Resi Gajahyana, sepeninggal tiga orang yang telah diajaknya bicara, tengah duduk bersila. Mata hatinya memandang lautan yang bebas dari jangkauan. Ia mengarungi kembali sebuah kenangan. Rangkaian peristiwa yang berujung pada satu keputusan Bhre Pajang.
Resi Gajahyana tidak menduga bahwa hubungan yang dijalinnya dengan Ki Juru Manyuran akhirnya menyulitkan dirinya. Resi Gajahyana berada di persimpangan. Ia menunggu waktu yang tepat untuk berbicara dengan Bondan.
“Bondan tidak boleh bersedih karena perubahan ini. Ia belum mengetahuinya namun ia berhak untuk mengerti segalanya. Ia dapat menolak kelanjutan rencana Bhre Pajang, tetapi ia adalah Bondan,” kata Resi Gajahyana dalam hati. “Satu tahun telah dijalaninya untuk hubungan yang tidak wajar. Bahkan, ia mungkin telah lupa wajahnya. Bagaimana cinta dapat lahir dari dua wajah yang belum lama berpandangan? Mereka menggenggam sebuah janji. Mereka berpegang keyakinan. Mereka berusaha saling percaya atas dasar ketaatan.
“Bondan tidak akan mengalihkan matanya dariku. Begitu pun gadis muda itu. Ia rela membakar diri jika keluar dari perjanjian ini. Tidak ada ruang bagiku di alam ini bila aku paksa semua orang mengundurkan diri.
“Tidak! Aku tidak boleh membuka peluang agar segalanya berlangsung seperti kehendakku. Memaksa Siwagati pergi dari rumahnya tak akan merubah keadaan. Membunuh Ki Juru Manyuran hanya membuat perjanjian semakin kokoh.
“Itu pemikiran culas!
“Aku menyayangkan Ki Juru Manyuran yang ingin menguasai Pajang. Apakah ia telah membuat perhitungan yang matang? Apakah ia menganggap Bondan akan meletakkan kaki di sampingnya lalu melawan pamannya sendiri? Selain itu, Ki Juru Manyuran tidak menimbang keadaanku dalam rencananya. Kemauan seseorang dapat memindah sebuah gunung ke tempat lain. Dalam waktu dekat, gesekan tidak akan dapat dihindari. “Aku tidak dapat menduga arah perkembangan sebagai akibat dari tindakan Ki Juru. Hanya saja, kekuatanku saat ini adalah lebih mengetahui keadaan Bondan dari pada aku mengenal diriku sendiri.”
Sekitar dua atau tiga musim yang lalu. Resi Gajahyana jelas mengingatnya, bahkan seperti sedang menyaksikan secara langsung ketika ia tengah bermusyawarah dengan Bhatara Pajang.
Bhre Pajang, yang masih terhitung sebagai kerabat Bondan, membawa saran yang dianggapnya baik bagi Bondan. Di serambi belakang istana Pajang, Bhre Pajang berkata pada Resi Gajahyana, “Eyang, Bondan telah memasuki gerbang seorang lelaki untuk menjadi matang dalam bertindak.”
“Aku senantiasa ada untuk mendengar ucapanmu,” tenang Resi Gajahyana mengucap kata.
“Sebagai lelaki yang tumbuh di padepokan, Bondan pun mempunyai kewenangan untuk mengembangkan dirinya.”
Meski ucapan Bhre Pajang terdengar seolah padepokan tidak menjanjikan sebuah masa depan, tapi Resi Gajahyana dapat menerima ucapannya. Ia berdiam diri dengan raut muka datar.
“Saya mempunyai rencana untuknya,” lanjut Bhre Pajang, “Sebagai seorang pemimpin bagi rakyatku, dan juga sebagai seorang paman bagi Bondan, aku ingin mengikat Ki Juru dalam pengaruhku.”
“Anakku, kau telah mendapatkan itu. Lalu, berada di bagian manakah Bondan akan duduk?” Resi Gajahyana meminta penjelasan walau sudah dapat menduga rencana Bhatara Pajang.
“Ki Juru Manyuran mempunyai dua orang anak. Dan aku ingin Bondan dapat bersanding dengan anak perempuan Ki Juru.”
“Kapan rencana ini engkau sampaikan padanya?” Resi Gajahyana menarik napas dalam-dalam. Ia mencoba menduga kemungkinan tanggapan Bondan.
“Sekitar dua atau tiga hari mendatang. Saya akan mengajaknya berburu. Dengan begitu mungkin ia tidak terlalu canggung atau terkejut jika mendengar tentang perjodohannya. Meskipun Bondan akan menentangnya, tapi saya pikir ia akan dapat memahaminya.”
“Di padepokan, Bondan tidak pernah bicara tentang perempuan selain ibu dan bibirnya. Aku belum pernah mendengar berita dari para cantik mengenai perasaan Bondan terhadap perempuan.”
“Benarkah?”
Resi Gajahyana mengangguk, katanya, “Bondan tidak melepaskan dirinya dari ikatan kanuragan dan berbagai wawasan yang terkait dengan mimpinya. Bukankah engkau sedikit banyak pernah mendengar keinginannya untuk pergi ke kotaraja?”
