“Iya, betul itu. Tiwul sedang galau dengan dirinya. Saya sendiri tidak tahu persis alasan Tiwul sih ya. Tapi begini, beberapa hari lalu, dia tanya sama saya : kang! Mengapa sih orang kok hidupnya di bumi? Lantas kujawab : Lha, terus maksud kamu itu bagaimana, Wul?”
Owh, terus…terus..apa jawabnya, bos?”
“Malah marah-marah dia, kak Emma eh Drun. Dia bilang : cak, aku tanya itu karena tak tahu. Aku kan gak tanya kenapa kok ada kyai menjadi doyan paha perempuan lain, kenapa ada kyai memaki orang lain itu babi. Aku ra urus (tidak peduli) kyai goblok seperti itu. Aku cuma tanya kenapa Tuhan menempatkan manusia di bumi?
“Nah, kamu sudah tahu kemana cari jawabannya, Dur”.
“Kemana cak?”
“Coba tanya kyai yang kamu bilang goblok. Coba dulu deh!”
Tiwul alias Mbudur segera pergi meninggalkan padepokan. Sejak saat itu dan beberapa hari kemudian Mbudur tak terlihat di setiap pelosok desa. Tak ada yang tahu kemana dia pergi. Kak Emma pun tak tahu.
“Cak Kriwul, alasannya apa kok maka Mbudur dikasi referensi tanya ke kyai goblok?”
Kriwul menjelaskan dengan tenang :
“Kyai itu disebut kyai bukan sebutan biasa. Kyai itu awalnya iki ae (Ini saja). Konon di jaman orang tua dahulu, kalau berobat atau pusing dengan masalah hidup dan apa saja biasanya ditunjukkan jalan sama orang dekatnya. Akhirnya terus dan terus dan terus kata iki ae teradaptasi menjadi kiae lalu kyai. Jadi yang disebut kyai itu orang pilihan. Ilmunya sudah diakui karena buktinya ada. Berkembang terus sampai kalau disebut kyai itu berarti ahli agama”.
“Ooooooooo…”
“O itu bundar hahahaha. Ilmu agama itu ya Drun, bukan sekedar hafal ayat suci, hafal riwayat hadits suci. Buat apa banyak hafal kalau kelakuan tak beda sama kita. Hafalan itu karena latihan, dan akhlak itu karena perenungan. Kamu baca tentang haram tapi orang lain kamu maki sebagai babi. Kamu baca halal tapi istri orang yang kamu gauli. Agama jadi dihina kan?”
“Hihihi…hihihi…huuuuh..huuuuh..”
“Itu kuntilanak tertawa atau tangis gendruwo, cak?”
“Entahlah, ini sih serasa demo setan dan para dedemit kok siang-siang begini pada berisik..ayo kita liat!”
Berdua pun bangkit menuju sumber suara. Benar-benar jagoan kedua santri Kyai Sogol ini. Dedemit ora doyan, nasi tak mempan, kopi kewalahan. Maksudnya, mereka berdua tak takut jin, setan dan sebangsanya. Kulit tubuh mereka juga kebal kalau dilempar nasi sekepal, cuman lengket saja. Cuma sama kopi lha itu mereka sudah menyerah kalah. Hahaha..
Sesampai di belakang surau yang diduga menjadi tempat sumber suara …..eladalah jeder jreng jreng.….ada Tiwul!
Setelah berbasah-basah kata untuk menghibur, Kriwul pun bertanya :
“Menangis karena apa,Dur?”
“Anu cak..huhuhu..emmmmm…anu”
“Anu apa?”
“Tadi sebelum balik kemari, aku sholat subuh di mushola Nurul Jaddid. Setelah salam, aku lihat kok Tuhan gak ada disitu huhuhu…” kata Mbudur alias Tiwul sambil sesenggukan.
“Tapi saat kamu sholat, Tuhan masih ada?”
“Iya, masih cak”
“Kemana kira-kira Tuhan pergi ya Drun?” tanya Kriwul.
*Waksssss?…meneketehe lah cak!”
Tiwul alias Mbudur lalu menceritakan :
” Tadi usai salam kan aku lihat Tuhan tidak ada di tempat biasanya. aku pun berdiri dan kulihat ada secarik kertas di tumpukan mukena,cak”.
“Ada tulisannya? Apa isinya,le?”
Lantas Tiwul memberikan kertas itu kepada Sudrun. Tiwul tak tahu karena memang belum membaca isinya.
Secarik kertas itu bertuliskan :
“Tuhan memang tidak selalu ada di tempatNya. Dia diusir oleh orang yang lidahnya basah menyebut namaNya tetapi hati mereka tidak memberiNya tempat. Mereka tidak merasa takut dan merasa hidupnya masih lama. Dia diusir oleh orang yang selalu berkata “Takutlah pada Tuhan, kasihilah Tuhan”. Mereka itu orang melewati malam seperti pencuri, seperti penyamun. Tuhan ada di sisi kalian bahkan berada dalam diri kalian. Tetapi Dia akan pergi dan tak peduli di lembah kenistaan yang mana kalian akan binasa”.
Salam hangat.
Artikel ini telah dipublikasikan di
https://seword.com/spiritual/kegalauan-tiwul-saat-kyai-mengusir-tuhan/
risdianto.roni@yahoo.com