Mahabharata, ini kisah legendaris yang sukses memancing Mbudur untuk kepo seperti biasanya. Mbudur atau Tiwul Raharjo ini bergegas mencari kakak seperguruannya, Kriwul. Bertanya mengenai sesuatu hal. Entah dalam episode apa dan tentang siapa, Mbudur yang tahu hahaha..
“Nah, bertemu juga akhirnya. Wahai Arjuna Putra Pandu” begitu Mbudur menyapa Kriwul.
“Arjuna? Saya? Hahaha jangan gitu ah. Masih keren saya atuh mah hahaha..”
” Begini kang. Bhisma itu bagaimana?” tanya Mbudur.
Bhisma, sebuah nama yang juga dikenal sebagai seorang resi. Lelaki gagah nan kharismatik. Ada yang berkata jika resi Bhisma ini terjebak dengan sebuah janji. Janji untuk menjaga tahta Hastinapura. Adalah konsekuensi karena tahta Hastinapura yang sebenarnya menjadi hak Bhisma, namun karena ada satu pihak yang berkeinginan kuat menjadikan keturunannya sebagai raja Hastinapura. Maka demi sebuah kedaulatan dan ketenteraman kerajaan, Bhisma pun mengalah.
Ada pula yang berkata sebenarnya Bhisma tak perlu mengabaikan perasaan ayahnya.
Tapi biarlah, mereka bebas berpendapat kan Indonesia menjamin kebebasan berpendapat. Hahaha..
Ada pertanyaan yang keren untuk masalah tahta Bhisma ini.
” Bagaimana Bhisma bisa dikatakan dalam kebenaran jika sumpah setia pada negara itu termasuk dalam membela raja yang dzalim?”
Jadi ada 3 perkara yang bisa kita lihat di situ.
Yang pertama, janji. Setia kepada negara adalah hal yang benar.
Yang kedua, membela. Membela dan mengamankan pemimpin negara adalah hal yang benar.
Yang ketiga, menjadi masalah jika pemimpinnya dzalim.
Lalu bagaimana solusinya? Tidak ada solusilah, wong bukan kita yang menjadi Bhisma hahahaha..
Begini, bicara solusi tentu setiap orang akan mempunyai pendapat yang berbeda. Dan juga akan menggunakan dasar pertimbangan yang berbeda. Antara lain :
1. pengalaman hidup,
2. pengetahuan,
3. nalar,
4. hukum agama.
Saya sertakan nalar karena belum tentu orang pintar bergelar doktor itu mampu menggunakan nalar sehat, belum tentu pejabat rendah dan tinggi juga mampu bernalar sehat. Kan ada pejabat di republik ini yang bersuara seperti ember pecah hahahaha… Nalar sehat yang saya maksudkan adalah keseimbangan logika dengan spiritual.
Setia pada janji, ini merupakan kondisi yang sulit dilakukan. Menegakkan amanah itu tidak setiap orang mampu menjalankan dengan benar. Dalam hal ini, Bhisma pun mengalami gelisah. Karena Bhisma tahu jika keturunan Pandu adalah pewaris sah tahta kerajaan. Tetapi di sisi lain, Bhisma juga tidak boleh menggantikan Drestarata sebelum Drestarata mangkat. Nah, bagaimana jika Drestarata itu dzalim? Bhisma hanya menjalankan kewajiban sebagai prajurit. Menjaga kedaulatan negara, dan menjaga keselamatan raja atau pemimpin negara alias presiden itu menjadi wajib hukumnya karena termasuk bagian dari janji Bhisma. Akhirnya Bhisma menjadi bersalah jika dia melakukan kudeta terhadap Drestarata. Lho kan rajanya lalim? Yup, sejahat-jahatnya pemimpin atau raja tetap wajib bagi rakyat untuk taat. Kita bayangkan jika Bhisma melakukan pemberontakan. Berapa biaya sosial yang harus dikeluarkan?
1. Kerusakan materil bangunan
2. Jiwa-jiwa yang mati dalam pertempuran
3. Anak- anak kecil dan orang tua
4. Dan para wanita yang kehilangan anak dan suami atau saudara lelaki.
Untuk 4 akibat diatas, berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk membangun kembali negara yang rusak poranda? Berapa harta yang harus dikeluarkan? Sekarang, jika gempa bumi atau banjir melanda satu kota seluas Bojonegoro saja bisa menelan ratusan miliar, lalu berapa untuk satu negara?
Artinya, pemberontakan bersenjata akan membawa suatu negara mundur beberapa tahun atau bahkan lenyap seperti Majapahit.
Jadi, minimal kita bisa memahami alasan Bhisma tetap tunduk pada takdirnya untuk setia pada negara. Bhisma memikirkan kepentingan banyak orang yang tidak tahu atau tahu tentang janjinya. Mengapa dia tidak berpikir tentang dosa yang diterimanya karena membela raja lalim?
Sekali lagi, mungkin Bhisma melihat kerugian yang lebih besar untuk negara dan rakyatnya dibandingkan kerugian karena kelaliman rajanya. Atau mungkin Bhisma berpikir lebih baik dia dibakar di neraka sendirian daripada dia melihat orang lain ikut dibakar karena dirinya. Dua kemungkinan yang sama-sama mulianya.
Dalam kehidupan nyata, kita sering terlibat dalam kondisi yang mirip atau mungkin dimiripkan atau bahkan lebih parah dibandingkan Bhisma. Sebagai karyawan, boleh jadi kita diminta untuk mengurangi pajak dari seharusnya. Atau menjadi saksi kebohongan perusahaan atau pimpinan. Sebagai wirausaha, mungkin kita juga terlibat dalam sebuah konspirasi jahat agar sebuah proyek diberikan pada kita. Yang pada akhirnya kita seperti memakan buah similikithi. Namun, pasti ada satu sisi kebenaran yang sebenarnya kita mengetahuinya. Disitulah ujian sesungguhnya. Ada pilihan yang pasti membawa suatu akibat. Mungkin dipaksa mundur, mungkin dijauhi komunitas dan sebagainya. Dan bila harus memilih antara aku dan bekas pacarmu eh hahahaha..maaf maaf..
Bila harus memilih antara kebutuhan hidup atau sebuah idealisme, saya hanya meminta untuk membuat keputusan tanpa ada emosi. Itu saja. Alasan saya adalah emosi tidak akan pernah ada dijual di gerai minuman karena bukan jenis minuman wkwkwk…..
Emosi hanya akan membawa penyesalan. Keputusan matang tanpa emosi, sekalipun berakibat buruk tetap akan dinilai baik di hadapan Tuhan dan makhluk Tuhan. Cuma repotnya itu begini, kalau sudah mendapatkan hal buruk karena keputusan yang emosional lalu berkata : ini ujian dari Tuhan. Baiknya adalah segera memohon pada Tuhan untuk memperbaiki keadaan. Akan menjadi lebih buruk kalau sudah berkata : owalah Tuhan, kok menjadi begini, bukankah aku bla bla dan sejumlah alasan pembenaran diajukan plus nota protesnya juga dikirimkan agar dibaca Tuhan beserta makhlukNya. Yah, kalau belum tahu bentuk nota protesnya, itu bisa dilihat di status Facebook atau Twitter hahahaha…
“Duh, piye iki man?” tanya Kriwul sembari garuk kepala.
“Lha ya embuh cak!”
Salam hangat
4 comments
[…] sumber : Resi Bhisma […]
[…] sumber : Resi Bhisma […]
[…] Sumber Resi Bhisma […]
[…] Sumber Resi Bhisma […]