Meski demikian, Ki Sanden Merti yang termasuk orang yang mampu melihat diri jauh ke dalam sehingga tata gerak asing yang diperagakan Agung Sedayu pun menjadi tantangan baginya. Jika ia berhenti mengembangkan diri pada pertarungan itu, maka dirinya akan tampak buruk bagi orang-orang yang berkelana di dunia kanuragan. Selain itu, Ki Sanden Merti adalah orang yang menjunjung tinggi harga diri maka tidak ada kata selain ; menggempur hingga penghabisan.
Benda-benda telah melahirkan bayangan yang sama panjang. Angin dari lereng Merapi mendorong udara panas perkelahian. Lolong dan salak anjing sudah tidak terdengar. Perkelahian sengit tiga pihak yang benar-benar menjadi perang bubrah telah reda. Dibantu Ki Banyudana, Ki Grobogan Sewu merawat yang terluka sekedarnya lalu menjadikan mereka sebagai tawanan. Kawanan anjing yang terluka pun tidak luput dari perhatian. Ternyata Ki Grobogan Sewu mempunyai sedikit kemampuan khusus dalam merawat anjing. Maka mereka pun bahu membahu menyelenggarakan perawatan atas jasad-jasad yang membujur lintang. Ketika segala sesuatu telah usai, mereka melihat jejak-jejak pertarungan antara Agung Sedayu melawan Ki Sanden Merti. Dalam percakapan kecil, mereka melihat bahwa masih cukup banyak cahaya bagi iring-iringan Panembahan Hanykrawati bila tidak terjadi sesuatu yang menghambat perjalanan. Namun, dua lurah Mataram itu tampaknya berat hati jika meninggalkan pemimpin mereka sendirian di tempat itu. Tidak ada yang tahu yang akan terjadi berikutnya. Apakah Raden Atmandaru masih mempunyai rencana penyergapan rahasia atau rencana lain yang dapat digelar di tempat itu? Maka Ki Grobogan Sewu dan Ki Banyudana sepakat untuk mengawal pertarungan Agung Sedayu hingga ada orang terakhir yang berdiri di gelanggang. Tentu saja mereka berharap Agung Sedayu dapat mengalahkan Ki Sanden Merti.
Pada gelanggang yang dibakar oleh amuk Ki Sawala, para pengawal raja sadar bahwa lawan mereka sudah menjadi gelap mata. Akibatnya pun mereka terbebani pikiran dan kegelisahan yang nyaris tidak dapat ditahan. Ki Sawala benar-benar mendorong keadaan menjadi genting! Senjata rampasan itu telah dilemparkan olehnya, sebatang keris sepanjang dua jengkal dan berluk tujuh tampak dalam genggaman Ki Sawala. Para pengawal raja tidak dapat mendekat karena sambaran Ki Sawala sungguh liar serta pancaran daya yang mengerikan yang keluar darinya. Maka pertempuran yang sengit itu terasa tidak lagi sebagai perkelahian biasa yang beradu olah kanuragan. Panembahan Hanykrawati harus mengatasi pula getaran aneh yang secara langsung menyerang jiwaninya.
Getaran aneh yang muncul dari keris milik Ki Sawala menambah derita bagi Panembahan Hankyrawati. Meski demikian, pemimpin Mataram itu tidak menyerah oleh keadaan. Ia mengurani tekanan dengan cara bertarung yang agak lain, yaitu pukul lalu hindari, hindari lalu serang lagi dan seterusnya. Panembahan Hanykrawati memanfaatkan luas lingkungan yang ditumbuhi semak-semak dan tanaman perdu.
“Hey!” seru Ki Sawala. “Beginikah cara seorang raja bertarung?”
Panembahan Hanykrawati tidak menanggapinya. Daya tubuh yang menurun akibar terpaan sakit jasmani sudah cukup menguras tenaga dan pikirannya.
“Diamlah! Marilah berkelahi melawan kami!” teriak seorang pengawal raja.
