Padepokan Witasem
Api di Bukit Menoreh, Agung Sedayu, Kiai Gringsing, cerita silat
Bab 3 Membidik

Membidik 54

Agung Sedayu bergegas meninggalkan gardu jaga diikuti Ki Wasana dengan mengayun langkah lebar.  Kata Ki Wasana, “Ki Rangga, seperti apa perintah itu? Ki Rangga tidak mengucap sepatah kata pun untuk saya.”

“Benar,” sahut Agung Sedayu. “Itu karena saya pun menjadi pelaksana perintah.” Senyum Agung Sedayu mengembang meski tidak mampu mengusir kelabu di matanya.

“Oh. Sudah jelas sekarang.” Ki Wasana berusaha melangkah di samping Agung Sedayu yang seolah tidak berjalan cepat tetapi ternyata sulit disamai oleh Ki Wasana yang sudah setengah berlari.

“Benarkah?”

loading...

“Tidak.” Keduanya lantas tertawa kecil.

Ketika mereka tiba di simpang empat yang terletak di dekat gerbang kademangan, Agung Sedayu berkata, “Ki Wasana dapat membangunkan penghuni rumah itu dan itu.” Telunjuk Agung Sedayu mengarahkan pergerakan Ki Wasana.

“Apa yang saya katakan pada mereka?”

“Agung Sedayu menunggu di sini.” Agung Sedayu memberi isyarat bagi tempatnya berdiri.

“Bukankah ini akan menarik perhatian mereka? Ki Rangga, bukankah kita sedang melakukan persiapan perang?”

“Benar.”

“Dan Ki Rangga menunggu mereka di tempat terbuka seperti ini?”

“Bukankah suasana sangat gelap untuk melihat sejauh enam langkah?”

“Ah, benar, benar!” Ki Wasana menertawakan kegagalannya mengamati keadaan. Dengan senyum kecil menutup malu, ia bergegas menuju rumah-rumah yang ditunjuk Agung Sedayu dengan sejumlah pesan yang memang tidak mudah dijalankan.

Selang beberapa waktu Agung Sedayu menunggu di bawah sebatang pohon kecil di sudut jalan, tiga orang berjalan merunduk lalu berhenti di tengah persimpangan.

“Tidak ada orang di sini,” kata seorang dari mereka.

“Tetapi Ki Wasana bukanlah pembohong, Ki Marta,” tukas orang yang berbadan langsing.

“Lalu apa maksudnya dengan menyuruh kita ke sini?” gumam Ki Marta.

“Kalian bertiga,”panggil Agung Sedayu dari tempatnya menepi, “aku berada di sini!”

Mereka mengenali suara Agung Sedayu yang sempat tinggal bersama mereka untuk beberapa tahun lamanya.

“Ah, kabut membatasi penglihatan kita,” ucap Ki Marta yang kemudian dapat melihat tubuh Agung Sedayu duduk merendah di atas tumitnya.

Mereka mengerumuni Agung Sedayu dan masing-masing duduk di atas tumit. Lalu kata Agung Sedayu, “Saya minta Ki Sanak bertiga untuk menutup jalan di bagian ini dan ini.” Agung Sedayu lantas menggambarkan bagian jalan yang ia maksudkan di atas permukaan tanah. Meski tidak dapat dilihat dengan jelas, tetapi petunjuk Agung Sedayu dapat dimengerti oleh tiga orang itu. Sementara Ki Wasana terus bergerak memberitahu tiga atau empat rumah yang terletak di dekat persimpangan yang berebaran di pedukuhan induk. Ia terus mengulang perintah Agung Sedayu bahwa mereka hanya diperintahkan menunggu di persimpangan-persimpangan yang akan menjadi sangkar-sangkar jebakan.

Sebagian jalan, atas perintah Agung Sedayu, ditutup seluruhnya. Sebagian dibuka setengah badan, sebagian lagi hanya dapat dilewati pejalan kaki. Secara keseluruhan Agung Sedayu bertujuan memecah kekuatan penyerang melalui pengaturan jalan. Bahkan lebih dari sekedar mengurai serangan, Agung Sedayu membuat jebakan di sejumlah lorong dan jalan. Tidak selalu jalan yang sempit akan berakhir dengan bambu yang terikat erat. Beberapa jalan yang mempunyai lebar cukup pun akan menjadi penghalang bagi pengikut Raden Atmandaru untuk bergerak maju.

Maka , sejak sejumlah lelaki Sangkal Putung menerima perintah Agung Sedayu, sejak itu pula bambu dan kayu, batu dan tali serta benda-benda yang diperkirakan dapat menjadi penghalang segera terlihat di jalan-jalan Sangkal Putung. Para perempuan mempunyai tugas yang berbeda. Agung Sedayu meminta mereka menyiapkan minyak dari buah jarak, menyiapkan makanan yang dapat bertahan beberapa hari dan hal-hal lain yang dipandang penting untuk menunjang persiapan pengawal kademangan dan anak-anak muda yang telah usia cukup.

Sangkal Putung yang diperkirakan lelap oleh para pengamat yang dikirim oleh Raden Atmandaru telah menggeliat.

“Seseorang telah mengetahui rencana Raden Atmandaru,” kata seorang petugas sandi Raden Atmandaru pada kawannya.

“Mungkinkah ada pengkhianat di sekitar orang-orang Panembahan Tanpa Bayangan?”

“Entahlah.“ Petugas sandi ini mendongak. Kemudian berkata, “Fajar telah tiba. Dan jika Raden Atmandaru tidak berubah pikiran, maka esok akan menjadi titik balik kemakmuran. Kita akan kaya!”

“Jaga bicaramu. Mungkin saja Raden Atmandaru mengubah waktu serangan bila ia mendapat laporan tentang perkembangan ini.”

“Bukankah kita telah setuju untuk tidak memberi tahu Panembahan?”

“Lalu bagaimana dengan yang lain? Apakah mereka berpikir sama dengan kita?”

Sejenak kemudian mereka diam. Dari balik dinding sebuah kedai yang rusak, mereka masih meneruskan pengamatan hingga matahari tampak secara utuh di ujung timur Sangkal Putung.

Wedaran Terkait

Membidik 9

kibanjarasman

Membidik 8

kibanjarasman

Membidik 7

kibanjarasman

Membidik 61

kibanjarasman

Membidik 60

kibanjarasman

Membidik 6

kibanjarasman

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.