Padepokan Witasem
Pajang, Gajahyana, majapahit, Lembu Sora, bara di borodubur, cerita silat jawa, padepokan witasem, tapak ngliman
Bab 5 Bentrokan di Lereng Gunung Wilis

Bentrokan di Lereng Gunung Wilis 19

Perjalanan panjang dan jalur yang mereka pilih untuk dilalui memang bukan satu-satunya keadaan terbaik yang mereka hadapi. Orang-orang Padepokan Sanca Dawala mempunyai kemungkinan untuk mengejar mereka, terlebih Kuntala yang ternyata masih mengamati mereka dari jarak yang cukup jauh. Kuntala menyaksikan sendiri perselisihan yang terjadi antara Bondan dengan Jalutama namun ia tidak dapat mendengar permasalahan yang terjadi di antara mereka.

“Tentu saja aku tidak dapat menghabisi mereka satu demi satu sekalipun aku menghadapi mereka bergiliran,” gumam Kuntala dalam hatinya. Kemudian ia memperoleh satu pemikiran untuk meminta bantuan pada sebuah pedukuhan kecil yang terletak di sebelah utara dari Alas Mentaok. Kuntala mengenal pemimpin pedukuhan dengan baik karena orang-orang Sanca Dawala sering bekerja sama dengan mereka untuk menyergap rombongan saudagar yang melintas di sekitar Mentaok. Maka kemudian ia melepaskan pengamatan itu lantas menempuh jalur yang berbeda dari Ken Banawa beserta kelompok kecilnya.

Nyala api unggun itu seperti menjadi daya tarik bagi rombongan Ken Banawa untuk menyatukan pandangan mata sambil duduk melingkari. Setiap orang mematung pada saat angan-angan mereka mengalir ke segala penjuru. Kehangatan yang ditawarkan oleh api unggun pun tidak mendapat sambutan yang cukup dari mereka, meski untuk sekedar saling berbicara satu atau dua kata.

Sementara malam semakin rapat membungkus tepi Alas Mentaok, Bondan lurus menatap tajam Nyi Kirana. Ia memandangi wajah cantik yang mulai dipenuhi garis-garis kehidupan seiring dengan usia yang bertambah setiap waktu, lalu mengalihkan tatap matanya pada Ki Hanggapati – lelaki gagah yang sering mengajaknya menempuh perjalanan jauh pada masa lalu. Dari Ki Hanggapati, Bondan banyak mendengar tentang kehidupan orang-orang yang tinggal di sekitar Mentaok, kadang-kadang ia juga mendengar kisah tentang orang-orang yang berada di sebelah timur  Menoreh. Bondan pun pernah mendengarkan kisah sebuah candi berukuran besar yang sangat tua pada bagian dalam hutan yang berada di samping bukit, di sebelah dusun kecil yang asri.

loading...

Bondan menarik napas dalam-dalam saat bertemu pandang dengan Jalutama yang kemudian membuang muka. Lalu kepada Nyi Kirana, berkata Bondan kemudian, ”Nyi Kirana, dahulu guruku pernah berkisah tentang sebuah padesan yang bernama Tambelang. Dan aku kira padesan itu terletak tidak jauh dari tempat kita bermalam ini.”

Nyi Kirana berpaling pada Bondan lalu menganggukkan kepala. Ia mengangkat wajah kemudian menarik napas dalam-dalam. Sekejap ia mengerling pada Bondan yang duduk bersila sambil mengatur setiap pembuluh darah dan urat syarafnya. Tampak oleh Nyi Kirana bahwa wajah Bondan mulai terlihat lebih segar dan ia berpikir bahwa kekuatan Bondan telah perlahan-lahan mulai pulih. Tetapi Nyi Kirana gelisah ketika mengingat Kuntala yang tidak terlihat di antara jasad yang membujur lintang usai pertempuran yang terjadi di lereng Wilis.

“Apakah kawanmu yang dapat melarikan diri itu akan berusaha mengejar kita, Nyi Kirana?” lirih suara Jalutama terdengar seperti petir yang menggelegar menghantam dada Nyi Kirana.

Ki Swandanu dan Ki Hanggapati terhenyak karena mereka sebenarnya memang tidak teringat akan keberadaan Kuntala. Sementara Bondan dan Ken Banawa bertukar pandang penuh arti. Sekejap kemudian perhatian mereka pun terpusat pada perempuan yang mempunyai ilmu yang  menggetarkan jantung.

