Sementara itu di Gondang Wates, perkembangan terus bergerak menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan yang terjadi. Sejak mengemban perintah dari Agung Sedayu, Pandan Wangi bekerja keras agar keadaan tetap seimbang. Kadang-kadang ia membiarkan pengawal pedukuhan terpukul mundur hingga berulang-ulang, namun di lain waktu, para peronda mampu memperlihatkan taji yang nggrigisi. Ketika Glagah Putih hadir dengan berbagai penyamaran, Pandan Wangi merasakan beban pertahanan mulai berkurang. Pertanyaan tentang jati diri Glagah Putih – yang waktu itu belum diketahuinya – kerap bermunculan dalam pikirannya. Setiap kali ia akan bertanya kepada para kepala pengawal, Pandan Wangi selalu berpikir ulang. “Apa yang akan terjadi pada perasaan mereka bila berkesimpulan bahwa aku tidak dapat mengendalikan keadaan? Meskipun orang itu benar-benar menolong tetapi bukankah itu berada di luar rencanaku?”
Beban pertahanan wilayah berangsur-angsur turun tetapi jiwani Pandan Wangi tetap berguncang. Di mana Swandaru? Benarkah kabar angin yang dihembuskan oleh orang-orang yang kerap mengelilingi kademangan? Perempuan lain yang dikabarkan pun bukan perempuan biasa. Bukan penari tayub atau penari ronggeng, tetapi istri penguasa sebuah pedukuhan. Ini sebuah pukulan yang sungguh-sungguh menghempaskan Pandan Wangi. Ledakan jiwani yang nyaris menjerumuskan Gondang Wates ke dalam pategalan berdarah ketika pertama kali ia mendengarnya dari penjaga regol. Bibir Pandan Wangi mengering. Langit-langit pada mulutnya dan kerongkongan pun sunyi dari cairan yang wajar. Melihat ke dalam diri, Pandan Wangi bertanya pada hatinya, “Mengapa berulang? Adakah kesalahan yang tidak aku sengaja di dalam keluarga ini?” Ia ingin merintih dan meratap. Ia ingin mengubur perasaannya lalu berduka hingga puluhan hari. “Di mana kekuatanku? Aku bukan anak perempuan Ki Gede Menoreh yang dilahirkan untuk menjadi lemah!” tandas Pandan Wangi dalam kesunyian.
Sering kali membayang kenangan-kenangan pada awal mula hidup di kademangan. Bertahun-tahun ia memupuk kasih. Bermusim-musim Pandan Wangi menyemai benih agar kehangatan selalu terjaga. Jejak kenangan kerap mendatanginya ketika para pengawal berlalu meninggalkannya. Ia ingin mengerang seperti perempuan yang segera mengeluarkan segumpal daging bernyawa dari gua garbanya.
Saat itu, andaikan Swandaru dan perempuan itu muncul di hadapannya, Pandan Wangi bertekad akan melumat tulang belulang adik seperguruan Agung Sedayu itu, berniat menghancurkan perempuan itu sehancur-hancurnya. Namun gambar menggemaskan anaknya dan anak perempuan Sekar Mirah mendadak hadir, memupus kemarahan, menendang kegusaran lalu meredakan bara di hatinya. “Aku tidak boleh menderita dan terhimpit dengan keadaan ini. Aku bukan perempuan bengis yang tidak berjantung. Mengenai kabar itu? Belum tentu benar. Kabar yang dapat saja dihembuskan oleh lawan agar ketahanan jiwani kademangan porak poranda, kemudian mereka datang untuk meluluhlantakkan setiap sendi yang ada,” ucap Pandan Wangi di dalam relung jiwanya sambil mengusap air mata. Perlahan, gairah hidup Pandan Wangi menggelora. Ada yang harus dipertahankannya. Ada yang harus dibelanya. Ada nama besar yang harus diangkat tinggi-tinggi, Ki Gede Menoreh.
Musim labuh, kumembeng jroning batin, datang menyapa Pandan Wangi. Bau tanah yang basah menjulurkan lidah ke segala arah. Pandan Wangi bijak meneliti keadaan diri dengan pandangan seksama. “ Kademangan terlalu berharga dan tidak sebanding dengan kehancuran yang disebabkan kemurungan hatiku. Aku harus mencapai batas kesadaran tertinggi sebelum kemelut berlanjut. Mungkin aku tidak dapat menghindari pertumpahan darah, mungkin aku memang akhirnya harus berpisah tetapi apakah semua itu dapat berjalan dengan mudah?”
Pandan Wangi meyibukkan diri sementara waktu hingga memutuskan untuk turut kegiatan ronda, tetapi Glagah Putih lebih cermat membaca keadaan. Glagah Putih bergeser ke tempat lain atau menghalau lawan dari jarak jauh dengan sambitan-sambitan yang berbahaya. Menyadari bahwa orang yang diincarnya sangat lincah bergerak, Pandan Wangi memilih untuk diam dengan pengamatan yang lebih tajam. Kehadiran Glagah Putih secara gelap di Gondang Wates, akhirnya dapat dimanfaatkan Pandan Wangi untuk menambah daya tahan dan semangat juang para pengawal.
