KEDUA PIHAK MEMBUAT SENJATA PUSAKA
Di dalam Kahyangan Suralaya, Batara Indra memerintahkan para jawata untuk membuat berbagai senjata pusaka demi menghadapi kekuatan Sri Maharaja Balya. Para jawata tersebut adalah anggota keluarga Batara Ramayadi dan Batara Anggajali yang berjumlah lima belas orang.
Kelima belas jawata pembuat senjata itu adalah Batara Ramayana, Batara Ramakandi, Batara Ramakandeya, Batara Isakandi, Batara Ramadewa, Batara Dewayana, Batara Widayana, Batara Kanditan, Batara Kandihawa, Batara Ramabada, Batara Janabada, Batara Indrabada, Batara Hirabada, Batara Amidabada, dan Batara Sekandrabada.
Mendengar hal itu, Patih Siwandakara segera menyusup ke Gunung Mahameru dan memasang tumbal penolak balak untuk menarik kekuatan gaib senjata-senjata pusaka buatan lima belas jawata tersebut. Hal ini diketahui Batara Bayu yang datang ke Kahyangan Suralaya untuk membantu Batara Indra. Ia pun mengirimkan angin topan yang menghempaskan Patih Siwandakara beserta para pengikutnya hingga kembali ke Kerajaan Medang Siwanda.
Patih Siwandakara segera melapor kepada Sri Maharaja Balya mengenai usaha Batara Indra yang memerintahkan para empu jawata membuat senjata pusaka. Untuk mengimbangi hal itu, Sri Maharaja Balya pun memerintahkan menantunya yang bernama Batara Wiswakadi untuk membuat senjata pusaka pula. Batara Wiswakadi segera melaksanakan perintah tersebut bersama sepupunya yang bernama Batara Wiswakarma.
UNDANGAN DUA JIN WANITA DARI LAUTAN
Pada suatu hari datang dua orang jin wanita bersaudara dari Kerajaan Madyasamodra, bernama Ratu Adiyana dan Patih Adiyati. Mereka menghadap Sri Maharaja Balya di Kerajaan Medang Siwanda untuk mendapatkan pelajaran Agama Kala. Sri Maharaja Balya menerima kedatangan mereka dengan senang hati dan memenuhi apa yang mereka inginkan.
Setelah menamatkan pelajaran dan memperoleh segala ilmu pengetahuan, Ratu Adiyana dan Patih Adiyati pun mengundang Sri Maharaja Balya dan Patih Siwandakara untuk mengajarkan Agama Kala kepada rakyat di negeri mereka. Permintaan itu disetujui. Mereka lalu berangkat bersama-sama pergi ke Kerajaan Madyasamodra yang terletak di tengah lautan.
Para penduduk jin di Kerajaan Madyasamodra menyambut baik pelajaran Agama Kala yang disampaikan Sri Maharaja Balya dan Patih Siwandakara. Kemudian Sri Maharaja Balya menikahi Ratu Adiyana, sedangkan Patih Siwandakara menikahi Patih Adiyati. Mereka pun hidup bersenang-senang di Kerajaan Madyasamodra sampai waktu yang cukup lama.
Setelah enam tahun berlalu, Sri Maharaja Balya dan Patih Siwandakara baru sadar kalau mereka sudah begitu lama tinggal di Kerajaan Madyasamodra, sehingga lupa pada kewajiban di Kerajaan Medang Siwanda. Keduanya pun memutuskan untuk kembali ke Kerajaan Medang Siwanda, demi melanjutkan rencana menyerang Kahyangan Suralaya yang sudah tertunda sekian lama. Ratu Adiyana dan Patih Adiyati menyatakan siap membantu, dan mereka pun membawa serta pasukan jin Madyasamodra untuk menambah kekuatan pihak Medang Siwanda.
SRI MAHARAJA BALYA KALAH PERANG
Batara Guru di Kahyangan Jonggringsalaka memerintahkan Batara Brahma dan Batara Wisnu untuk membantu Batara Indra menghadapi angkara murka Sri Maharaja Balya dan Patih Siwandakara. Batara Wisnu lalu mengubah wujudnya menjadi seorang cebol bernama Jaka Wamana, sedangkan Batara Brahma mengubah wujudnya menjadi seekor banteng sakti bertubuh besar.
