“Apa yang sedang terjadi di pesanggrahan, Ki Rangga?” tanya Ki Grobogan Sewu.
“Saya ingin mengatakan tapi…” Suara murid utama Perguruan Orang Bercambuk itu bergetar lalu ucapannya terputus. Tenggorokannya tiba-tiba tercekat dan tidak ada daya untuk menyampaikan kabar sebenarnya.
Para pemimpin kelompok saling bertukar pandang dengan bayangan cemas di bawah kelopak mata mereka. Orang-orang pun bertanya dalam hati, mengapa harus mundur? Bukankah mereka sedang memegang kendali pertempuran? Namun dan tentu saja, mereka juga sadar bahwa Agung Sedayu tidaklah mungkin mengeluarkan perintah secara sembarangan. Pasti telah terjadi sesuatu yang tidak mereka inginkan, demikian pikir sebagian orang. Tanpa bertanya lagi pada Agung Sedayu, mereka pun menggaungkan perintah mundur. Walau sebagian pengawal Mataram masih kebingungan saat mendengar perintah pemimpin mereka tapi Agung Sedayu – yang hadir di tengah-tengah mereka sambil memberi tanda agar mereka mengikuti perintah – menjadi penegasan yang sanggup mengurai kebuntuan nalar mereka. Dalam waktu singkat, para pengawal Mataram beserta senapati mereka pun mengurangi tekanan lalu berangsur-angsur bergeser ke pesanggrahan Panembahan Hanykrawati yang telah rata dengan tanah, kecuali Ki Grobogan Sewu. Senapati berkemampuan khusus ini mendapat perintah dari Agung Sedayu agar tetap menjaga garis pertahanan bersama-sama sekumpulan anjing pemburu.
Dalam waktu itu, Mangesthi cukup cerdas membaca keadaan. Maka ia lantang berteriak pada pengikut Raden Atmandaru, “”Kalian lihat? Kalian harus tahu bahwa Mas Jolang telah menemui ajal malam ini. Kita berhasil!”
Kata “mati” menjadi pekik perang yang dikumandangkan oleh para pemberontak. Mereka pun berteriak-teriak kegirangan sambil mengeluarkan kata-kata tak pantas yang ditujukan pada Panembahan Hanykrawati. Mereka benar-benar lepas kendali setelah sebelumnya berada di bawah ancaman hukuman mati yang menyertai setiap senjata para pengawal Mataram. Meski demikian, mereka tidak larut dalam kegembiraan dengan mengejar orang-orang Mataram karena Mangesthi memerintahkan mereka agar membagi diri. Seandainya mereka memberanikan diri tetap memburu orang-orang Mataram, maka belasan anjing pemburu yang dikendalikan Ki Grobogan Sewu adalah ancaman sekaligus benteng terkuat yang harus dapat mereka lalui. Dan bagi mereka, keganasan binatang itu sudah cukup mendatangkan rasa jerih yang mendalam di dalam hati.
Sebagian dari mereka mengikuti langkah Mangesthi yang bergerak ke Gunung Kendil. Gadis yang mungkin usianya sepantaran dengan Kinasih itu berulang-ulang memandang arah pesanggrahan dengan tatap mata harap-harap cemas. Ia bertanya dalam hati, “Mungkinkah ayah selamat dari kepungan mereka?” Sepasang mata Mangesthi pun sembab tapi ia berusaha menyembunyikannya dari penglihatan orang-orang yang menjadi anak buahnya.
Ketika kesunyian dan duka cita masih mendekap erat sekitar pesanggrahan walau orang-orang mulai berdatangan, puluhan orang tetap merasa gembira sambil memandang senjata yang masih basah dengan darah. Mereka diliputi rasa tidak percaya bahwa usaha mereka menuai keberhasilan meski itu adalah permulaan. Mereka yakin akan dapat menyelesaikan urusan peralihan kekuasaan. Dengan langkah sigap dan penuh semangat, mereka berniat berbagi kebahagiaan itu dengan pasukan Ki Garu Wesi di Sangkal Putung. Rombongan liar itu pun bergegas menempuh arah yang berbeda dengan Mangesthi.
Namun tidak ada seorang pun yang mengira bahwa mereka ternyata menemui kenyataan yang berbeda! Sekeluar dari Alas Krapyak, ketika fajar belum tampak memecah gelap di ufuk timur, barisan pembangkang itu melihat banyak nyala obor yang kelip-kelip bergerak-gerak pada jarak yang cukup jauh.
Namun demikian mereka tidak berbalik mundur. Gerombolan pemberontak yang dipimpin Ki Lodoyong pun berhenti sambil mengamati pergerakan asing itu. Belasan obor itu sepertinya sedang menuju tempat mereka dengan pergerakan yang teratur dan berbaris memanjang dengan rapi.
