Padepokan Witasem
geger, alas krapyak, api di bukit menoreh, mataram, kiai gringsing, kiai plered, panembahan hanykrawati, agung sedayu
Bab 6 Geger Alas Krapyak

Geger Alas Krapyak 46

Kemudian, meski pertempuran masih berlangsung sengit tetapi pekik kemenangan perlahan-lahan mulai menggema lalu memenuhi udara Karang Dawa. Pasukan Raden Atmandaru yang dipimpin Ki Sor Dondong meneriakkan sorak sorai. Pertempuran semakin riuh dan membingungkan pengawal kademangan!

Pujian Mangesthi yang lantang menggema adalah lagu kemenangan yang sedang dirayakannya. Melalui perkelahiannya melawan Pandan Wangi, Mangesthi seolah menunjukkan bahwa kekayaan pengalaman dapat ditundukkan melalui kegigihan dan ketenangan. Yang terjadi di Karang Dawa pun demikian, bahwa Mangesthi sedang memperlihatkan hasil latihan kerasnya di bawah gemblengan Ki Sekar Tawang.

Sepasang senjatanya yang berbeda bentuk mematuk dan menyerang Pandan Wangi dengan sambaran-sambaran yang mengerikan. Nyaris tidak ada segi yang memperlihatkan kelemahan pada tata gerak Mangesthi. Andaikan bila ada, lambaran tenaga cadangan dapat menutupinya dari pengamatan Pandan Wangi. Betul, Pandan Wangi terlalu sibuk dengan tangkisan-tangkisan yang harus dijaga kerapatannya. Pandan Wangi, bila sedikit saja, mengalihkan perhatian, maka ujung senjata Mangesthi akan menggores kulit lehernya.

“Sebaiknya engkau memang tetap hidup, Pandan Wangi,” ucap Mangesthi merendahkan lawannya. “Dengan begitu, kau dapat menjaga rasa malu atas kekalahan yang akan kau raih sebentar lagi.”

loading...

Tiba-tiba, Pandan Wangi merasakan sesuatu yang aneh dalam hatinya. Mengapa ia mendadak menjadi gemetar dengan ancaman Mangesthi? “Bagaimana gadis ini dapat bertarung seolah tanpa rasa takut? Tentu aku dapat menghadapinya, lantas mengapa aku merasakan tidak karuan?” Pandan Wangi menelan pertanyaannya sendiri. Ia harus segera menindas kegugupan yang tiba-tiba menyeruak lalu meremas hatinya.

Celaka! Pikiran Pandan Wangi yang sempat terbelah membuatnya terdorong oleh serangan Mangesthi yang kuat menyambar! Belum sekejap mata kaki Pandan Wangi menginjak tanah, ujung tombak Mangesthi menerobos masuk, menggapai dada bagian kiri, disusul tendangan memutar yang  dapat mematahkan perlawanan Pandan Wangi! Sungguh, Pandan Wangi hanya mempunyai waktu kurang dari sekejap untuk menyelamatkan diri dari terjangan maut Mangesthi.

Pandan Wangi menjatuhkan diri. Keseimbangannya hilang untuk sesaat, bergulingan menjauh lalu meloncat bangkit. Namun demikian, keseimbangannya tidak dapat terjaga dengan baik karena Mangesthi telah menyusulkan serangan yang gencar dan bertubi-tubi!

Kelebihan pengalaman serta kematangan kanuragan tidak serta merta menjadikan segalanya mudah untuk Pandan Wangi. Kecepatan Mangesthi memang luar biasa, sedangkan tata geraknya yang bersumber dari Sekar Lembayung benar-benar asing bagi lawannya. Maka dengan demikian, Pandan Wangi mengalami kesulitan  untuk membangun ulang pertahanannya. Menyelesaikan perkelahiannya melawan Mangesthi benar-benar membutuhkan tenaga dan perhatian yang sangat besar ketika bayangan hasil akhir perang melintas dalam benaknya. Sungguh, itu adalah keadaan yang sangat meresahkannya!

Lengan Pandan Wangi tergores angin tajam yang terkibaskan oleh senjata Mangesthi. Ketika melihat sorot mata Mangesthi yang bergerak menjauh, Pandan Wangi benar-benar merasakan kengerian yang hebat! Sinar mata itu seolah menginginkan lebih banyak lagi darah yang mengalir. Dan memang seperti itulah Mangesthi kemudian mengayunkan senjatanya lebih liar, buas dan brangasan! Tentu Pandan Wangi tidak dapat menganggap lawannya sedang membabi buta tanpa perhitungan. “Keliru jika aku berpikir seperti itu,” ucap Pandan Wangi dalam hati. Tata gerak yang seakan-akan ngawur itu justru menyimpan kekuatan tersembunyi yang dapat meledak setiap saat.