Lebih dari sepekan terjadi benturan-benturan yang cukup keras yang kerap bergeser tempat. Tak jarang adu senjata merambah sampai pedukuhan sebelah. Sulit bagi pengamat untuk memastikan kekuatan yang sebenarnya dari dua pihak yang masih saling menyerang walau belum dengan kekuatan penuh. Hingga sejauh itu, dalam kepungan yang cukup ketat, orang-orang Gondang Wates masih mampu bertahan.
Pada suatu malam, bekel pedukuhan menemui Pandan Wangi saat senja belum bertukar pakaian. “Persediaan semakin menipis. Lumbung-lumbung pangan semakin sulit dipindahkan isinya. Nyi, apakah kita masih menunggu bantuan dari kademangan atau ada hal lain yang sedang Anda pikirkan?”
“Ki Bekel,” sahut Pandan Wangi. “Apabila kita tidak lagi mempunyai bahan-bahan cadangan pangan, saya dapat pastikan bahwa musuh pun bernasib sama.”
“Saya tidak mengerti maksud Nyi Pandan Wangi.” Ki Darmabudi menghela napas panjang. Serebusan air dibutuhkannya untuk merenungi kata-kata Pandan Wangi. Kemudian ucapnya, “Mereka berada di luar pedukuhan. Mereka merampas sejumlah pedagang dan memungut paksa hasil jual beli di pasar. Lalu mereka tidak kehabisan pangan?”
Pandan Wangi mengerti bahwa bekel pedukuhan bukan orang yang bodoh. Ki Darmabudi adalah orang yang tidak menyimpan banyak ragam keinginan dalam hatinya. Pedukuhan terurus dan terawat sangat baik sejak ia melanjutkan tanggung jawab ayahnya. “Ki Bekel hanya tidak mengerti tentang siasat perang,” kata Pandan Wangi dalam hati. Sejenak kemudian Pandan Wangi meminta seorang pengawal untuk menyajikan wedang sereh dan sedikit raja pendem yang direbus untuk Ki Darmabudi. Usai mempersilahkan bekel pedukuhan untuk menikmati sajian, Pandan Wangi lantas berkata, “Sebenarnya yang dilihat oleh Ki Bekel adalah jebakan atau tipuan yang sengaja saya tunjukkan terbuka.”
Raut wajah bekel pedukuhan menujukkan kebingungan. “Jebakan? Berarti itu tipuan? Maaf, Nyi. Saya tidak mempunyai waktu untuk berpikir mengenai segala hal yang berhubungan dengan pertempuran. Mungkin ini adalah kesalahan saya. Sebelum Nyi Pandan Wangi berada di pedukuhan, saya percaya penuh pada para kepala pengawal dan bebahu pedukuhan. Ternyata, peperangan kiranya lebih rumit dari saya duga.”
“Ki Bekel,” kata Pandan Wangi dengan lembut. “Ki Bekel tidak dapat disalahkan dan tidak boleh merasa bersalah. Ki Bekel sudah benar dengan memberi wewenang serta kepercayaan penuh pada pengawal dan bebahu pedukuhan. Karena pembagian tugas memang perlu untuk membawa kesejahteraan ke pedukuhan ini. Ki Bekel, dalam peperangan, banyak hal yang harus dan wajib dilakukan. Ini seperti ketika Ki Bekel memerintahkan juru air mengatur aliran ke sawah dan pategalan. Tentu ada aliran yang harus dihentikan, kemudian dipindahkan ke saluran lain. Ada yang harus dikurangi agar tanah tidak kelebihan air yang akhirnya dapat merusak pertumbuhan tanaman. Begitu pun yang kami lakukan untuk pedukuhan ini. Ada yang harus maju. Ada yang harus mundur. Ada yang harus dilepas dan ada pula yang harus dirampas.”
“Dirampas,” gumam Ki Darmabudi.
“Maaf, Ki Bekel. Dirampas mungkin kata yang tepat untuk mengambil kembali milik pedukuhan yang direnggut oleh mereka,” terang Pandan Wangi.
KI Darmabudi mengusap wajah, kemudian katanya, “Terima kasih, Nyi. Saya jadi tahu barang sedikit mengenai siasat Nyi Pandan Wangi. Oh, betapa saya terlalu jauh menduga, bukankah Nyi Pandan Wangi adalah putri Ki Gede Menoreh?”
Wajah bekel pedukuhan sedikit berubah tetapi Pandan Wangi segera menghiburnya. Kata Pandan Wangi, “Ini kewajiban kami untuk tetap bersama Ki Bekel dengan segala yang telah dan akan terjadi di pedukuhan ini.”
“Terima kasih, Nyi. Terima kasih.”
Ki Darmabudi menangkupkan tangan sambil merendahkan kepala. Sekejap kemudian ia pergi meninggalkan kediaman sementara Pandan Wangi. Panglima tangguh kelahiran Tanah Perdikan itu terus memandang punggung Ki Darmabudi hingga lenyap dari pandangannya. Angin malam terasa sangat keras menampar bagian belakang tubuh Pandan Wangi pada saat ia hendak melangkahi tlundak. Panggraita Pandan Wangi segera bekerja. “Aku akan menunggu di sini,” desis Pandan Wangi lalu bergeser, kemudian duduk bersandar pada dinding papan dengan kesiagaan penuh.
4 comments
Top markotop Ki
matur nuwun, ki
Matur nuwun Ki… Dalem nunggu wedaran lanjutan nipun
nggeh, siap