Tak ada panji yang menjadi lambang kebesaran Mataram. Tak ada wajah yang sanggup memandang tegak ke depan. Panembahan Hanykrawati belum benar-benar meninggalkan mereka tapi itulah yang menjadikan pandangan sayu dan layu. Hampir semua orang tunduk dalam perasaan masing-masing. Rangkaian harapan dan permintaan terbaik berulang-ulang diucapkan dengan cara berbisik atau bergumam.
Berada di depan sebagai pemimpin barisan adalah Ki Panji Badra Wungu, kemudian Ki Baya Aji dan Ki Banyudana berada di belakangnya dengan selapis prajurit pada dua sisi yang memanjang. Sementara Raden Mas Rangsang menjadi kusir kereta kuda yang memondong Panembahan Hanykrawati berada di bagian tengah, lalu di belakang beliau adalah Pangeran Selarong. Sedangkan Kinasih dan Ki Sadana ada di bagian agak belakang karena masih harus memberikan perhatian pada prajurit yang terluka. Di ujung belakang barisan adalah Ki Anjangsana bersama Agung Sedayu serta empat lurah prajurit berkemampuan khusus. Rombongan ini meninggalkan Ki Grobogan Sewu di tengah Alas Krapyak sebagai penjaga sekaligus penghubung bila laporan
Dalam perjalanan itu, ketika mereka mendekati lembah, Pangeran Selarong menghentikan kuda. Ia menunggu hingga Agung Sedayu berada di dekatnya.
“Apakah Paman berencana segera melakukan pengejaran setiba kita di kotaraja?” tanya Pangeran Selarong.
Agung Sedayu nyaris kesulitan menelan ludah. Ia tercekat dan benar-benar tidak mengira bahwa pertanyaan itu muncul sebelum gerbang kotaraja terlihat oleh mereka. Ini pertanyaan yang sangat sulit. Adalah wajar bila seorang anak mengungkapkan kemarahannya karena sesuatu yang sangat buruk menimpa ayahnya, pikir Agung Sedayu. Ia tidak menyalahkan Pangeran Selarong bila mempunyai pertanyaan seperti itu.
“Ada beberapa hal yang harus dilakukan terlebih dulu, Pangeran.” Agung Sedayu tampak mengerutkan kening mencari jalan untuk meredam kegeraman Pangeran Selarong meski tak terungkap melalui nada suara.
Pangeran Selarong menoleh ke belakang kemudian menghela napas. “Benar,” ucapnya kemudian, “ada Eyang Patih dan bibi guru, Nyi Ageng Banyak Patra. Ya, benar. Benar, Paman tidak dapat memutuskan hal itu seorang diri. Ada pertimbangan lain yang memang membutuhkan kebijaksanaan dari yang lebih mapan daripada semua orang yang berada di sini.” Pandang mata Pangeran Selarong pun terlihat semakin layu. Seandainya keberadaan orang-orang yang lebih tua dapat diabaikan, tentulah ia akan memerintahkan Agung Sedayu menumpas habis pemberontak dengan pasukan segelar sepapan yang berada di bawah kendalinya. Ditambah kekuatan yang ada di Tanah Perdikan Menoreh, maka mengganyang pemberontak sudah pasti dapat dilakukan dengan sangat mudah. Pangeran Selarong menggeleng. Ia sadar bahwa kemarahannya yang memuncak tidak dapat diungkap lalu dituruti. Semua itu hanya mempersulit keadaan yang sudah keruh.
Iring-iringan Panembahan Hanykrawati semakin mendekati gerbang kotaraja, lalu sayup-sayup terdengar suara bende ditabuh dan mengalunkan nada sendu seakan menyeret malam agar segera pergi meninggalkan Mataram. Seperti ada orang yang memerintahkan, maka sejenak kemudian tampak banyak orang berbaris sepanjang jalan memberi penghormatan terakhir pada Panembahan Hanykrawati yang telah berpulang dengan damai.
