamanya. Nama Kebo Lorog sejajar dengan nama hantu yang menakutkan.

Sementara itu, Adeg Panatas mengimbanginya. “Untuk datang kembali ke padukuhan itu, Kebo Lorog harus berpikir ulang” berkata Paksi didalam hatinya. Namun dalam pada itu, keadaan para pengikut Kebo Lorog menjadi semakin sulit. Setiap orang harus berhadapan dengan tiga atau empat orang lawan. Meskipun mereka sudah terbiasa bertempur, namun mereka adalah orangorang yang hanya berbekal keberanian, kekasaran dan kebengisan. Jarang di antara mereka yang benar-benar memiliki dasar-dasar kemampuan dalam olah kanuragan. Karena itu, ketika mereka benar-benar berhadapan dengan beberapa orang dan bahkan ada di antaranya adalah bekas prajurit maka mereka pun mengalami kesulitan.

Kebo Lorog melihat kelemahan itu. Meskipun ia harus bertempur dengan mengerahkan tenaganya, tetapi Kebo Lorog sempat melihat sekilas apa yang terjadi di sekitarnya. Bahkan satu dua orang telah terluka meskipun mereka juga sempat melukai orang-orang padukuhan. Karena itu, maka Kebo Lorog tidak mempunyai pilihan lain. Meskipun ia sendiri masih mampu bertahan dan bahkan masih belum merasa dikalahkan oleh lawan nya, tetapi ia sudah dapat membayangkan apa yang akan terjadi pada akhir dari pertempuran itu jika masih lama tidak beranjak dari tempatnya. Karena itu, maka terdengar Kebo Lorog itu memberi isyarat, Terdengat sebuah suitan tidak terlalu keras.

Kisah Terkait

Jejak di Balik Kabut 1

kibanjarasman

Jejak di Balik Kabut 5 (Jilid 2)

kibanjarasman

Jejak di Balik Kabut 2

kibanjarasman

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.