Ki Sawala tertawa keras-keras lalu bertanya, “Kenapa? Apakah kalian sudah tahu kalau raja kalian adalah pengecut?”
“Engkaulah pengecut dan juga pengkhianat,” jawab pengawal tadi. “Engkau makan dan bernapas di bawah ketiak beliau lalu berusaha membunuhnya ketika ada orang yang memberimu lebih.”
“Oh, benarkah? Apakah itu salah?” Ki Sawala bertanya.
Sejenak pengawal itu tidak menjawab. Namun kemudian ia berkata, “Bukan salah tapi kurang ajar dan tidak berbudi sama sekali. Hey, bila bukan karena raja kami memberi perintah, aku akan meringkusmu meski kau memegang senjata keramat.”
Ki Sawala menghentikan serangannya. Ia berdiri tegak sambil memandang pada arah Panembahan Hanykrawati. “Seorang raja yang tak ubahnya seperti seekor kelinci yang berlari-lari lalu bersembuyi. Kau dengar itu? Kau dengar ucapan prajuritmu?”
Panembahan Hanykrawati sepertinya enggan berbicara. Ia hanya menatap wajah orang yang mengincarnya dengan tatap mata setajam pedang. Sejenak kemudian, Panembahan Hanykrawati perlahan-lahan menarik sesuatu dari balik pinggang. Sebatang keris yang belum keluar dari warangka bergeser di depan dada putra Panembahan Senapati. Dengan gerakan mantap, Panembahan Hanykrawati menarik keris Kiai Sengkelat dengan penuh rasa hormat. Baginya, benda di tangannya adalah benda mati namun mempunyai sejarah yang usianya lebih tua dari Mataram sendiri. Ia merasakan kehadiran seseorang yang berjiwani tinggi dan empu yang membuatnya. Kemuliaan dan wibawa para pendahulunya jelas terasa getarannya melalui keris Kiai Sengkelat itu. Setelah menghela napas panjang, Panembahan Hanykrawati berkata, “Aku sampaikan permintaan maaf atas segala kelemahan dan kekuranganku sebagai pemimpin selama ini. Aku pula harus meminta maaf padamu jika perkelahian ini berakhir dengan keharusan ada yang terbunuh di antara kita.”
“Simpan ucapanmu itu, Mas Jolang,” kata Ki Sawala.
Dengan mata terpejam, Panembahan Hanykrawati membuat sunyi di dalam dirinya. Dalam keadaan itu, ia seakan sedang mendengarkan tetesan air hujan mendera lembaran-lembaran daun. Begitu sejuk ketika angin pada musim penghujan halus menyentuh kulitnya. Panembahan Hanykrawati sedang menghimpun kekuatan untuk menghalau getaran aneh yang terus menyerang dirinya sejak keris Ki Sawala terhunus. Lengan Panembahan Hanykrawati menggantung pada sisi pinggang sambil menggenggam erat Kiai Sengkelat. Dengan daya yang terbatas, Panembahan Hanykrawati menebalkan kemauan bahwa ia harus mampu mengatasi Ki Sawala yang sangat menyulitkan para pengawalnya.
Dalam waktu itu, para pengawal raja menganggap Ki Sawala sudah cukup menjadi kerikil yang sangat menghambat perjalanan. Kesulitan demi kesulitan yang datang beruntun menerpa Mataram menjadi senjata yang mengikis kesabaran mereka. Namun pemimpin mereka melarang para pengawal raja untuk kembali bertempur, meski ada alasan yang sangat kuat di balik itu. Nyaris terjadi perbantahan lagi, bahkan salah satu pengawal sudah mengatakan bahwa ia meragukan kesetiaan senapatinya.
Rasa sesak tiba-tiba menghampiri lalu singgah di dalam dada senapati pengawal raja. Katanya, “Itu adalah kecurigaan yang sangat berat. Kau pun pasti tahu bahwa ucapan itu sangat sulit dihapuskan, tapi Pangeran Selaronglah yang menjadi panglima tertinggi dalam waktu ini. Kita tidak dapat meninggalkan beliau dengan cara melanggar perintahnya.”