Melihat pemandangan yang menurutnya cukup aneh, Raden Mas Rangsang pun mengerutkan kening. Setiap orang yang berada di Krapyak telah diperintahkan agar tidak menyiarkan berita lelayu, tapi mengapa kebanyakan orang sudah mengetahui kabar duka itu? Keadaan itu cukup mengguncang jiwani Raden Mas Rangsang. Ia tidak mengira pancaran duka dari kebanyakan orang itu ternyata mampu menggetarkan hatinya. Sebagian tangan-tangan terjulur menggapai langit dengan wajah tengadah. Sebagian orang menundukkan kepala dengan hati muram. Mereka sama-sama mengantarkan harapan dan permintaan terbaik bagi Panembahan Hanykrawati. Meski demikian, kejanggalan tetap menguasai isi pikiran putra raja tersebut. Pangeran Mataram ini segera menoleh ke belakang, melambaikan tangan pada Agung Sedayu agar mendekat padanya.
“Bagaimana mereka mengetahui Panembahan wafat?” tanya Raden Mas Rangsang pada Agung Sedayu yang sudah berada di sampingnya.
“Pangeran, kita tidak boleh melupakan keberadaan para pemberontak saat mereka meninggalkan Alas Krapyak. Mereka dapat berteriak-teriak seperti orang kesurupan demit penunggu hutan, dan kita tidak dapat mengekang mereka.”
Raden Mas Rangsang menggeram. Namun sejenak kemudian napas panjang terhembus darinya. Setelah dapat menguasai diri, ia bertanya, “Apakah Paman ada keberatan jika kami perintahkan untuk segera menyelesaikan masalah-masalah yang disulut oleh para pemberontak?”
Kini Agung Sedayu yang ganti menarik napas panjang. Sesaat yang lalu, Pangeran Selarong menanyakan perihal yang sama padanya. Agung Sedayu merasa harus berhati-hati dalam memberikan tanggapan. “Bagaimanapun, mereka dan Mataram sedang berduka dan Panembahan Hanykrawati belum dikebumikan maka guncangan perasaan akan dapat menjadi bara yang benar-benar membakar segalanya,” ucap Agung Sedayu dalam hati. Sambil berkuda pelan di samping Raden Mas Rangsang yang menjadi kusir kereta jenazah Panembahan Hanykrawati, Agung Sedayu cukup dalam memikirkan tanggapan. Kemudian ia berkata, “Saya harus melihat perkembangan keadaan, Pangeran. Saya masih harus menunggu laporan petugas yang sedang mengawasi pergerakan pemberontak yang bergerak ke timur.”
Raden Mas Rangsang mengangguk, katanya, “Baiklah, saya kira kita juga harus mendengarkan pendapat Eyang Patih dan tetuah lainnya.”
“Saya, Pangeran.” Agung Sedayu memberi hormat sebelum meminta diri kembali ke kedudukannya di bagian belakang barisan.
Barisan pengiring Panembahan Hanykrawati sudah memasuki kotaraja dan langsung bergerak menuju Keraton. Melalui pesan berantai yang diterima, Ki Patih Mandaraka dan Nyi Ageng Banyak Patra telah mempersiapkan segalanya untuk mengantarkan raja Mataram yang akan berpulang ke alam keabadian untuk selamanya.
Saat fajar mulai memecah langit, pada bagian timur Alas Krapyak, sayap-sayap pasukan Sabungsari telah berancang-ancang untuk bergerak. Sementara Ki Lodoyong pun telah memerintahkan pasukannya bersiap atas kemungkinan terburuk yang dapat mendatangi mereka setiap saat.
Mereka masih saling menunggu.
Ki Demang Brumbung memberi masukan, “Ki Lurah, saya pikir mereka pasti mengira kita akan memanfaatkan cahaya matahari.”
Sabungsari mengangguk.
“Sehingga saya pikir mereka akan segera mendatangi kita di sini atau memutar lalu berpencaran untuk menghindari benturan,” lanjut Ki Demang Brumbung.
“Baiklah, kita dapat segera menyerang mereka sebelum mereka benar-benar mengetahui bahwa kita adalah lawan, bukan kawan mereka.”
