Padepokan Witasem
Bab 1 Jalur Banengan

Jalur Banengan 1-2

“Ken Arok!“ seru Toh Kuning memanggil kawannya yang bertubuh ramping dengan otot padat berisi. Seperti tidak mendengar Toh Kuning yang memanggilnya, Ken Arok yang berlatih untuk memperkuat kedua lengannya masih berulang kali mengangkat tubuhnya dengan berpegang pada sebatang dahan yang kuat. Toh Kuning berjalan mendekatinya dan tegak berdiri di depan Ken Arok. Ia berkata pelan,” Apakah kau telah mendengar kabar jika petang nanti saudagar kaya di pedukuhan ini akan segera tiba di rumah?”

“Lalu?” tanya Ken Arok tanpa menghentikan latihannya.

“Lalu ia membawa berkeping emas dan perak. Mahendra tidak mungkin pulang kembali dengan tangan hampa dan menuntun lembu serta kudanya kembali ke pedukuhan” jawab Toh Kuning.

Ken Arok melompat turun dengan mata berbinar. Sejenak ia melihat ke atas dan katanya,” Matahari sedang tinggi. Apakah kita akan menghadangnya di Alas Kawitan?”

loading...

Toh Kuning menganggukkan kepala. Lantas ia berkata, ”Upaya kita untuk menghadang setiap pedagang yang melewati jalur Arjuna mulai membuahkan hasil. Beberapa pedagang mulai beralih melewati Alas Kawitan.”

Ken Arok kemudian duduk bersandar pada pohon ketapang. Ia menatap wajah Toh Kuning dengan rasa bangga lalu, ”Sepertinya memang begitu. Lereng Arjuna yang dahulu ramai dilewati pedagang dan menjadi bagian perjalanan aman serta menyenangkan sekarang telah menjadi sepi.” Ia terdiam sejenak.

Kemudian katanya lagi, ”Meskipun Alas Kawitan bukan hutan yang lebat dan rapat, namun sebenarnya ia memberi keuntungan besar bagi kita.”

Toh Kuning memandangnya lalu tersenyum dan berkata, ”Jarak antar pohon dan tebing yang tidak terlalu curam memang memudahkankita untuk berlari. Lagipula kita hanya membawa satu atau dua kantung uang emas dan perak.”

“Dan karena itu pula kita harus mampu mengendalikan kelompok Ki Ranu Welang,” tandas Ken Arok sungguh-sungguh. Toh Kuning termenung kemudian. Ia mengingat dengan baik ketika mereka bekerja sama dengan kelompok Ki Ranu Welang.

Ia menatap Ken wajah Ken Arok lalu bertanya, ”Apakah kau benar-benar pulih sepenuhnya?”

Ken Arok menjawabnya dengan anggukkan kepala.

Sebenarnyalah Ken Arok danToh Kuning telah sering menganggu perjalanan banyak orang yang melintasi lereng Gunung Arjuna atau biasa disebut sebagai Jalur Banengan. Selain jalanan yang telah dipadatkan dengan bebatuan, para peronda dari keprajuritan Kediri sering melakukan kegiatan di sekitar jalur itu. Maka dengan begitu, para pedagang mendapatkan rasa aman meskipun mereka melintasi jalur itu pada malam hari.

Sri Baginda Kertajaya memang memberi perhatian khusus pada perdagangan yang dilakukan di Kerajaan Kediri. Ia memerintahkan pendirian banyak gardu jaga di sepanjang jalur Arjuna. Gardu-gardu jaga dibangun dalam jarak yang dapat diperkirakan akan cepat dicapai dengan berkuda apabila ada masalah yang terjadi. Jaminan keamanan yang diberikan oleh Sri Baginda Kertajaya rupanya menarik minat para pedagang dari luar wilayah Kediri untuk melakukan pertukaran barang antardaerah yang berjauhan.

Tetapi jaminan keamanan itu mulai terusik dengan kehadiran Ken Arok dan Toh Kuning. Mereka berdua adalah pemuda yang berusia mendekati dua puluhan atau lebih sedikit dan sering kali menganggu perjalanan banyak pedagang yang melintasi jalur Banengan. Meski mereka tidak berbuat kejam dengan menyiksa atau membunuh korban, tetapi berita mengenai gangguan tersebut telah tersebar hingga kotaraja. Sepak terjang mereka berdua mendapat perhatian khusus dari kerajaan sebagai akibat dari kerjasama dengan Ki Ranu Welang.

Beberapa pekan sebelumnya, sebuah iring-iringan panjang muncul dari timur. Roda-roda pedati dan kereta kuda mengepulkan debu tipis. Cuaca hangat menemani dan memberi harapan sesuatu yang lebih baik akan menyambut mereka apabila kelak tiba di Kabuyutan Tertek.