“Tapi kita akan disalahkan dan dihukum jika sesuatu yang buruk menimpa Panembahan,” kata anak buahnya.
“Tidak!” tegas senapati pengawal raja. “Aku akan mengambil semua hukuman yang akan dijatuhkan pada kalian. Dan, lagi pula kita akan terdorong masuk mengikuti rencana lawan bila salah seorang dari kalian melanggar perintah Pangeran Selarong. Lawan sedang mengadu domba kita dan mereka akan masuk melalui perselisihan di antara kita.”
Ki Sadana menunjuk arah perbantahan itu pada Ki Baya Aji. “Ki Lurah, apakah kita harus turun tangan melerai mereka?”
Ki Baya Aji menggeleng. Jawabnya, “Kita percayakan pada Ki Anjangsana yang berdiri di dekat mereka. Pasukan Ki Anjangsana, meski bukan bagian pengawal raja, tapi Panembahan meletakkan kepercayaan pada mereka di atas rata-rata.”
Ki Sadana mengangguk dengan raut wajah gelisah. Itu bukan keadaan yang dapat mendukung Panembahan Hanykrawati, pikirnya.
Dari belakang mereka, Kinasih melangkah mendekati Ki Baya AJi lalu membisikkan sesuatu. Ki Sadana menjauh agar mereka mempunyai ruang lebih lega. Ki Sadana mengerti bahwa percakapan rahasia mereka tidak patut untuk didengarnya. Dari tempatnya, Ki Sadana melihat Ki Baya Aji tampak mengerutkan alis, lalu memandang gelanggang pertempuran Panembahan Hanykrawati. Kemudian meminta Kinasih mengulang penjelasan. Dengan raut muka sungguh-sungguh, Kinasih menggerakkan lengan sebagai alat bantu untuk menjelaskan keadaan rumit yang sedang mereka hadapi. Sejenak kemudian, Ki Baya Aji mengangguk-angguk, lalu membuat pengamatan yang diperlukannya untuk bertindak.
Pada inti penjelasan Kinasih adalah pesan dari Nyi Ageng Banyak Patra agar tidak ada gangguan apabila Panembahan Hanykrawati telah mengeluarkan keris Kiai Sengkelat. Kekuatan yang akan dikerahkan Panembahan Hanykrawati dapat berbalik menjadi keris yang menikam lambung sendiri bila perhatian beliau terusik.
Setelah menimbang keadaan, Ki Baya Aji berjalan menyeberangi jalan menuju Ki Anjangsana yang memperlihatkan kesiapan tinggi bila perbantahan tidak kunjung usai. Didampingi Kinasih, gerakan Ki Baya Aji sudah tentu menarik perhatian para pengawal raja. Mereka tahu dan mengenal Ki Baya Aji dan juga sebagian jati diri Kinasih, maka pertengkaran pun agak mereda. Tentu ada sesuatu yang penting bila Ki Baya Aji dan Kinasih mulai bergeak, begitu rata-rara pemikiran para pengawal raja. Tanpa mengendurkan penjagaan, mereka memberi jalan bagi dua orang tersebut lalu senapati pengawal raja memerintahkan anak buahnya agar mengambil sikap bersiap.
Setelah berbicara serba sedikit dengan Ki Anjangsana, Ki Baya Aji meminta Kinasih mengulang pesan Nyi Ageng Banyak Patra agar tidak ada kesalahan penyampaian. Kinasih mengangguk, lalu berkata-kata dengan sikap hormat pada Ki Lurah Anjangsana. Pada saat penjelasan singkat Kinasih menyentuh bagian penting, terasalah oleh Ki Baya Aji dan Ki Anjangsana dada mereka berdebar semakin cepat.