Jaka Wamana menggiring si banteng besar menghadang rombongan Sri Maharaja Balya yang sedang dalam perjalanan pulang menuju Kerajaan Medang Siwanda. Sri Maharaja Balya terkejut dan menanyakan asal-usul serta tujuan orang cebol itu yang berani menghadang perjalanannya. Jaka Wamana menjawab bahwa ia telah turun dari langit untuk menghukum keserakahan Sri Maharaja Balya.
Sri Maharaja Balya mengejek Jaka Wamana yang bertubuh cebol, tidak mungkin memiliki cukup kesaktian untuk melawan seorang maharaja. Jaka Wamana menjawab bahwa kesaktian itu hanyalah kehendak Tuhan Yang Mahakuasa. Sri Maharaja Balya tersinggung dan memperkenalkan bahwa dirinya adalah orang yang hendak dihukum Jaka Wamana itu. Jaka Wamana dan si banteng besar segera menantang Sri Maharaja Balya dan Patih Siwandakara berkelahi. Tantangan itu diterima, dan terjadilah pertempuran di antara mereka.
Sri Maharaja Balya mengerahkan segenap kekuatan, namun tidak mampu menandingi kesaktian Jaka Wamana. Begitu pula dengan Patih Siwandakara juga tidak mampu mengalahkan banteng besar yang dihadapinya. Akhirnya, Sri Maharaja Balya dan Patih Siwandakara pun mengubah wujud masing-masing menjadi raksasa sebesar gunung. Anehnya, Jaka Wamana juga mampu mengubah wujudnya menjadi raksasa yang jauh lebih besar lagi. Kakinya amblas ke dasar bumi, sedangkan kepalanya melebihi tingginya tujuh lapis angkasa. Bahkan, tangannya mampu meraih bebatuan meteor yang melayang-layang di luar angkasa.
Sementara itu, si banteng besar juga telah mengubah wujudnya menjadi gunung api yang berkobar-kobar membakar segalanya. Sri Maharaja Balya dan Patih Siwandakara tidak kuat menghadapi hawa panas yang membara, ditambah dengan hujan batu meteor yang dilemparkan raksasa penjelmaan Jaka Wamana. Akhirnya, mereka tidak kuat menahan sakit dan menyerah kalah.
Sri Maharja Balya menyadari kesalahan dan keserakahannya. Ia kembali ke wujud Batara Siwa dan pulang ke Tanah Hindustan menghadap Batara Guru. Sementara itu, Patih Siwandakara kembali ke wujud Batara Kala dengan perasaan sangat kecewa dan dendam kesumat. Ia memilih pulang ke tempat tinggalnya di Pulau Nusakambangan untuk kembali bertapa demi menambah kesaktian.
BATARA BRAHMA MENJADI RAJA MEDANG SIWANDA
Ratu Adiyana dan Patih Adiyati berlutut memohon ampun di hadapan Jaka Wamana dan si banteng api, begitu pula dengan para pengikut Sri Maharaja Balya yang lain. Jaka Wamana lalu kembali ke wujud Batara Wisnu, sedangkan si banteng api kembali ke wujud Batara Brahma. Mereka memberikan pengampunan pada dua jin wanita itu, serta menerima pengabdian para pengikut Sri Maharaja Balya yang terdiri dari berbagai golongan.
Batara Brahma dan Batara Wisnu kemudian berbagi tugas menangani para pengikut Sri Maharaja Balya tersebut. Batara Brahma bertugas memimpin para pengikut yang berwujud makhluk kasar, yaitu bangsa manusia, raksasa, dan binatang; sedangkan Batara Wisnu memimpin pengikut yang berwujud makhluk halus, yaitu bangsa jin, siluman, peri, dan gandarwa.
Batara Brahma kemudian menduduki takhta Kerajaan Medang Siwanda dengan bergelar Sri Maharaja Budawaka, serta menikahi Dewi Adiyana sebagai permaisuri. Sementara itu, Batara Wisnu menikahi Dewi Adiyati dan masuk ke alam sunyaruri untuk menjadi pemimpin di sana. (Tamat)