Ki Demang Brumbung mengangguk dengan mantap, lalu menghadapkan wajah pada prajurit yang berada di belakangnya. “Teruskan perintah agar segera bersiap. Kita kalahkan mereka dalam perang ini di Alas Krapyak.”
Perintah itu pun cepat sekali diterima laskar Jati Anom.
Perkembangan di tepi Alas Krapyak itu diketahui oleh utusan Agung Sedayu. Orang ini segera bergerak cepat menuju tempat Ki Grobogan Sewu lalu menyampaikan pesan dari pemimpin pasukan khusus itu padanya. Tak lama kemudian, senapati berkeahlian khusus itu segera berada di depan sekumpulan anjing terlatih yang hanya taat padanya untuk membantu pasukan Sabungsari.
Salak anjing telah terdengar oleh laskar Ki Lodoyong. Beberapa orang tampak kebingungan. Pikir mereka, apakah gerombolan anjing itu sama dengan sekelompok anjing pada malam sebelumnya? Seandainya benar, mereka mengutuk dalam hati betapa sial mereka menjumpai hari! Sebenarnya mereka sedang dilanda oleh keragu-raguan, seandainya orang-orang di depan mereka kemudian menyerang, apakah mereka dapat bertahan lebih lama lagi? Pasukan Ki Lodoyong belum cukup mendapatkan istirahat semenjak tiba di Alas Krapyak lalu melakukan pengintaian serta pengepungan. Lagipula, sebagian dari mereka sudah mengalami sendiri pertarungan menghadapi kelompok anjing terlatih dan mendapati bahwa hewan bertaring itu ternyata ancaman yang benar-benar membahayakan.
Salah seorang ketua kelompok kemudian menggeram. Ia meluapkan kejengkelan dengan berkata, “Kita telah salah menilai keadaan. Dan lebih buruk lagi, kita dipimpin oleh orang yang salah!”
“Diamlah!“ bentak Ki Lodoyong. “Inilah peperangan. Yang ada hanya pengamatan dan rumusan yang salah atau benar. Jika kau ingin melepaskan diri, sekaranglah saatnya. Kau dapat membawa kelompokmu keluar dari tempat ini, aku ingin melihat apa yang menimpamu kemudian.”
“Pengecut!” sergah ketua kelompok yang bernama Ki Pereng Asin tadi. “Sekarang kau katakan itu setelah mengetahui bahwa mereka bukan orang-orang Ki Garu Wesi. Majulah, hadapi mereka. Aku dan kelompokku akan melihat kalian dari sini.”
“Terserah apa saja yang kau katakan. Aku dapat mati kapan saja karena beginilah peperangan, dan kau boleh bersorak bila kemudian aku meraih kemenangan atau mati. Meski pun aku membunuhmu, tapi kita adalah kawan dalam perjuangan ini. Bila kau suka, maka duduklah di sini sebagai pengecut yang kemudian menjadi penjilat,” ucap Ki Lodoyong.
Ketua kelompok itu mendengus lalu membuang muka sambil beranjak menjauhi Ki Lodoyong. Ia belum membuat keputusan, tapi yang pasti orang ini sedang menunggu perkembangan.
Kebingungan cepat melanda prajurit Mataram yang dipimpin Sabungsari. Namun Ki Demang Brumbung segera meredakannya dengan lantang berkata, “Mereka adalah bala bantuan. Percayalah, anjing-anjing itu bukan anjing liar. Bertahanlah dalam kedudukan masing-masing!”
“Tetap pada gelar! Ikuti perintah, ikuti perintah!” teriak Sabungsari pada prajurit Mataram.
Sabungsari dan Ki Demang Brumbung meloncat panjang mendahului pasukan mereka, menusuk langsung pada bagian terdepan laskar Ki Lodoyong. Orang-orang sekitar mereka pun cepat berloncatan dengan senjata sambil mengeluarkan pekik perang.