“Inilah yang aku khawatirkan sepanjang perjalanan ini, Ki Lurah,” ucap Ki Anjangsana. “Aku tidak cemas dengan serangan-serangan yang dilepaskan secara sembunyi-sembunyi. Aku gelisah dan terusik jika seorang pembangkang justru bangkit dari dalam iring-iringan ini.” Pandangan Ki Anjangsana tertuju pada Ki Sawala dengan sorot menyala.
Kinasih sebenarnya ingin menanggapi tapi ia menahan diri. Apa yang akan diucapkannya? Ia berada di tengah-tengah mereka karena izin dari gurunya dan Ki Patih Mandaraka atas permintaan Agung Sedayu. “Tidak, aku tidak boleh dan tidak akan menjadi pahlawan oleh sebab aku adalah murid dari bibi seorang raja.” Kinasih lantas memperhatikan keadaannya yang belum pulih dari luka dalam. Gadis ini pun lantas menarik napas panjang.
“Ada apakah, Ngger?” tanya Ki Baya Aji.
Kinasih menggoyangkan tangan, membenamkan wajah lalu menggeleng. “Tidak, tidak ada, Paman.”
“Katakan sesuatu bila ada yang tertinggal dari Nyi Ageng,” kata Ki Baya Aji,
“Tidak ada, Paman. Semua telah saya katakan pada Paman berdua,” ucap Kinasih sopan.
“Jika demikian, katakan sesuatu pada senapati pengawal raja dan pasukannya. Kami berdua akan mendampingimu,” kata Ki Baya Aji sedikit merendahkan tubuh dengan lengan mengayun ke depan.
“Paman…,” ucap Kinasih sambil berusaha menahan ayunan lengan Ki Baya Aji. Lurah sepuh tersebut memberikan penghargaan terlalu tinggi baginya, pikir Kinasih.
Sekejap kemudian, di depan sebagian para pengawal raja dan dilihat oleh banyak orang, Kinasih mengeluarkan tanda khusus berupa panji yang terikat pada bambu dengan ukuran tertentu. Para prajurit Mataram segera mengenalinya lalu sadar bahwa di tengah-tengah mereka ada orang yang menjadi utusan khusus Ki Patih Mandaraka. Itu artinya orang tersebut dapat mengambil alih tanggung jawab Pangeran Selarong dan membuat keputusan yang harus dipatuhi semua prajurit!
Rasa gugup menyergap Kinasih. Perasaan gadis ini melonjak-lonjak liar. Ia ingin lari lalu bersembunyi ketika Ki Baya Aji memberitahukan tujuannya. Ia tidak pernah berdiri lalu bicara di depan banyak lelaki. Ia bahkan tidak pernah berlama-lama bercakap dengan seorang lelaki kecuali di pasar sekitar Pengging, dan tentu saja, Agung Sedayu.
Menyadari Kinasih tidak dalam suasana hati yang cukup baik, Ki Baya Aji kemudian melantangkan kata, “Kita tahu gadis ini adalah murid Nyi Ageng Banyak Patra, dan panji yang dibawanya adalah tanda khusus Kepatihan. Maka, aku mewakili dirinya, untuk menyatakan bahwa kita semua harus tunduk pada satu perintah yaitu Pangeran Selarong. Bila terjadi penyimpangan, aku dan Ki Anjangsana mewakili dirinya, mempunyai kuasa penuh menjatuhkan hukuman.” Dengan nada rendah, Ki Baya Aji menghadap pada Kinasih lalu bertanya, “Benarkah seperti itu, Nduk?”
Kinasih mengangguk dalam sambil berterima kasih dalam hati pada Ki Baya Aji yang tanggap denagn keadaannya.
Lantas Ki Anjangsana maju ke depan meminta para pengawal raja menyudahi pertengkaran lalu memperhatikan Panembahan Hanyrkawati sepenuh hati. Segeralah para lelaki bersenjata dan berkemampuan rata-rata itu mematuhi perintah Ki Anjangsana. Mereka dapat menerima perintah karena telah menyadari ada sesuatu yang sedang dirahasiakan dari mereka.