“Ki Lodoyong,” kata salah satu ketua kelompok. “Bila mereka adalah kawan-kawan kita yang berada di Sangkal Putung, mengapa mereka begitu bodoh menampakkan diri?”
Ki Lodoyong tidak segera menjawab. Ada sedikit keraguan dalam hatinya karena seandainya benar mereka adalah laskar Ki Garu Wesi, maka itu tidak berada di dalam rencana. Namun jika mereka memilih untuk tetap bergerak maju maka pertemuan pun tidak mungkin terelakkan. Apakah mereka harus berbalik mundur lalu masuk lagi ke dalam Alas Krapyak? Hanya ada satu pilihan yang tidak berbahaya tapi masih berupa sangkaan belaka. “Apakah mungkin itu adalah nyala obor pasukan Mataram dari Jati Anom? Apakah Untara segegabah itu atau adakah perhitungan yang lain baginya?” tanya Ki Lodoyong dalam hati.
Ketua kelompok itu bertanya lagi dengan nada agak tinggi, “Kiai, apa yang harus kami lakukan?”
“Kita tunggu di sini,” jawab Ki Lodoyong kemudian.
Orang itu mengerutkan kening.
“Mereka mungkin bala bantuan yang datang dari Jati Anom. Kita tidak boleh menutup kemungkinan itu,” kata Ki Lodoyong.
Ketua kelompok itu agaknya dapat menerima alasan Ki Lodoyong. Jika ia dan anak buahnya tetap bergerak maju, itu tidak mengubah kenyataan bahwa mereka masih belum mengetahui kebenaran yang masih tertutup oleh malam yang suram. Lagipula, menunggu dapat menjadi pilihan untuk menghemat tenaga daripada mereka bergerak maju lalu bertempur melawan prajurit Mataram dari barak Jati Anom. Demikianlah Ki Lodoyong dan pasukan yang tersisa pun merunduk, menyembunyikan diri di balik alang-alang dan semak-semak yang tidak begitu tinggi.
Bayangan hitam yang membawa belasan obor itu memang datang dari arah timur. Mereka adalah prajurit Mataram yang dipimpin oleh Sabungsari. Oleh Ki Tumenggung Untara, pasukan ini diperintahkan untuk menyisir sambil melakukan penghadangan pada jalur-jalur yang dicurigai akan dilewati laskar Raden Atmandaru.
Beberapa waktu sebelum malam itu, Ki Demang Brumbung datang untuk menemui Ki Tumenggung Untara. Setelah menerima utusan yang membawa pesan rahasia dari Ki Patih Mandaraka, Ki Tumenggung Untara, sambil memerintahkan para pemimpin prajurit di Jati Anom agar segera bersiap, membuat hubungan singkat dengan Pangeran Purbaya yang berada di Sangkal Putung. Melalui pesan yang dibawa petugas sandi, Pangeran Purbaya meminta Sabungsari pergi ke Jati Anom dengan tugas khusus. Saat melihat Sabungsari memasuki barak prajurit Jati Anom, maka kecemasan Ki Untara pun sirna. Senapati muda itu pun ditetapkan oleh Ki Untara menjadi pemimpin pasukan yang akan diberangkatkan menuju Alas Krapyak. Itu adalah jalan terbaik di tengah-tengah muncul kecurigaan ada begitu banyak senapati yang berwajah ganda. Lantas sebagai pendamping, maka Ki Demang Brumbung akan turut di dalam pasukan. Maka dengan demikian, Ki Untara tidak mempunyai kekhawatiran lag mengenai kedalaman pasukan. Selain itu, laskar Jati Anom mendapatkan tenaga tambahan meski Ki Demang Brumbung tidak berada dalam keadaan terbaik untuk menghadapi sebuah pertempuran.
Pada waktu itu, mereka segera berangkat dengan cara senyap ketika senja baru saja tiba memeluk bukit-bukit yang mengelilingi Jati Anom. Mereka mampu menyembunyikan diri dari pandangan bawahan Ki Garu Wesi yang masih bergentayangan di sekitar Sangkal Putung dan Jati Anom. Mereka pun baru menyalakan obor dan oncor setelah berjarak cukup jauh dari dua daerah tersebut. Dapat dikatakan bahwa pergerakan mereka memang lambat, tapi itu karena perintah Ki Untara agar waspada sehingga tidak ada lawan yang lolos seandainya mereka meninggalkan gelanggang. Saat lingsir wengi, kelompok pasukan yang dipimpin Sabungsari itu akhirnya mampu mencapai desa terdekat dengan Alas Krapyak. Meski begitu, mereka tidak memasuki desa melainkan mengitarinya melalui lorong atau jalan-jalan yang menjadi batas wilayah. Apakah para perondan padesan tetap setia pada Mataram atau terpengaruh omongan pembangkang? Tidak ada yang berani memastikan semuanya. Maka para prajurit ini cukup berhati-hati karena tidak ada jaminan bahwa desa itu aman bagi mereka.
