Sudrun membuka percakapan “Wak yai, sebagian ada orang berkata : yang kucari hanyalah ridlo Allah. Ini penjelasan bagaimana yai?”
Badrun segera menimpali “Drun, Tidak ada yang salah dengan perkataan itu. Dan tak perlu ada koreksi maupun kritik untuk itu. Itu sudah benar. Ya sudahlah”
“Hahahaha..” gelak tawa akrab bertiga orang ini menghangatkan suasana pagi nan indah di Padepokan Smilikithi yang terletak di pinggiran kota Boyolali.
“Begini, anakku sekalian. Ridlo Allah itu juga bisa kalian artikan bila ada ketenteraman, kebahagiaan di dalam jiwa kalian ketika akan, sedang dan usai melakukan amal atau pekerjaan. Jika kalian gelisah atau merasa takut, berarti itu kalian belum mendapatkan ridloNya untuk pekerjaan itu.” Kyai Sogol mengambil alih pembicaraan.
Badrun berpikir sesaat, lalu ” Lho wak yai, bagaimana dengan seseorang yang bisa merasa tenang dan puas ketika dia lakukan kejahatan?”
Sudrun menjawab ” Itu karena kebiasaan, Drun. Itu seperti kalau terbiasa tidur ya pasti biasa merem wkwkwkwkwk…”
Tergelak kedua santri mbeling di depan gurunya.
” Ridlo, dalam konteks sederhana memang dapat dikatakan seperti itu.Isa uga ana neng rasa lan ayeme ati. Bahwa kebahagiaan untuk merasakan telah diridloi itu dapat terpantul dan dirasakan dalam hati yang tenang, bahagia dan tenteram. Namun untuk menggapai ridlo atau menjadikan Allah itu berbelas kasih dan berbahagia dengan diri kita ini bukan perjalanan mudah”
” Allah mengasihi itu juga bersyarat. Mengikuti sunnah. Dan penting diingat, mengikuti ini bukan secara amaliah saja tetapi juga sikap hati. Apakah dengan kerendahan dan kehinaan sebagai makhluk atau sebagai manusia berdosa atau dengan kebanggaan?”
” Kebanggaan, wak yai?” Badrun terheran.
*semoga bisa dilanjutkan esok hari
Salam hangat.
