Padepokan Witasem
geger, alas krapyak, api di bukit menoreh, mataram, kiai gringsing, kiai plered, panembahan hanykrawati, agung sedayu
Bab 6 Geger Alas Krapyak

Geger Alas Krapyak 15

Nama Agung Sedayu pun mereka sebut di dalam perbincangan itu, namun mereka menyadari bahwa ketiadaan senapati pasukan khusus di Sangkal Putung bukanlah suatu alasan untuk menyerah kalah. Kelebihan pasukan lawan yang mempunyai sejumlah orang linuwih dalam hal kanuragan membuat mereka mempunyai pilihan lain, yaitu membumihanguskan Gondang Wates. Pemimpin peronda menyebut rencana itu akan sulit mendapat persetujuan Pandan Wangi, namun, kekuatan tekad dan semangat bahwa tidak ada kemudahan di Sangkal Putung menyebabkan mereka sepakat untuk membakar lumbung-lumbung dan tempat tinggal yang dianggap layak di Gondang Wates.

Walau demikian, salah seorang penjaga regol memperlihatkan raut wajah keberatan. Ia mengarahkan pandangan pada batas pekarangan di sisi kanan kediaman Ki Darmabudi. Sejenak kemudian, ia mengerutkan kening, gumamnya, “Sepertinya ada seseorang atau sesuatu di tempat itu.” Telunjuknya menuding pada tempat yang dimaksud. Dua kawannya berpaling ke arah yang ditunjuk, lalu mereka bertukar pandang kemudian menunggu perintah pemimpin jaga.

“Tetap siaga. Kalian tetap di sini, aku akan memeriksanya,” ucap pemimpin jaga kemudian berjingkat pelan, mengambil jalur melingkar, mendekati sesuatu yang menjadi kecurigaan mereka.

Dua orang yang sedang bersembunyi – salah satunya adalah Sukra – melihat pergerakan pemimpin jaga rumah yang ditempati oleh Pandan Wangi. Sukra berpikir bahwa sebenarnya kedatangannya tidak perlu dengan cara yang gelap. Bukankah mereka adalah kawan-kawan seperjuangan? Namun, Glagah Putih berpesan padanya bahwa Sukra harus menutup kehadirannya dari mata petugas sandi lawan yang  bertebaran di Sangkal Putung. Itulah sebab Sukra berdua datang mengendap, tetapi bagaimana mereka dapat menghindarkan pertemuan yang benderang? Sukra tentu tidak ingin kehilangan nalar untuk mengatasi persoalan ini.

loading...

“Kamu sebaiknya tetap di sini. Jika mereka memergokimu, maka tidak perlu muncul keraguan dalam pikiran mereka. Mereka sudah mengenalmu, bukan?”

“Benar. Kemudian, apa yang akan kau lakukan?”

Sukra memberi isyarat dengan jari telunjuk. Ia bergerak ke tempat yang diperkirakannya akan dapat memotong jalur pemimpin jaga.

Sementara itu, di beranda, Pandan Wangi sedang memandang gelap dengan suasana hati yang murung. Terlintas dalam benaknya tentang jalan hidup yang dirasakannya begitu terjal. Ibarat rumah, atapnya telah tertimpa butiran-butiran kelapa sehingga air hujan pun menetes masuk. Perempuan yang merasa sedih itu kemudian berkata dalam hatinya, “Bila hidup selalu melewati jalan yang mulus dan datar, bagaimana aku dapat meraih kebijaksanaan seperti ayah atau Kiai Gringsing? Tentu saja, bila beliau berdua sekarang ada di sini, sudah pasti akan mengatakan seluruh usia adalah waktu yang tepat untuk belajar.

Masa kelam telah dilewatinya ketika Sidanti dapat dipengaruhi oleh Ki Tambak Wedi. Siraman paceklik rasa pun juga telah dilaluinya pada waktu Swandaru akan bergabung dengan perpecahan yang digagas oleh Ki Ambara dan Ki Saba Lintang. Pandan Wangi sedikit terbiasa menjalani masa-masa genting yang dapat berakibat kehancuran keluarganya. Pada malam itu, Pandan Wangi pelan-pelan  menghibur diri lalu beranjak bangkit dari rengkuh angin malam yang menghanyutkannya pada masa-masa suram. Desir langkah-langkah kaki yang diayun lambar pun tiba di pendengaran perempuan berhati baja ini. Ia bersiap dengan pencegahan yang dapat membendung api yag mungkin saja akan menyala dari rumah Ki Darmabudi. Pergeseran tempat uyang dilakukan pemimpin jaga telah dilihatnya sambil membuat perkiraan-perkiraan di dalam ruang pikirannya. “Apakah ia akan menjemput pendatang gelap itu? Tidak boleh ada dentang senjata yang beradu atau teriakan-teriakan tanpa guna,” kata Pandan Wangi pada dirinya sendiri.

Pandan Wangi segera bergerak sangat cepat untuk menyusul pemimpin jaga. Ketika telah berada di belakang kepala peronda, Pandan Wangi berbisik mengeluarkan perintah, “Tahan langkahmu.”

Kepala peronda menjawab dengan anggukan kepala dengan perasaan heran. Bagaimana Pandan wangi tiba-tiba berada di belakangnya? Kemudian ia tersenyum dengan wajah yang menyiratkan bahwa pertanyaan itu tidak perlu lagi dijawabnya. “Telo,” katanya lirih hampir tanpa suara sambil menepuk pelan jidatnya.