Sebagai putra dari orang yang mumpuni secara kanuragan dan juga telah mendapatkan petunjuk dari Agung Sedayu, maka Sabungsari pun seakan-akan dapat melihat begitu jelas bayang-bayang banyak orang yang bergerak pada arah Alas Krapyak. Lurah muda itu pun lantas memerintahkan agar obor-obor dipadamkan, lalu mereka merunduk sambil menunggu perintah selanjutnya.
Pasukan Raden Atmandaru pun melihat obor-obor yang dipadamkan. Seketika mereka menjadi ragu-ragu. Lalu, siapakah mereka? Apakah orang-orang telah mengetahui keberadaan mereka yang bersembunyi di balik semak dan alang-alang? Sungguh, para pembangkang itu pun mengetahui bahwa ada bahaya jika mereka gegabah berbuat sesuatu.
Ki Lodoyong berpikir keras, mengapa tiba-tiba padam? Apakah ia harus membawa pasukannya merayap maju?
Suasana seketika menjadi sunyi dan tegang. Masing-masing laskar sama-sama menunggu. Kabut tipis tampak mengambang dan menjadi sekat halus yang membatasi pandangan. Malam yang hitam seolah-olah makin pekat sementara udara yang dingin erat mendekap dua pasukan yang saling mengintai.
Sabungsari membawa pasukannya semakin dekat pada kedudukan lawan. Mereka berjalan dengan tubuh merunduk hingga belasan langkah sebelum berhenti untuk mengamati lingkungan.
“Sabungsari,” ucap lirih Ki Demang Brumbung, “apakah tidak sebaiknya kita menyiapkan gelar dari tempat ini?”
Sabungsari berpikir sejenak, lalu berkata, “Apakah itu tidak karena tergesa-gesa, Ki Lurah? Kita masih belum dapat melihat mereka sepenuhnya.”
“Tapi saya kira jarak sedikit lebih dekat dengan mereka,” ucap Ki Demang Brumbung, “maksud saya, apabila ktia memutuskan untuk melakukan serangan kilat maka persiapan sudah ada. Dan tentu saja serangan itu pasti mengejutkan mereka dan keuntungan bagi kita.”
Sabungsari merenungkan ucapan Ki Demang Brumbung yang sudah jelas mempunyai pengalaman lebih luar daripada dirinya. Maka atas saran Ki Demang Brumbung, Sabungsari segera menyiapkan gelar. Ia lantas membagi laskar Jati Anom menjadi beberapa gugus tempur yang kecil. Diperintahkannya kemudian agar mereka menyebar dalam jarak yang terukur. Semak-semak yang lebat serta rumput yang tinggi ditambah kepekatan malam yang berkabut maka pergerakan pasukan Sabungsari sulit dilihat oleh para pemberontak. Demikianlah, dari balik benteng malam yang berlapis-lapis, prajurit Mataram dari Jati Anom pun menunggu perintah menyerang dari Sabungsari yang berada di depan.
Sabungsari dan Ki Demang Brumbung menjadi satuan perintis yang bertugas untuk mengamati sekaligus membuka jalan serangan. Mereka berdua membawa pasukan Jati Anom lebih dekat lagi pada pengikut Raden Atmandaru. Di belakang mereka ada tiga kelompok yang dapat melihat aba-aba gerak tangan Sabungsari lalu meneruskannya pada lima kelompok yang berada di belakang mereka, begitu seterusnya hingga lapisan keempat.
Sebatang pohon randu yang besar menjadi pilihan Sabungsari untuk berhenti. Hingga waktu itu, ia masih belum mendapati pergerakan dari laskar lawan. Mereka cukup sabar rupanya, pikir Sabungsari. Ia pun menduga bahwa para pembangkang sudah mengetahui pula kehadirannya dan laskar Mataram. “Mungkinkah mereka sedang menunggu kita dengan sebuah jebakan?” bisik Sabungsari pada Ki Demang Brumbung.
“Mungkin saja,” sahut Ki Demang Brumbung. “Sebenarnya kabut dan gelapnya malam pun dapat merugikan kita. Setiap orang sudah jelas kesulitan mengenali kawan atau lawan. Namun bila menyulut obor untuk penerangan, maka ada kerugian waktu pada pihak kita.”
“Lalu, saran apa dari Ki Lurah selanjutnya?”
“Kita bisa menunggu hingga matahari terbit karena penglihatan mereka akan terpapar langsung dengan matahari.”
