“Hey, nDur!” teriak Petruk. “Bukan aku yang mimpi, tapi Raden Lesmana yang sulit. Wong Raden Lesmana belum pernah bertemu Dewi Prantawati. Mungkin bermimpi pun dia belum. Dibandingkan dengan gerakan satu orang dungu, maka satu langkah Petruk lebih maju.”
“Apa artinya selangkah maju jika dibandingkan keadaan dirimu?”
“Lha ini..ini yang aku tak suka. Kalian dapat menunggu, bersabarlah bersama waktu. Dewi Prantawati akan bergandeng tangan denganku. Percayalah!”
“Tangkap!” Perintah Arya Sengkuni dengan marah.
Bala Kurawa berloncatan maju, mengepung Petruk dari segenap penjuru. Namun Rande Antareja dan Raden Gatutkaca melesat maju, membentengi Petruk dari orang-orang yang ingin menangkapnya.
Pertempuran yang tidak seimbang pun meletus.
Raden Antareja bersilat tangan kosong tetapi tidak dapat diremehkan. Sepasang lengannya sekuat baja berayun, memukul dan menghantam lawan-lawannya begitu tangguh. Gerak dasar yang dilakukannya benar-benar menjadi ujian berat bagi Kurawa. Putra Werkudara ini belum memandang perlu untuk menghentak kemampuannya lebih tinggi. Namun demikian, nyatalah bagi keponakan Arya Sengkuni bahwa Raden Antareja sungguh-sungguh telah menghempas mereka seperti dedaunan kering.
Tidak jauh berbeda dengan keadaan Raden Antareja, Gatutkaca pun seolah hanya bermain-main di tengah kelebat pengeroyoknya yang berkemampuan tidak biasa. Satu demi satu lawan Gatutkaca terpental, terpental dan jauh terpental lalu kembali mendekati lingkaran dengan kaki tersaruk.
“Kalian ini..!” Prabu Baladewa sangat gusar hingga tak melanjutkan kata-kata. Ia melabrak dua pemuda yang terhitung sebagai cucu muridnya. Pada masa lalu, Werkudara pernah berguru padanya. Kedahsyatan ilmu yang terkandung dalam diri dua pemuda itu pun luruh oleh rasa hormat. Kemudian mereka bergeser tempat, meminta Petruk membuka kelapangan hati karena berdua tidak dapat membantu sekuat daya. Prabu Baladewa menjadi sebab pada saat itu.
Petruk pun memilih mundur. Bukan karena segan ia menghindari Prabu Baladewa, tetapi kedudukannya sebagai tamu yang menghalangi keinginannya.
Petruk mundur untuk memenangkan hati Dewi Prantawati, dan ia juga mencari jalan agar Raden Lesmana gagal menikahi putri idamannya.
Petruk berlalu. Bersenandung pelan. Walau sedih berkubang dalam hatinya, Petruk tahu diri. Menyanyilah dan menyanyi sepanjang jalan yang seolah tak berujung pandang.
Mengundurkan diri
Jalan terbaik bagiku
Daripada hancur-lebur
Lebih baik mundur
Aku bukanlah hartawan
Dan juga bukan bangsawan
Aku orang biasa
Orang yang tak punya
(dikutip dan sedikit digubah dari lagu Rano Karno)
Petruk menembang sejauh derap kakinya yang kian jauh meninggalkan Dwarawati.
Di ambang pedukuhan yang terletak di batas luar kotaraja, Petruk melihat Gareng dan Bagong tengah bercanda untuk menghibur Raden Arjuna. Petruk menghampiri mereka. Bertegur sapa lalu mengambil tempat di antara mereka bertiga, Petruk tak lagi bermuram durja.
“Lho, Kakang Petruk, jadi benar yang selama ini telah aku dengar dari berita angin yang beredar,” Arjuna berkata untuk meyakinkan diri.
“Hamba, Kanjeng Raden.” Petruk mengangguk penuh hormat.
“Mengapa, Kakang? Apakah ada sesuatu kejadian yang menjadikan Kakang begitu gelisah dan galau hingga pergi seorang diri dari Karangdempel?”
“Hamba, Kanjeng Raden. Hamba datang ke Dwarawati untuk menikahi Dewi Prantawati.”
“Sebegitukah gerangan peristiwa yang membuat Kakang bergetar?”
“Adalah Prabu Kresna yang menjanjikan itu kepada saya. Hanya saja, dan sayang sekali…” Petruk menghentikan kalimatnya.
Arjuna menunggu beberapa lama sambil menatap lekat pada wajah Petruk yang menggayut kelam.
“..sayangnya Prabu Kresna telah berbohong. Beliau tidak menepati janji yang dinyatakan belasan tahun yang lalu. Bila beliau memang lupa, hamba dapat mengerti dan menerima. Namun, beliau masih mengingatnya dan enggan bermantu seperti saya yang tak berharta dan bertahta.”
“Oh, begitukah? Saya ikut prihatin, Kakang,” ucap Arjuna dengan tangan kanan menekan bagian dada.
“Kanjeng Raden, apakah Jenengan berkenan menolong hamba untuk membantu Prabu Krena kembali teguh pada janji? Janji adalah hutang, Kanjeng Raden. Salah satu dari makhluk yang tiba-tiba dapat menghilang adalah orang yang berhutang. Apakah Kanjeng Raden dapat menerima bila tiba-tiba Prabu Kresna menghilang dari dunia wayang?”
Raden Arjuna menarik napas panjang, unutk sejenak ia membutuhkan waktu untuk memberi jawaban. Kemudian katanya, “Kakang Petruk, bukan masalah Kanda Prabu Kresna mendadak hilang dari perwayangan. Para tuan dalang dapat marah besar bila itu terjadi. Namun, Kakang, sebaiknya Kakang dapat mendengar suara hati.”
“Hati hamba berkata bahwa Dewi Prantawati adalah jodoh yang ditetapkan untuk hamba.”
“Kakang sebaiknya tidak meninggalkan kenyataan bahwa Kakang adalah jelata yang tak jelita. Persoalan Kakang adalah pemisah yang terlalu jauh serta mustahil direkatkan dengan perjodohan ataupun janji. Kakang, pantaskah seorang jelata yang tak jelita menagih janji pada raja yang derajatnya ditinggikan oleh raja-raja lainnya? Patutkah?”
“Bila raja dimaafkan atau diampuni karena ingkar janji, lalu di mana kemuliaan dan martabat seorang raja? Apakah jelata tetap bersikap teguh jika pemimpin mereka tidak dapat dipercaya? Andai para dewa ingkar janji, maka pemimpin tidak dapat meniru dewa-dewa. Kanjeng Raden, mohon tidak berbicara mbulet seperti Sengkuni.”
“Kakang Petruk!” bentak Arjuna tiba-tiba berdiri dengankeris telanjang. “Ancen angel tenan kowe dikandani. Angel wis angel tenan tuturanmu!”
Terperanjat Petruk! Ia mahfum bila keris telah keluar dan berkilat-kilat, maka Raden Arjuna telah mengancamnya dengan sungguh-sungguh.
Sekian kali Petruk kecewa. Kali in disebabkan tuannya yang tidak mendukung. Ia pun bergegas pergi meninggalkan tempat itu.
Kecewa kecewa hatiku
Kali ini oleh Arjuna
Kalau terbakar api
Kalau tertusuk duri mungkin
Masih dapat kutahan
Tapi ini sakit lebih sakit
Kecewa tanpa Arjuna
(Digubah dan dikutip dari Meggy Z))