“Ia memang pernah mengatakan itu. Bahkan beberapa rontal milik seorang lurah prajurit pun dipinjam olehnya. Saya selalu merasa geli jika mengingat alasannya.”
Resi Gajahyana tersenyum seraya manggut-manggut.
Bhre Pajang meneruskan, “Ia katakan, ‘saya tidak ingin menjadi seorang prajurit, tetapi saya ingin menjadi orang yang dapat memecahkan gelar perang para prajurit’. Saya mengingat raut mukanya dan itu menggelikan.” Bhre Pajang menutup mulutnya menahan tawa.
“Seperti itulah Bondan. Ia sulit dihentikan.”
“Baiklah, Eyang,” Bhre Pajang menarik napas panjang. “Besok saya akan mengutus seseorang untuk memberi tahu padanya. Ada beberapa hal yang ingin saya lakukan bersamanya dan semoga ia mempersiapkan diri dengan baik.”
“Aku harap, karena engkau adalah pengganti ayahnya, Bondan tidak keras kepala untuk urusan ini.”
“Kita panjatkan puja mantra untuk kelapangan perjodohan ini,” tutup Bhre Pajang. Merekalantas berpisah. Resi Gajahyana berjalan dengan tenang menghampiri kudanya. Sementara Bhre Pajang mengiringi orang yang paling disegani di tanah Pajang hingga lenyap dalam gelap.
Dua hari kemudian.
Matahari belum memanjat terlalu tinggi. Kabut masih tampak mengapung di setiap sudut jalan-jalan kota Pajang. Seorang penjaga gerbang membuka pintu ketika Bondan datang lalu menyapanya. Sejenak kemudian, Bondan memasuki halaman istana Pajang. Ia berjalan sambil menuntun kuda yang berwarna coklat, saat itu mengenakan pakaian yang ringkas. Terlihat bulatan lonjong berisi anak panah bersilang di balik punggungnya. Kedatangan Bondan telah diketahui oleh Bhre Pajang yang sengaja menunggunya di beranda depan.
“Kakinya mengayun mantap dan begitu ringan menjejak bumi. Semoga itu pertanda baik selain sinar mata yang begitu tenang dan menyimpan kekuatan besar,” kata Bhatara Pajang dalam hati saat mencoba membuat kesimpulan awal mengenai ketinggian ilmu Bondan. Pada saat anak muda itu sudah berada di dekatnya, lelaki yang berusia lebih setengah baya itu meminta Bondan duduk agak dekat dengannya.
“Nikmatilah selagi hangat, ” Bhre Pajang membuka percakapan. Di dekat mereka telah tersaji makanan kecil dan minuman jahe hangat.
“Terima kasih, Paman.”
“Engkau datang lebih awal dari yang aku duga sebelumnya. Sekarang aku tanyakan, apakah engkau mengenal hutan di sisi utara tapal batas kadipaten?”
“Saya pernah mendatangi dan bermalam di sana untuk beberapa waktu lamanya. Tetapi untuk mengenal baik, saya tidak mengerti secara rinci tentang penghuni hutan. Saya belum sempat berkenalan, Paman.”
Mereka tertawa kecil dengan gurauan Bondan.
“Kita akan berburu di tempat itu.”
“Saya suka mendengarnya.”
“Tanpa senjata!”
“Tanpa senjata?”
Bhre Pajang tegas menjawab,”Tidak perlu ada senjata dalam perburuan kali ini. Engkau akan menikmatinya.”
“Pekerjaan sulit.”
“Tidak ada pekerjaan sulit selama engkau belum mencobanya.”
“Baik, Paman. Saya katakan sulit karena memang tidak membayangkan sebelumnya.”
“Marilah! Kita berangkat.”
Bondan menyempatkan diri untuk berbicara sesaat dengan bibirnya, istri Bhre Pajang. Tak lama kemudian, ia telah menyusul sejumlah orang yang menyertai mereka berburu.
Mereka memacu kuda tidak begitu cepat, menembus kabut yang masih enggan menyingkir. Sinar matahari terlihat lemah untuk menembus arak-arakan mendung yang berjalan lambat. Mereka membutuhkan waktu yang setara dengan satu rebusan air minum untuk tiba di tepi hutan yang dimaksud Bhre Pajang.
Sepertinya mereka terbiasa melakukan pekerjaan ini. Dengan cekatan, orang-orang mempersiapkan banyak perlengkapan. Jaring dan tali tampak menjadi bekal setiap orang, kecuali Bondan dan Bhre Pajang. Empat orang melepaskan anjing-anjing mereka.
Bondan meloncat turun kemudian berlari mengikuti seekor anjing yang menurut penilaiannya cukup meyakinkan.
“Anjing itu tidak banyak menyalak . Lebih baik aku mengikutinya karena ia tidak berisik, jadi besar kemungkinan aku berpeluang mendapatkan hewan buruan,” desis Bondan dalam hatinya.
Seluruh bacaan di blog Padepokan Witasem dapat dibaca bebas biaya. Maka dari itu, Anda dapat mendukung kami agar tetap semangat berkarya melalui rekening BCA 8220522297 atas nama Roni Dwi Risdianto. Konfirmasi tangkapan layar dapat dikirim melalui Hanya WA Selanjutnya, kami akan mengirimkan setiap tayangan terbaru melalui nomer WA yang tersimpan. Terima kasih.