Rupanya Ki Lodoyong pun memerintahkan anak buahnya agar menunggu orang-orang yang datang dari timur itu lebih dekat pada mereka. Orang itu terkesan sangat berhati-hati membuat keputusan walau sebagian dari laskarnya merasa keberatan. “Kita tidak dapat mendatangi bahaya apabila ternyata mereka adalah orang-orang Jati Anom,” sanggah Ki Lodoyong saat sebagian anak buahnya menanyakan keputusannya.
“Kiai,” sahut seorang anak buah Ki Lodoyong. “Selagi masih bersemangat menuntaskan peperangan, maka bahaya itu tidak berarti apa-apa bagi kami. Dan saat ini, saya dan juga teman-teman lain merasa sedang berada di puncak jadi tidak ada yang perlu Kyai ragukan. Tetapi, apakah Kiai mengkhawatirkan kemampuan atau takut kami sudah kelelahan?”
Ki Lodoyong mengangguk. Ia sadar bahwa semangat anak buahnya sedang membuncah begitu hebat, meledak-ledak hingga tak lagi mengenal rasa takut. Tapi Ki Lodoyong memiliki pengalaman tempur yang cukup baik. Karena itu ia tidak ingin terpengaruh pendapat orang lain. Pikirnya, masih lebih baik menunggu sesaat lagi daripada terguncang oleh kekuatan yang tidak dimengerti.
Pada bagian lain Alas Krapyak, sebagian orang tampak berjaga-jaga mengitari tanah lapang. Dalam waktu itu, Agung Sedayu memerintahkan seorang prajurit agar memberi kabar lelayu pada orang yang berjaga di tempat yang dijadikan sebagai gardu penghubung di bagian barat Alas Krapyak. Selanjutnya berita lelayu itu akan diteruskan bersambung hingga diterima oleh Ki Patih Mandaraka dan Pangeran Mangkubumi di Keraton.
Mengingat Raden Mas Rangsang dan Pangeran Selarong sedang dilanda duka yang sangat mendalam, Ki Panji Badra Wungu menyarankan Agung Sedayu agar mengambil alih seluruh tanggung jawab dua putra raja Mataram tersebut.
“Bagaimana mungkin itu dapat saya lakukan, Ki Panji?” tanya Agung Sedayu dengan nada keberatan. “Saya juga membutuhkan izin dari dua pangeran sekalian agar tidak terkesan melangkahi beliau berdua.”
“Pada dasarnya, saya mempunyai pikiran dan pendapat yang sama dengan Ki Rangga. Tapi, saat ini kita tidak mempunyai pilihan lain,” jawab Ki Panji Badra Wungu. “Lihatlah sekeliling kita, Ki Rangga. Mereka semua adalah prajurit yang mungkin sudah tidak dapat berpikir jernih. Kekalutan dan kemarahan sedang memenuhi seisi dada mereka. Bila seseorang keliru menyatakan pendapat atau terjadi sesuatu yang menyimpan benih perselisihan, maka salah satu orang yang mereka pandang adalah Ki Rangga.”
Agung Sedayu mendengar ucapan itu dengan kepala tunduk. Lalu ia memandang pada arah Ki Baya Aji dan Ki Anjangsana seperti sedang menunggu pendapat dari dua senapati wreda itu.
“Ki Rangga,” ucap Ki Baya Aji kemudian, “tidak ada salah dalam pemikiran Ki Panji Badra Wungu. Marilah kita beranda-andai jika para pemberontak itu berbalik arah lalu menyerang dengan tujuan memberi penghinaan terakhir pada Panembahan Hanykrawati, apa yang dapat kita lakukan saat itu?”
Ki Anjangsana pun memberi pandangan yang sama pada Agung Sedayu. Setelah beberapa kata terucap dari para tetuah prajurit Mataram, Agung Sedayu lantas mengangguk. Dua lurah prajurit sandi pun diperintahkannya mengikuti jejak para pembangkang lalu secepatnya kembali untuk memberi laporan. Sejumlah pesan pun dikatakan olehnya pada Ki Panji Badra Wungu, Ki Baya Aji serta para pemimpin prajurit yang lain. Maka sebagian orang pun segera mempersiapkan perjalanan pulang kembali ke kotaraja. Beberapa yang lain tampak bergegas berangkat terlebih dulu untuk mengamankan jalur kepulangan Panembahan Hanykrawati. Demikianlah dalam waktu singkat, rombongan pengiring raja Mataram tersebut mulai bergerak menuju kotaraja dengan pandang mata yang cukup suram.
Seluruh bacaan di blog Padepokan Witasem dapat dibaca bebas biaya atau gratis. Kami hargai dukungan Anda atas jerih payah kami. Donasi dapat disalurkan melalui rekening BCA 8220522297 atau BRI 3135 0102 1624530 atas nama Roni Dwi Risdianto atau dengan membeli karya yang sudah selesai. Konfirmasi tangkapan layar pengiriman sumbangan dapat dikirim melalui Hanya WA
Terima kasih.