Padepokan Witasem
Pajang, Gajahyana, majapahit, Lembu Sora, bara di borodubur, cerita silat jawa, padepokan witasem, tapak ngliman
Bab 3 Pendadaran

Pendadaran 8

Dalam keadaan genting, Toa Sien Ting adalah orang yang berilmu tinggi dan pengalaman yang sangat luas. Meskipun benturan itu menyakitkan tangannya tetapi ia tidak kehilangan pengamatan. Melihat Siwagati meringis kesakitan, telapak tangan Toa Sien Ting cepat berputar meremas kepalan tangan Siwagati. Siwagati mencoba melepaskan diri dengan melompat tinggi lalu memutar tubuh. Kini satu kaki Siwagati siap menebas kening Toa Sien Ting.

Toa Sien Ting cepat melepas genggamannya lantas membuang tubuh sambil berguling ke belakang. Sambil menahan rasa sakit pada tangannya, Siwagati mendera lawannya dengan serangkaian tendangan yang dilontarkan dalam jarak dekat. Sepasang kaki Siwagati datang bagaikan hujan yang sangat deras hingga Toa Sien Ting tidak mempunyai kesempatan untuk bangkit berdiri.

Dengan sejumput tanah yang sempat direnggutnya ketika berguling-guling, Toa Sien Ting melemparkannya ke arah wajah Siwagati.

”Licik!” dengus Siwagati dengan menyilangkan telapak tangannya di depan muka kemudian meloncat surut. Ia menjadi marah dengan kelicikan Toa Sien Ting, napasnya memburu ketika ia menyusun tata gerakan.

loading...

Sementara itu Ki Juru Manyuran merasakan cemas melanda hatinya melihat Siwagati yang bertempur seperti seseorang yang tidak memiliki jantung. Ia menoleh ke arah Ki Sarwa Jala seakan ingin mendengar penjelasan dari guru Siwagati yang sudah seperti orang tuanya sendiri. Ki Sarwa Jala seperti merasakan gelora dalam hati Ki Juru, ia lalu memberi tanda untuk tetap bersikap tenang. Ki Juru pun mengurungkan niat yang nyaris terlontar dari bibirnya.

Toa Sien Ting melenting bangkit berdiri. Agaknya ia menyadari kemampuan gadis muda yang berdiri di hadapannya tidak dapat dipandang sebelah mata. Sekalipun merasa sesak di dalam dada karena hampir terjungkal, ia masih melihat keseluruhan pendadaran. ”Sedikit mundur akan membuat keadaan lebih baik. Aku tak peduli dengan harga diri,” desah Toa Sien Ting dalam hatinya.

”Aku mengakui kelebihanmu, Cah Ayu. Marilah, kita sudahi pertarungan ini,” kata Toa Sien Ting menjura hormat.

”Kita belum beralih dengan senjata, Ki Sanak,” kata Siwagati.

”Kekuatan yang tersimpan di kedua tangan dan kakimu sudah cukup memberiku pelajaran. Perjalananku  segera berakhir di halaman ini dengan senjatamu. Sudah pasti kemampuanmu menggunakan senjata akan lebih hebat dari yang kau lakukan tadi.” Senyum Toa Sen Ting mengembang dipaksakan. Ia harus menelan kehormatannya sebagai seseorang tokoh yang disegani di negerinya.

”Tuan-tuan sekalian datang bertemu ayahku dengan satu tujuan. Namun agaknya Ki Sanak semuanya harus membawa tujuan itu kembali pulang ke negeri asal. Kademangan ini tidak membutuhkan orang-orang baru,” kata Siwagati, ”kademangan ini sedang belajar untuk mempertahankan diri dan kehormatan. Silahkan Anda sekalian membawa tujuan itu ke daerah yang lain.” Siwagati lantang berbicara sambil bertolak pinggang. Meski usianya masih muda tetapi kedudukannya sebagai anak seorang pemimpin telah menjadikannya mempunyai ketegasan sikap. Selain itu juga pergaulannya dengan orang-orang di kademangan telah membentuk dirinya lebih keras. Siwagati menarik konde panjang yang terselip di ikat pinggangnya. Kedua konde sepanjang lengan telah erat dalam genggamannya. Ujung-ujungnya yang tajam telah siap menyayat harga diri orang-orang asing yang sekarang berada di hadapannya.

”Marilah, Ki Sanak. Kalian berlima tentu tahu penentuan pendadaran ini akan diakhiri dengan senjata. Dan kalian juga tahu letak pintu keluar dari halaman ini.” Siwagati merendahkan kedua lututnya. Sikap tubuh yang siap menerkam mangsa telah disusun Siwagati.