Jalanan yang berkelok dan berbatas tebing dan jurang memberi pemandangan yang berbeda bagi para pedagang yang dipimpin oleh Ki Jawani. Meski belum pernah ada kejahatan yang terjadi sepanjang Jalur Banengan, namun mereka tidak mau mengalami kejadian buruk yang dapat menganggu kelancaran usaha. Para pedagang ini telah sepakat untuk menyewa jasa keamanan dari sebuah kelompok pengawal bayaran.

Gemeretak suara roda pedati dan kereta terdengar memecah kesunyian yang sekeliling iring-iringan Ki Jawani. Teriakan nyaring perintah berhenti terdengar dari pimpinan pengawal yang berada di ujung depan barisan pedagang.

“Apakah kita mengalami masalah?“ bertanya Ki Jawani pada seorang pengawal bayaran yang berdiri bersebelahan dengan kereta kudanya.

“Tidak ada, Ki Jawani. Hanya sebuah kerikil kecil yang akan terlempar ke dalam tebing,” jawab pengawal yang bercambang tipis.

Seorang lelaki dengan kain yang menutupi wajah berdiri tegak menghadang iring-iringan pedagang sembari menatap wajah pimpinan pengawal dengan sorot mata dingin. Mendadak tangan lelaki itu meraih keris yang terselip di belakang pinggangnya. Dengan gerakan yang ringan, ia melayang dan kini hanya berjarak tiga langkah dengan pimpinan rombongan.

“Aku mengira bahwa kalian adalah sekelompok pedagang yang berhasil mengubah keadaan,” berkata orang yang menghadang rombongan. Ia bertubuh sedang dengan kaki yang kokoh seperti batu karang.

“Menyingkirlah, Ki Sanak! Kami tidak mempunyai urusan yang harus diselesaikan denganmu,” kata pemimpin rombongan dari atas punggung kudanya dengan sebatang pedang yang terjulur.

“Ya,” kata penghadang itu. “Aku akan  menyingkir dari hadapanmu dengan beberapa benda yang dapat kau jadikan sebagai hadiah untukku,” ia menutup kalimatnya dengan tawa perlahan. Lalu penghadang itu berjalan mondar mandir di depan rombongan dengan sikap seperti guru yangmengajar di depan para cantriknya. Ia berkata lagi, ”Selain jumlah pengikutmu yang banyak, agaknya pedati-pedati itu juga memuat sesuatu yang dapat kami jadikan sebagai hadiah bagi pemimpin kelompok kami.”

Pemimpin rombongan yang bertubuh kekar itu melompat turun dari kuda. Kemudian katanya, “Lalu, apakah engkau tetap memaksa diri untuk bersikap baik pada pemimpinmu?” Pemimpin rombongan memberi isyarat pada pengikutnya untuk bersiap diri.

Pembelian karya Padepokan arya penangsang, Blambangan, cerita silat, cerita silat Indonesia, cerita silat Jawa, cerita silat kerajaan Jawa, cerita silat Mandarin, cerita silat online, cerita silat tanah Jawa, Demak, Jaka Tingkir, jipang, mataram, Padepokan Witasem, pajang, Pangeran Benawa, Pangeran Senja, penaklukan panarukan, sabuk inten, Serat Lelayu, sultan trenggana Witasem adalah sumbangan tak ternilai bagi pengembangan blog dan kisah-kisah baru.

Penghadang itu menatap wajah pemimpin rombongan dengan wajah sedikit terangkat. Katanya, “Bagaimana menurut pendapatmu?”

Sambil menggelengkan kepala, pemimpin rombongan menjawab, ”Kami tidak mempunyai persoalan denganmu atau pemimpin kelompokmu. Tetapi jika kau ingin tetap mengambilnya, maka kami akan memberi pelajaran berharga bagimu.  Kami akan menyelesaikan masalah yang terjadi di antara kita saat ini dengan cepat dan tidak menyakitkan. Tetapi itu semua tergantung kepada keputusanmu. Seandainya terjadi perkelahian, apakah kau dapat bertahan melawan seluruh orang-orangku ?”

“Oh!” kata penghadang sedikit terkejut. Ia kemudian tertawa agak keras. ”Kau belum mengetahui kekuatan kami. Menurut pendapatku, sebaiknya tidak ada korban nyawa atau terluka saat ini. Aku mempunyai kekuatan yang besar dan mereka telah mengepung kalian, dan aku kira sebaiknya kalian pertimbangkan dengan masak.”

Wedaran Terkait

Jalur Banengan 7

kibanjarasman

Jalur Banengan 5-6

kibanjarasman

Jalur Banengan 3-4

kibanjarasman

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.