Dua lapis barisan belakang laskar Jati Anom segera memisahkan diri lalu berubah menjadi sayap yang menyerbu dari arah kiri dan kanan. Mereka menyerbu seperti banjir bandang yang melanda persawahan dalam keadaan yang mulai cukup terang untuk mengenali lawan. Tekanan pertempuran pun meningkat sangat cepat. Laskar Jati Anom tampak seperti telah menumpahkan segala kekesalan dan kemarahan pada ujung tajam senjata mereka. Tata gerak prajurit Mataram yang berdiam di Jati Anom itu cukup menggetarkan. Ayunan pedang, tombak dan belati mereka tampak begitu jantan saat membelah angkasa Alas Krapyak.
Walau gebrakan itu tidak diduga Ki Lodoyong tapi ia sudah bersiap dengan segala keadaan yang akan terjadi. Maka ia dan pasukannya pun menyambut serangan dengan gegap gempita. Ki Pereng Asin yang sempat bersitegang dengan Ki Lodoyong pun akhirnya memutuskan untuk menerjunkan diri pula dalam pertempuran. Ia meloncat tinggi sambil menebaskan pedang lalu diikuti anak buahnya dengan sangat garang. Pertempuran pun berkobar dengan sengit.
Sabungsari tetap berada di ujung pasukan induk dan berseberangan langsung dengan Ki Lodoyong. Sementara Ki Demang Brumbung menggabungkan diri pada sayap kanan yang berhadapan langsung dengan kekuatan lawan yang dipimpin oleh Ki Pereng Asin.
Dalam waktu yang singkat, berbekal pengamatan dan pengalaman yang mumpuni, Ki Demang Brumbung dengan cerdik dapat memisahkan sayap lawan dari kekuatan induk. Ki Pereng Asin rupanya belum menyadari bahwa pergerakan sayap Jati Anom dapat memutus jalur penghubung mereka. Maka ketika anak buahnya tersudut sedikit demi sedikit, Ki Pereng Asin benar-benar terkejut! Ia melihat tiga anak buahnya tiba-tiba terlempar dari kerumunan lalu tumbang. Orang ini sangat marah dengan peristiwa yang berlangsung sangat cepat itu. Namun sebelum ia memberi perintah pada kelompoknya, Ki Demang Brumbung telah mendahului dengan serangan yang mematikan!
Kekuatan utama Jati Anom yang dipimpin Sabungsari mulai mendesak mundur pasukan lawan. Ki Lodoyong kepayahan menerima serangan demi serangan lurah muda Mataram yang bertarung dengan gigih. Kegarangan pengikut Raden Atmandaru pun sirna perlahan-lahan lalu berubah menjadi seterang bulan ketika Ki Grobogan Sewu datang menjepit mereka dari belakang! Terjangan anjing-anjing terlatih datang seperti luruhan tebing longsor yang menghantam dinding bambu.
Pekerjaan Ki Lodoyong pun menjadi semakin berat. Mereka harus bertempur menghadapi lawan dari dua arah. Keseimbangan tak lagi terjaga olehnya. Segera tampak beberapa anak buahnya kesulitan melepaskan diri dari serangan buas hewan-hewan bertaring yang bertarung secara berkelompok. Ki Grobogan Sewu pun dengan mudah mengobrak-abrik gelar yang sudah kacau lalu menjatuhkan satu demi satu musuh Mataram itu.
Namun dalam waktu itu, Sabungsari tidak tergesa-gesa mengikat Ki Lodoyong dalam pertarungan satu lawan satu. Prajurit yang dipercaya Ki Tumenggung Untara untuk memimpin penghadangan itu berkelahi dengan garang. Setiap kali ia memutar pedang, maka selalu ada lawan yang terkapar.
Sepak terjang Sabungsari tidak luput dari perhatian Ki Lodoyong, tapi orang ini pun tidak dapat serta merta menantang senapati lawan. Ki Lodoyong masih kesulitan mengerahkan kemampuan yang tersimpan di dalam dirinya. Selalu ada satu hingga tiga ekor anjing yang bergerak bebas lalu mengganggunya dengan terkaman-terkaman yang dapat melumpuhkannya. Namun bila ia dapat menjaga jarak untuk membuat ancang-ancang ke lapis ilmu lebih tinggi, maka Ki Grobogan Sewu datang dengan cecaran serangan yang membuatnya kesulitan memusatkan perhatian.
