Padepokan Witasem
Pajang, Gajahyana, majapahit, Lembu Sora, bara di borodubur, cerita silat jawa, padepokan witasem, tapak ngliman
Bab 3 Pendadaran

Pendadaran 10

”Bukankah teman kamj telah melewati pendadaran itu? Kau lihat sendiri bahwa anak Ki Demang tidak dapat melanjutkan pertarungan,” kata Tung Fat Ce.

”Apakah kau kira aku begitu bodoh sehingga tidak tahu temanmu bersikap curang dengan menggunakan tenaga inti? Anak perempuan itu tidak akan roboh dengan mudah, bukan begitu Ki Sanak?” Ki Wisanggeni mengalihkan tatap matanya pada Toa Sien Ting.

Toa Sien Ting merasa sudah tidak ada gunanya membantah penglihatan Ki Wisanggeni. ”Ia harus kalah karena anak perempuan itu terlalu bodoh,” katanya, ”dalam suatu pertempuran sebenarnya tidak menjadi masalah tentang apa yang dilakukan. Tetapi siapa yang menjadi pemenang.”

”Nah, kalian telah mendengar sendiri jawaban dari temanmu. Untuk itu, aku putuskan siapa yang dapat keluar dari kepungan ini maka dia akan dinyatakan lolos oleh Ki Demang.”

loading...

Tung Fat Ce berusaha bersikap tenang tetapi kegeraman kawan-kawannya hampir tak terbendung. Ketiganya menjadi marah.

”Licik!” seru Toa Sien Ting.

”Pendadaran seperti ini telah biasa dilakukan di kademangan ini. Kami selalu siap bertukar nyawa dengan para penyamun dan kami terbiasa melakukan itu. Nah, pendadaran ini adalah yang sesungguhnya. Kita bertarung berkelompok dengan senjata terbuka.” Ki Wisanggeni kemudian memerintahkan para pengawal untuk bersiap.

”Baiklah. Kami akan mencabut nyawa kalian dan orang-orang kademangan ini,” geram Liem Go Song lalu, ”kalian akan menyesali alasan hidup sebagai orang Grajegan.”

”Berhati-hatilah. Sekumpulan orang gila ini cukup berbahaya. Agaknya mereka orang-orang yang terlatih dan berpengalaman,” Tung Fat Ce mengingatkan. Ketiga kawannya menyambut dengan anggukan kepala.

Tawa Ki Wisanggeni berderai lepas. Katanya, ”Mereka bukan sekumpulan orang licik seperti kalian.”

”Cukup!” bentak Feng Kong Li dengan senjata teracung ke arah Ki Wisanggeni. Ia berkata lebih lanjut dengan rendah, ”Kiai, aku ingin menaruh hormat kepadamu. Tetapi ternyata kau lebih memilih berhadapan dengan kematian.”

Ki Wisanggeni semakin menggemakan suaranya. Diam-diam ia mengerahkan tenaga simpanan dan mulai menebar kekuatannya menusuk gendang telinga lawan-lawannya. Suara itu tidak memekakkan telinga namun setiap orang yang menjadi sasarannya akan merasakan puluhan jarum menusuk bagian dalam telinga.

Tung Fat Ce dan tiga kawannya segera dapat menilai kekuatan Ki Wisanggeni. Mereka pun melapisi jalur pendengaran dengan tenaga inti.

Sejenak di bawah serangan suara yang bergelombang hebat, Feng Kong Li memperhatikan para pengepungnya yang tampaknya tidak terganggu sama sekali. ”Tenaga dalam orang ini sangat hebat. Ia dapat memilah sasaran dalam satu aliran tenaga dalam,” desah Feng Kong Li di tengah gemuruh tawa Ki Wisanggeni. Tung Fat Ce yang yang berada paling dekat dengannya juga berpikiran sama dengan Feng Kong Li. Namun Toa Sien Ting mulai kelihatan goyah dan menutup telinganya. Wajahnya menyeringai kesakitan sedangkan bulir-bulir keringat menetes dari dahinya.

Tung Fat Ce akhirnya mengangkat suara melihat derita Toa Sien Ting. Mereka masih berupaya menahan diri dari kemungkinan buruk yang mungkin akan menimpa mereka. Sejauh ini mereka masih berusaha bertahan dari gaung suara Ki Wisanggeni.

”Ki Sanak, kami datang dengan tujuan damai dan niat baik. Tidakkah Ki Sanak dapat melihatnya? Mungkin dari sisi yang berbeda, Ki Sanak dapat melihat kenyataan yang sebenarnya,”

Ki Wisanggeni tidak menghiraukan sesorah Tung Fat Ce.