Peristiwa itu sudah pasti mendapatkan perhatian dari Ki Sawala, tapi ia tidak dapat mengambil kesempatan ketika sebagian pengawal sedang menyimak pesan Ki Patih Mandaraka. Sebenarnya ada cukup waktu untuk menyerang Panembahan Hanykrawati untuk penghabisan, namun jalan pengerahan tenaganya seakan-akan tersumbat sesuatu yang tidak dimengerti olehnya! Matanya terbelalak ketika tatap matanya melihat Panembahan Hanykrawati menjadi seseorang yang berbeda! Tidak ada yang berubah dari Panembahan Hanykrawati, baik bentuk tubuh maupun pakaian. Sikap tubuhnya pun masih sama dengan sebelum kedatangan Kinasih serta Ki Baya Aji.
“Gila! Apakah ini?” tanya Ki Saloka dalam hati. Tiba-tiba ia merasa cemas walau tak lama. “Baiklah, baiklah, aku akan membunuhmu dalam keadaan berdiri!” geram Ki Sawala. Pembangkang ini pun menghimpun segenap tenaga cadangan yang tersimpan dalam dirinya. Ketika sudah merasa cukup, Ki Sawala pun menyalurkannya pada sepasang tangannya. Kerisnya pun bergetar hebat, lalu memancarkan cahaya buram kebiru-biruan.
“Kirik! Ada apakah ini?” Ki Sawala menggeram saat kesulitan untuk melepaskan segenap kekuatan agar dapat menghantam Panembahan Hanykrawati. Benar-benar buntu! Semakin ia memaksa untuk mengungkap ilmunya, sepasang lengannya terasa makin membeku. Sambil memutar otak untuk mencari jalan keluar, ia pun bertanya pada dirinya sendiri, “Apakah orang itu yang menjadi sebab kekuatanku tidak dapat keluar? Ilmu apakah yang dikuasainya hingga mampu menutup semua saluran keluar?” Jantung Ki Sawala berdetak lebih cepat. Ia memandang keris yang digenggamnya erat-erat lalu menatap tajam Panembahan Hanykrawati yang masih dalam keadaan semula.
Panembahan Hanykrawati memang tidak bergerak sama sekali. Ia tegak mematung dengan lengan tergantung sambil memegang keris Kiai Sengkelat. Tidak pula tampak perubahan pada wajahnya. Napasnya tetap mengalir tenang.
Panembahan Hanykrawati tiba-tiba menjadi sosok yang mengerikan di mata Ki Sawala!
Walau demikian, Ki Sawala berusaha tenang kemudian mengurai gumpalan-gumpalan melalui pernapasan agar tidak terjadi kerusakan pada jalan darah. Ia sadar bahwa menghadapi lawan yang menyimpan kekuatan mengerikan itu tidak dapat dilakukan dengan membabi buta. Ia harus membuat perhitungan ulang lalu menunggu waktu yang tepat untuk menyerang atau mungkin justru kedudukan bertahan dapat memberinya keuntungan?
Sedikit jauh dari gelanggang Panembahan Hankyrawati, Pangeran Selarong lincah mengatasi serangan Ki Kebo Saloka yang memainkan cambuk dengan dahsyat. Suara meledak-ledak keluar dari ujung cambuk setiap orang itu melecut sandal pancing. Keteguhan hati Pangeran Selarong patut dipuji. Itu karena ia dapat bertahan dari bunyi ledakan yang jelas sangat mengganggu pikirannya. Ia masih bertahan dengan tata gerak yang memukau. Ketika melihat ada celah pada serangan Ki Kebo Saloka, Pangeran Selarong menanduknya dengan sepasang tombak secara tiba-tiba. Jantung Ki Kebo Saloka mendesir lebih cepat ketika ujung tombak Pangeran Selarong nyaris merobek wajahnya. Jaraknya sangat tipis sehingga apabila ia sedikit lambat menyorongkan kepala ke belakang, tak pelak, sabetan menyilang akan mendarat! Orang ini, Ki Kebo Saloka, bernasib mujur karena wajahnya hanya tersentuh sedikit saja, tak lebih panjang dari ruas jari.