Pertempuran di tepi Alas Krapyak perlahan-lahan memudar seiring dengan sinar matahari yang semakin terang bersinar. Dentang senjata pun mulai berkurang ketika prajurit Mataram sigap mengambil alih kendali laga. Pada bagian sayap kiri Jati Anom malah seperti tidak pernah terjadi pertempuran. Tapi di bagian kanan laskar Jati Anom, Ki Demang Brumbung masih bertarung dengan sengit meladeni Ki Pereng Asin yang tampak menurun kekuatannya. Sedangkan di bagian tengah gelanggang perang, Ki Lodoyong terlihat berdiri mematung dalam kepungan Sabungsari dan Ki Grogoban Sewu. Ki Lodoyong telah membuat keputusan sulit dan sangat pahit, lalu dengan tiba-tiba dan sangat mengejutkan dua lurah Mataram itu, tubuhnya jatuh telungkup dengan senjata menembus dada.
Sabungsari segera menoleh pada lawan Ki Demang Brumbung, perintahnya, “Menyerahlah!” Sambil menunjuk tubuh Ki Lodoyong.
“Itu.. itu sangat gila!” teriak Ki Pereng Asin sambil mengacungkan jari pada arah Ki Lodoyong. Ia tidak mengira orang itu memutuskan untuk mengakhiri hidupnya sendiri. Ki Pereng Asin meloncat surut lalu memegangi kepala dengan dua tangan. Ia memutar pandangan kemudian menyaksikan peristiwa yang sulit dipercaya. Pihaknya dapat dikalahkan prajurit Mataram dengan menyisakan sedikit sekali pengikut Raden Atmandaru.
“Menyerahlah!” Sabungsari mengulang perintah.
Pertempuran ini telah menyesakkan dada Ki Pereng Asing. Betapa ia telah berjuang sepenuh hati hingga rela meneteskan darah, tapi segalanya seolah-olah tidak ada artinya. Impiannya menempati tanah seluas dua bukit pun kabur merana. Padahal, malam sebelumnya, semuanya begitu indah ketika mereka menjadi saksi kepergian raja Mataram. Pada waktu itu, kedudukan dan penguasaan tanah yang luas seakan telah tergenggam di tangan. Apakah ia dapat berharap keberhasilan dan kejayaan pada orang-orang yang berkumpul di Gunung Kendil?
“Menyerahlah, Ki Sanak,” ucap Ki Demang Brumbung. “Semuanya telah berakhir.”
klik Bara di Bukit Menoreh untuk kelanjutan kisah ini
Namun Ki Grobogan Sewu yang melihat itu pun mendesis, “Pekerjaan kita masih belum usai.”
Atas perintah Sabungsari, beberapa prajurit Mataram mendekat lalu meringkus Ki Pereng Asin yang duduk bersimpuh. Sejenak kemudian, tiga pemimpin prajurit Mataram itu sepakat berbagi tugas. Sabungsari serta laskar Jati Anom akan menemani Ki Grobogan Sewu di Alas Krapyak hingga datang perintah selanjutnya. Dua orang prajurit muda mendapat tugas untuk menyampaikan kesepakatan itu pada Ki Tumenggung Untara di Jati Anom. Sedangkan Ki Demang Brumbung mendapatkan tugas melaporkan semua yang terjadi pada Ki Patih Mandaraka atau Nyi Ageng Banyak Patra.
Seluruh bacaan di blog Padepokan Witasem dapat dibaca bebas biaya atau gratis. Kami hargai dukungan Anda atas jerih payah kami. Donasi dapat disalurkan melalui rekening BCA 8220522297 atau BRI 3135 0102 1624530 atas nama Roni Dwi Risdianto atau dengan membeli karya yang sudah selesai. Konfirmasi tangkapan layar pengiriman sumbangan dapat dikirim melalui Hanya WA
Terima kasih.