Sang Maharani adalah kisah silat dengan peran utama seorang gadis yang hidup pada zaman Mataram Kuno di bawah pemerintahan Rakai Pangkaran.
Sang Maharani mengambil ruang tersendiri di dalam Padepokan Witasem karena cara penyajian atau gaya bahasa yang berbeda. Ada pewarnaan gaib atau mistis di dalam Sang Maharani, tentu, ini adalah hal baru jika dibandingkan dengan Pangeran Benawa, Bondan atau Toh Kuning.
Perjodohan untuk perluasan wilayah atau pertimbangan politis menjadi penghias rangkai gerbong dengan judul pembuka, Bulan Telanjang. Adu ilmu dan perang besar masih menjadi bagian pokok perjalanan hidup Dyah Murti, tokoh utama “Sang Maharani.”
Sinopsis
Penjelmaan kembali/reinkarnasi menjadi gagasan yang memenuhi hampir sepanjang kisah Sang Maharani.
Sang Maharani menjadi jalan lain untuk membicarakan masalah kesetaraan gender yang sebenarnya tidak menjadi masalah pada zaman Mataram Kuno.
Dyah Murti Hansa Gurunwangi adalah gadis yang tumbuh dan berkembang di alam pedesaan. Jauh dari keramaian tetapi sangat dekat dengan berita-berita penting yang terjadi pada seputar pemerintahan Rakai Panangkaran.
Pada masa kecilnya Dyah Murti sangat dekat dengan dua sesepuh lingkungannya. Salah seorang dari mereka adalah Han Rudhapaksa, kakeknya. Seorang lagi adalah Mpu Pali, seorang pengemban adat yang menyimpan sebangsal ilmu yang sulit diukur ketinggiannya. Dari mereka berdua, Dyah Murti mendapat banyak pengajaran yang sebenarnya tidak sesuai dengan usianya, tetapi kakeknya dan Mpu Pali menganggap Dyah Murti sebagai gadis kecil yang istimewa.
Segalanya berlangsung biasa saja seperti kebanyakan orang-orang menjalani kehidupan pada masa itu hingga perjumpaannya dengan Dewi Rengganis. Disusul kemudian utusan Rakai Panangkaran datang di desa mereka. Pengajaran Dewi Rengganis sedikit mengubah sudut pandang Dyah Murti. Cara pandang anak gadis Rakai Panangkaran ini semakin luas ketika Rakai Panangkaran – melalui utusannya – mengabarkan bahwa dia telah memutuskan masa depan Dyah Murti. Ini menjadi titik balik yang sangat penting dan memengaruhi kehidupan Dyah Murti selanjutanya.
Perkelahian demi perkelahian, serta banyak kejadian janggal yang dialaminya tanpa sengaja. Meraga sukma, berjalan atau melihat peristiwa yang akan berlangsung pada masa depan seolah menjadi bagian hidupnya tanpa diminta.
Berturut-turut datang Kayu Merang, Poh Sangkara serta sejumlah orang yang memasuki wilayah kekuasan Rakai Panangkaran dengan berbagai kepentingan. Maka, benturan keras tidak dapat dihindarkan lagi. Permasalahan datang silih berganti dan cukup mengusik ketenangan Rakai Panangkaran yang telah menempatkan jiwanya pada suasana kedewataan.
Tidak ada orang di Mataram yang mempunyai rencana membelah negerinya sendiri, tetapi tekanan orang-orang asing sangat kuat. Demi keselamatan ayahnya dan Mataram, Dyah Murti memutuskan untuk turut serta dalam barisan perang. Dyah Murti bertempur dengan caranya sendiri. Dia memimpin pasukan di bawah tuntunan yang sulit dijangkau nalar. Dewi Rengganis hadir lagi dalam wujud Dyah Murti dengan cara yang tidak biasa. Dyah Murti – dengan kebijaksanaan yang belum waktunya ada di dalam dirinya – mendadak tampil di atas panggung pemerintahan dan mengejutkan banyak orang, termasuk Rakai Panangkaran.
“Pengakuan atas cinta tidak dapat dibatasi hasrat yang membara. Demikian pula dengan kesedihan dan derita. Cinta tidak menuntut akhir yang bahagia sehingga derita pun tidak wajib ditutup dengan nelangsa,” kata Dewi Rengganis.
Dyah Murti menentukan langkah-langkah Mataram selanjutnya dengan melandaskan pikirannya pada ajaran Han Rudhapaksa, Mpu Pali dan Dewi Rengganis.
Selamat berkarya, salam sejahtera untuk semua makhluk.
Rahayu memayuning bawana