”Baiklah, Ki Sanak, kami telah mencapai batas. Semoga Tuhan yang mencintai kedamaian akan datang menghampirimu,” lanjut Tung Fat Ce kemudian meloloskan senjatanya berupa pedang tipis yang berhulu kepala naga berwarna merah.

Tiba-tiba Ki Wisanggeni menghentikan tawa. Mulutnya terkatup rapat dan rahangnya tampak tegang, lalu dengan tajam ia menatap Tung Fat Ce. ”Apakah mungkin dapat terjadi kedamaian sedangkan aku telah membunuh Tuhan?” desis Ki Wisanggeni yang tiba-tiba wajahnya menebar kengerian setiap orang yang melihatnya.

Pengawal kademangan tiba-tiba merasa terkejut dengan suasana yang mendadak berubah. Gema tawa Ki Wisanggeni mendadak berhenti dan kini mereka menyaksikan bibir Ki Wisanggeni bergerak-gerak tetapi tidak ada suara yang keluar darinya. Sedangkan Toa Sien Ting menarik napas lega setelah dadanya terlepas dari himpitan tenaga suara Ki Wisanggeni yang dilapisi tenaga dalam.

Tung Fat Ce memandang wajah Ki Wisanggeni dengan alis berkerut. Ia berkata, ”Tuhan Yang Mulia tidak selalu datang bersama kedamaian. Kadang-kadang Ia datang dengan amarah yang dapat meruntuhkan gunung. Dan Ia juga kadang-kadang seperti tak peduli dengan apa yang telah diperbuat-Nya.” Tung Fat Ce diam sejenak, ia tiba-tiba merasakan darahnya seolah berhenti mengalir. Setelah itu lanjutnya, ”Tetapi sebenarnya yang terjadi adalah kita menyeret-Nya masuk ke dalam kotak senjata. Kita memberi-Nya sebuah arti yang sempit, kita memberi-Nya batasan-batasan sesuai keinginan kita, Ki Sanak.”

”Andaikan saja kami mati terbunuh di halaman ini, Yang Welas Asih akan menyambut kedatangan kami. Karena tujuan dan niat baik yang ada pada kami masih belum beralih tempat,” kata Feng Kong Li melanjutkan ucapan kawannya.

Ki Wisanggeni menundukkan kepala. Tiba-tiba saja suaranya melengking menghantam empat orang yang berada dalam kepungan para pengawalnya.

”Omong kosong!” kata Ki Wisanggeni. ”Anggapan itu lahir karena kalian sedang terhimpit kematian. Kalian melihat kejadian ini tidak sesuai dengan keinginan kalian. Lalu kalian menjadikan Tuhan sebagai tameng dari senjata yang akan mengiris kulit kalian. Sudah pasti kalian akan beranggapan lain apabila sejak awal dengan mudah dinyatakan pantas oleh Ki Demang. Mungkin saja bila kalian menjadi lumpuh di halaman ini, maka garis hidup akan kalian salahkan dan kalian akan mencaci makinya. Ki Sanak berempat, tentu saja kalian mengerti jika tidak ada kebahagiaan maka tidak akan ada penderitaan. Rasa sakit itu ada karena Ki Sanak berempat pernah merasakan tidak sakit. Hari ini, di halaman ini, dengan kedua tanganku ini, kalian akan merasakan hilangnya kebahagiaan kala sehat.”

Aliran tenaga inti Ki Wisanggeni semakin kuat seiring perkataannya yang semakin tajam. Toa Sien Ting merasakan ulu hatinya seperti tertusuk sembilu tajam. Sedangkan Liem Go Song merasakan seolah sayatan-sayatan tipis mulai mengiris bagian dalam telinganya. Hawa tenaga itu terasa hebat hingga daun-daun pun bergoyang,

”Orang ini telah menjadi gila,” pikir Feng Kong Li. Sekalipun begitu ia pun semakin takjub dengan kemampuan Ki Wisanggeni memindahkan jalur tenaga dalam.

”Sekumpulan orang-orang gila,” teriak Toa Sien Ting yang jatuh terguling-guling sambil menutup telinganya. Sebenarnya ia mempunyai ilmu yang mirip dengan Ki Wisanggeni. Lengkingan yang disertai aliran tenaga dalam dapat keluar dari getar kedua bibirnya, tetapi pada saat itu suara Ki Wisanggeni telah mendahului menutup jalur kekuatannya.

Wedaran Terkait

Pendadaran 9

kibanjarasman

Pendadaran 8

kibanjarasman

Pendadaran 7

kibanjarasman

Pendadaran 6

kibanjarasman

Pendadaran 5

kibanjarasman

Pendadaran 4

kibanjarasman

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.