Pandan Wangi semakin terdesak ketika jangkauan serang Mangesthi semakin jauh menerobos pertahanannya. Darah semakin banyak yang keluar dari bagian tubuhnya. Tidak hanya lengan, tetapi betis dan pundak. Lambung dan punggung Pandan Wangi mulai berbasah darah. Mangesthi, pancaran tenaganya tidak lagi sejengkal, tetapi sedepa dan terus bertambah dekat meski jarak mereka terpisah tiga atau empat langkah!

Mendadak Mangesthi berseru tertahan. Gadis muda ini menggerakkan sepasang kakinya melepaskan tendangan sambil memutar-mutar tubuh begitu deras! Pandan Wangi menjauh dengan loncatan ringan tetapi terjangan musuhnya sangat hebat dan lebih cepat darinya. Pandan Wangi terjengkang dan Mangesthi berdiri megah di atasnya.

“Aku dapat membunuhmu sebagai pembalasan atas kematian Wiyati. Aku dapat melukai wajahmu dan membuat cacat pada tubuhmu, tetapi aku bukan orang yang kejam dengan berbuat seperti itu padamu,” kata Mangesthi. “Lebih baik membiarkanmu hidup sambil menyimpan nama dan wajahku di dalam ingatanmu. Ingat baik-baik, Mangesthi dan Wiyati selamanya hidup bersamamu.” Usai mengucapkan itu, Mangesthi melesat pada arah yang sama dengan Ki Astaman.

Sejumlah pengawal kademangan segera mengamankan panglima mereka dengan membawanya serta ke barisan belakang. Sedangkan pasukan lawan bersorak gegap gempita atas tuntasnya perkelahian yang lantas dianggap sebagai kemenangan besar. Dalam waktu itu, kelompok pengawal Gondang Wates memandang barisan lawan dengan kegusaran yang membanjiri sepenuh dada. Mereka terbakar dan berkemauan kuat ingin melibas lawan yang makin terdorong keluar dari pedukuhan. Namun seruan Ki Demang Brumbung dapat mencegah mereka dari kesalahan yang mungkin akan berakibat buruk bagi seluruh pasukan.

“Benar, Ki Swandaru,” kata Ki Prayoga kemudian, ”Mataram merupakan tempat banyak kuda pilihan tetapi aku masih mempunyai pilihan yang lain di luar Mataram.” - Jati Anom Obong

Dari kejauhan, dengan hati bergetar, Pangeran Purbaya dapat melihat perkembangan yang terjadi pada lingkar perkelahian Pandan Wangi. Meski kekhawatirannya tidak terjadi, Pangeran Purbaya berpikir lebih keras mengenai orang-orang kepercayaan Raden Atmandaru yang keluar meninggalkan gelanggang perang. Bukankah mereka sedang menunggangi angin kemenangan? Ini di luar perhitungannya. Sabungsari dan Pandan Wangi boleh kalah karena kekalahan adalah keadaan yang wajar, tetapi keluar dari perang?

“Tidak mungkin mereka meninggalkan gelanggang pertempuran karena takut berhadapan denganku. Bila ada yang berpendapat demikian, tentu itu adalah buah pikiran yang bodoh dan salah,” desis Pangeran Purbaya dalam hatinya. Kemunduran lawan tampak sebagai kejadian yang menarik perhatian Pangeran Purbaya. Biarpun pertempuran tidak akan berlangsung lebih lama lagi, tetapi ada sesuatu yang menyita pikirannya. Dari awal, gelar perang dari lawan mampu mengacaukan siasatnya. Mereka adalah lawan yang seimbang. Mereka bergantian mengendalikan jalannya peperangan. Lalu mendadak, segalanya berubah. Apakah karena kehadiran pasukan berkuda yang dipimpin gadis muda itu? Pangeran Purbaya tidak segera menjawab pertanyaan yang muncul di dalam ruang pikirannya. Namun ia tidak menutup mata atas kenyataan yang sanggup mengoyak barisan Pandan Wangi.

Beberapa waktu kemudian, Pangeran Purbaya memberikan tanda pada pemanah agar melepaskan enam panah sendaren. Itu adalah isyarat supaya mereka mundur bertahap tanpa mengurangi ketegasan dalam berperang. Bukan sekadar mundur, tetapi upaya memancing lawan supaya terpisah dari kelompok induk atau senapati mereka.

Wedaran Terkait

Geger Alas Krapyak 92

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 91

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 90

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 9

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 89

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 88

kibanjarasman

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.