Panas muka Toa Sien Ting dan kawan-kawannya mendengar ucapan perempuan muda yang melakukan penjajagan ilmu terhadap dirinya. Ia mengurai cambuknya yang terbuat dari lingkaran-lingkaran besi yang kecil dan serabut dari baja berada pada ujungnya. Cambuk rantai yang melilit pundak dan perutnya menjuntai panjang seperti seekor ular berwarna hitam pekat. Kemarahannya segera tersalur ke setiap lingkaran di cambuknya.

”Anak itu amat sombong. Sebentar lagi Toa Sien Ting akan mengajarinya sopan santun,” kata Feng Kong Li.

”Meskipun aku jengkel dengannya, tapi kita harus dapat membedakan antara kesombongan dengan percaya diri,” Tung Fat Ce berkata bijak.

”Tutup mulutmu. Petuahmu itu tidak akan berguna apabila Toa Sien Tong tidak mampu menundukkan kebinalan gadis itu,” sahut Feng Kong Li. Tung Fat Ce diam dengan napas panjang. Memang ada benarnya kata-kata Feng Kong Li. Kekalahan Toa Sien Ting dalam pendadaran ini akan mengirim meteka keluar dari kademangan. Diam-diam Feng Kong Li menyalurkan tenaga inti ke ujung-ujung jarinya untuk membantu Toa Sien Ting bila terdesak.

Pada waktu itu Ki Sarwa Jala berseru, ”Tahan!” Sambil meminta pengawal kademangan memberikan tongkat kayu yang sama panjang kepada dua orang itu.

”Tidak boleh ada darah yang tumpah di halaman ini. Tidak juga sebuah kematian. Kalian berdua adalah orang-orang pilihan dengan senjata macam apapun. Nah, sekarang kembalilah bertarung dengan bersenjata tongkat kayu,” kata Ki Sarwa Jala tegas.

Ki Juru Manyuran menarik napas lega karena dengan begitu Siwagati tidak akan mengalami luka-luka yang parah.

”Berhati-hatilah, Ngger,” pelan Ki Juru Manyuran berkata. Siwagati menganggukkan kepala mendengar ayahnya. Kedua tusuk konde segera ia titipkan pada pengawal.

Toa Sien Ting agaknya tergetar oleh amarah. Seakan seleret api menjilat keluar dari mata Toa Sien Ting saat beradu pandang dengan Siwagati. Ia tidak lagi melihat Siwagati sebagai perempuan muda yang cantik, tetapi wajah Siwagati seperti iblis yang sedang mengejek dirinya. Ia menarik napas dalam-dalam memusatkan pikiran dan batinnya.  Ujung tongkatnya bergetar halus teraliri hawa tenaga yang besar. Agaknya ia ingin benar-benar mengajari Siwagati tentang tata krama.

”Aku harus menggebrak lebih dulu,” bisik Toa Sien Ting pada dirinya sendiri.

Satu lengkingan yang tajam menusuk telinga mengawali badai serangan Toa Sien Ting. Sinar kehijau-hijauan cepat berputaran di sekelilingnya. Tubuhnya melaju pesat dengan pusaran sinar hijau menerjang Siwagati. Siwagati terkejut dengan gempuran Toa Sien Ting yang menggetarkan detak jantung. Siwagati mundur setapak memperkuat kedudukan tubuhnya. Dengan lugas ia menyambut terjangan lawannya.

Keduanya kini saling membelit, dan berusaha saling mempengaruhi pertahanan untuk menetakkan tongkat.

Ki Sarwa Jala terkesima dengan gebrakan Toa Sien Ting. Ia mulai khawatir dengan kemungkinan buruk yang menimpa muridnya. Tetapi sedikit keyakinan merebak dalam hatinya menyaksikan Siwagati cekatan menghindar badai serangan Toa Sien Ting.

Wedaran Terkait

Pendadaran 9

kibanjarasman

Pendadaran 7

kibanjarasman

Pendadaran 6

kibanjarasman

Pendadaran 5

kibanjarasman

Pendadaran 4

kibanjarasman

Pendadaran 3

kibanjarasman

2 comments

Nanang Wiyono 02/11/2021 at 15:32

Mantap cerita nya akan selalu kutunggu cerita lanjutan dr bara Borobudur

Reply
kibanjarasman 03/11/2021 at 08:34

Matur nuwun ,Ki. Matur nuwun.

Reply

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.