Ajian Wedhus Gembel
“Anak lonte!” Ki Kebo Saloka mengumpat. Ia benar-benar marah dan malu pada saat itu. Seorang anak ingusan, menurutnya, mampu mencederainya sedangkan dirinya terkenal sebagai orang yang berkemampuan sejajar dengan Ki Kebo Lungit atau Ki Sekar Tawang. Hampir saja, hampir saja ia lepas kendali namun wawasannya yang sangat luas dapat menghentikannya. Ia tahu bahwa sekalipun Pangeran Selarong menyimpan sebangsal ilmu tapi pengalaman tempurnya masih terbatas. Mulailah Ki Kebo Saloka mengeluarkan kata-kata yang tak patut untuk membakar hati anak muda – yang menurutnya baru saja dapat mengeluarkan ingus dengan benar.
Pertarungan mereka semakin seru dan berkembang luar biasa. Putaran cambuk Ki Kebo Saloka membalikkan keadaan. Ia mampu mengurung lawannya dengan cara luar biasa. Meskipun tidak ingin buru-buru menyelesaikan perkelahian, Ki Kebo Saloka cepat meningkatkan kemampuannya setapak demi setapak. Serangannya pun datang mengancam dari segala arah. Ia mampu melukai Pangeran Selarong di beberapa tempat. Anak muda yang menjadi lawan tangguh itu tergores tipis pada bahu, paha dan punggung. Hinaan demi hinaan didengarnya dalam pertarungan itu. Apalagi ketika Ki Kebo Saloka dapat membuat luka kecil padanya, maka ucapan orang itu semakin memanaskan suasana hati Pangeran Selarong.
Sebagai putra raja, Pangeran Selarong mendapatkan pengajaran yang sangat baik bersama saudara-saudaranya. Beberapa guru didatangkan oleh Panembahan Hanykrawati, termasuk di antara mereka adalah orang-orang yang telah mapan secara jiwani. Dengan demikian, tali kekang dalam diri Pangeran Selarong sama sekali belum terputus sehingga dapat mengurangi gejolak perasaannya yang sudah membara.
Walaupun mulut kotor Ki Kebo Saloka terus menerus menggemakan ucapan-ucapan keji dan ujung cambuk yang tetap mematuk bertubi-tubi, tapi Pangeran Selarong terlihat tidak terseret oleh pusaran musuhnya itu. Sekejap kemudian, ia beralih pada bagian lain di dalam pustaka kanuragannya. Pangeran Selarong membuat tata gerak yang tidak terlihat indah tapi menyimpan kedahsyatan yang nyaris sama dengan yang pertama! Sepak terjang Pangeran Selarong ternyata di luar dugaan musuhnya. “Bila kau pikir perasaanku dapat terpancing oleh mulutmu yang berbau busuk, kau salah, Ki Sanak,” kata Pangeran Selarong dengan dingin. Meski membutuhkan waktu agak lama, putra raja ini mampu melepaskan diri dari tekanan musuhnya.
Pertarungan kembali menjadi seimbang.
Seluruh bacaan di blog Padepokan Witasem dapat dibaca bebas biaya. Maka dari itu, Anda dapat mendukung kami agar tetap semangat berkarya melalui rekening BCA 8220522297 atau BRI 3135 0102 1624530 atas nama Roni Dwi Risdianto atau dengan membeli karya yang sudah tamat. Konfirmasi tangkapan layar pengiriman sumbangan dapat dikirim melalui Hanya WA Selanjutnya, kami akan mengirimkan tautan/link untuk setiap tayangan terbaru melalui nomer WA yang tersimpan. Terima kasih.