Sekejap kemudian, Pandan Wangi telah menghadang seseorang yang dicurigainya sebagai pendatang gelap. “Sukra?”

Sukra terperanjat melihat Pandan Wani yang tiba-tiba muncul di depannya, naum cepat ia menguasai diri. “Saya, Nyi,” sahut Sukra dengan tenang seraya merendahkan tubuh memberi hormat.

Pandan Wangi memberi tandan agar mereka berdua bergeser ke bahwa pohon nangka yang berdaun rimbun. Sambil duduk dengan bertopang sebelah kaki, Pandan Wangi bertanya, “Di mana temanmu sekarang?”

Raden Trenggana melenting tinggi, melampaui ujung lancip kapal yang menjulang dan berada pada bagian terdepan. Sebelah tangannya mengembang, memukul permukaan air dengan tenaga inti yang begitu hebat. Air menciprat tinggi lalu seolah terbentuk dinding yang tebal. 

Tidak ada keraguan dalam pikiran Gagak Panji bahwa tubuhnya akan terlumat jika memaksa diri menerobos dinding air. Raden Trenggana tahu cara menggunakan air sebagai senjata peremuk tulang.

Pangeran Benawa - Penaklukan Panarukan

“Oh, ternyata beliau juga tahu,” desis Sukra dalam hati. Menjawab pertanyaan Pandan Wangi, Sukra menunjuk salah satu arah dengan ibu jarinya.

“Apakah, menurutmu, temanmu harus ada dalam perbincangan selanjutnya?”

Sukra tidak segera menjawab. Pikirnya, teman perjalanannya adalah seorang pengawal Gondang Wates. Bila ia tidak dilibatkan, mungkin akan muncul perasaan terlangkahi dalam hati pengawal itu. Bukankah mereka menerima perintah yang sama dari Pangeran Purbaya? Namun, bila dihadirkan, apakah Pandan Wangi berkenan? Sukra cepat menentukan pilihan. Tegasnya, “Kami datang berdua dengan perintah Pangeran Purbaya.”

“Pangeran Purbaya? Baiklah, aku akan kirim orang untuk menjemputnya,” ucap Pandan Wangi lantas berkelebat pergi. Sekejap kemudian ia kembali lalu berkata, “Sekarang, marilah kita masuk ke dalam rumah.” Pandan Wangi bergerak sangat ringan. Sukra mengikutinya sambil mengerahkan kemampuan yang disadapnya dari Nyi Ageng Banyak Patra.

Memang tertinggal sangat jauh, tetapi bukankah mengasah kemampuan dapat dilakukan setiap waktu? Sukra berpikir demikian.

Pandan Wangi telah menunggu di pintu samping rumah. Ia ingin bicara dengan Sukra dan temannya dalam jarak yang tentu akan sulit dijangkau oleh pendengaran Swandaru. Mereka tak lama menunggu Lamija datang dari longkangan. Kemudian Pandan Wangi membuka percakapan, “Tentu ada perintah Pangeran Purbaya untuk kami di Gondang Wates. Namun, kita tidak perlu tergesa-gesa menyelesaikan pertemuan ini.”

“Kami tunduk pada kemauan Nyi Pandan Wangi,” kata Sukra.

“Engkau bicara seperti seorang prajurit Mataram yang lama tinggal bersama Ki Patih Mandaraka dan Panembahan Hanykrawati,” ucap Pandan Wangi dengan senyum mengembang.

Sukra sedikit merasa kikuk, tapi itu tidak lama.

“Terangkan pada kami tentang perintah Pangeran,” tegas Pandan Wangi.

“Pangeran Purbaya memerintahkan kami agar mengatakan pada Nyi Pandan Wangi bahwa Ki Rangga Agung Sedayu berada di Pajang dalam pengobatan. Ki Rangga mengalami luka dalam akibat pertempuran di Slumpring. Namun , beliau berpesan agar Nyi Pandan Wangi tidak mencemaskan keadaan Ki Rangga karena Ki Rangga berada di bawah pengawasan Nyi Ageng Banyak Patra.”

“Baik. Aku tunduk pada perintah Pangeran Purbaya,” sahut Pandan Wangi degan perasaan lega. Keterangan yang diperolehnya melalui segulung rontal mulai menemukan padanan yang mungkin akan membuat benderang keadaan. “Oh, jadi Kinasih ini mungkin murid Nyi Ageng Banyak Patra?” Namun Pandan Wangi menyimpan pertanyaan itu di dalam hatinya. Lalu, dengan wajah yang penuh garis-garis ketegasan, Pandan Wangi menunggu keterangan Sukra.

“Pangeran juga menyampaikan pesan bahwa beliau tidak akan menemui Nyi Pandan Wangi untuk satu atau dua hari sejak pertemuan ini,” lanjut Sukra.

Sesuatu yang penting tentu sedang dikerjakan Pangeran Purbaya. Baik, ia tidak perlu mencari tahu lebih jauh mengenai kepentingan panglima tinggi urusan sandi dari dua utusan beliau, pikir Pandan Wangi.

“Mohon maaf, Nyi. Adakah Nyi Pandan Wangi akan mengatakan sesuatu?” tanya Sukra kemudian ketika melihat pancaran yang lain dari sorot mata Pandan Wangi.

“Tidak ada. Lanjutkan,” perintah Pandan Wangi.

Wedaran Terkait

Geger Alas Krapyak 92

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 91

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 90

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 9

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 89

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 88

kibanjarasman

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.