Nyi Kirana, yang telah berusia lanjut dan mempunyai keinginan untuk memutus hubungan dengan padepokan Sanca Dawala, seakan terhempas oleh gelombang besar samudra. Beberapa kali ia menghela napas panjang. Ia mengerti betapa sebenarnya Ken Banawa dan orang lainnya masih belum utuh percaya pada niat baiknya, meski begitu Nyi Kirana tidak dapat menyalahkan mereka. Lekat tatap mata Nyi Kirana memandang wajah Bondan. Ia mengerti bahwa dalam hati kecil Bondan sendiri telah tumbuh benih kepercayaan padanya, namun Nyi Kirana merasa ia masih membutuhkan Bondan untuk mendukung pendapatnya.

Malam terus melangkah setapak demi setapak, waktu bergeser lebih jauh dari setiap titik yang telah ia lewati. Bintang mulai bergeser dari tempatnya, sementara nyala api unggun masih terjaga oleh kayu-kayu kering yang terus menerus ditambahkan  oleh dua orang kepercayaan Resi Gajahyana.

“Mengapa kita harus khawatir terhadap Kuntala?” bertanya Nyi Kirana pada orang-orang yang menunggu jawabannya.

“Mungkin hanya kau seorang diri yang tidak khawatir jika ia menyusul kita di tempat ini,” sahut Jalutama.

Ken Banawa mengangkat tangannya, lalu berkata, ”Kita pantas merasa gelisah meskipun kita mempunyai keyakinan akan mampu mengatasi gangguan apabila mereka menyerang kita sewaktu-waktu.” Ia berhenti sejenak kemudian berpaling pada Nyi Kirana, lanjut ucapnya, ”Boleh jadi kau justru lebih mengkhawatirkan temanmu itu daripada kami semua.”

Nyi Kirana mengangguk pelan. Jalutama yang masih menyimpan marah padanya seketika bangkit, namun Ki Swandanu dapat mencegahnya.

“Kendalikan dirimu, Ngger,” berkata lirih Ki Swandanu. “Sudah cukup rasanya kita berada dalam keadaan getir.” Sambil membanting kayu yang dipegangnya, Jalutama menghempaskan tubuh berbaring di atas rumput basah.

arya penangsang, pangeran benawa, silat pajang, demak
Untuk pengembangan blog, silahkan membeli karya Padepokan Witasem.

“Aku mengerti batasan tentang diriku, Ki Swandanu. Bahkan aku telah siap menghadapi kawanan Kuntala dan melawannya seorang diri,” tukas Jalutama dengan geram. Ki Swandanu hanya menarik napas panjang mendengar ucapan Jalutama.

Nyi Kirana kembali berpaling pada Bondan sambil berharap Bondan masih dapat bersikap tenang seperti yang ditunjukkan sepanjang perjalanan. Bondan membalas tatap mata itu dengan anggukkan kepala. Lantas Nyi Kirana bangkit berjalan lebih dekat dengan api unggun. Katanya, ”Aku merasa bahwa memang Kuntala mengikuti kita. Orang-orang Sanca Dawala mempunyai keinginan untuk tidak akan melepaskan sasarannya, mereka akan lakukan segala perbuatan agar keinginan dapat terwujud. Selain harta, Kuntala tentu akan mempertimbangkan segi kedudukannya yang sudah tentu akan meningkat selapis apabila mampu meringkus kita semua.” Nyi Kirana menghentikan ucapannya, lalu menebar pandangan pada wajah setiap orang yang duduk mengelilinginya. Ia melanjutkan kemudian, ”Beberapa ratus langkah dari tempat ini, ada sebuah pemukiman yang telah menjalin kerja sama dengan padepokan. Dan akan menjadi hambatan bagi kita untuk meneruskan perjalanan ini apabila Kuntala membawa gelang khusus pemberian Mpu Rawaja.’

“Apa arti gelang khusus itu bagi orang-orang di pemukiman?” bertanya Jalutama. Sementara Ken Banawa memandang tajam Nyi Kirana dengan dahi berkerut. Ken Banawa seperti mengingat sebuah gelang yang terpasang di pergelangan tangan Ra Jumantara.

Wedaran Terkait

Bentrokan di Lereng Gunung Wilis 9

kibanjarasman

Bentrokan di Lereng Gunung Wilis 8

kibanjarasman

Bentrokan di Lereng Gunung Wilis 7

kibanjarasman

Bentrokan di Lereng Gunung Wilis 6

kibanjarasman

Bentrokan di Lereng Gunung Wilis 5

kibanjarasman

Bentrokan di Lereng Gunung Wilis 4

kibanjarasman

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.