Di lingkungan tempat tinggalnya, anak muda itu dikenal dengan nama Raden Cantel Wulung. Di media sosial maupun di lingkungan sekolah, dia memperkirakan diri sebagai B-Gum.
Pada hari itu, B-Gum berdiri mematung di atas gundukan tanah tinggi yang menghadap ke lembah. Bentangan sawah yang luas dan hijau menjadi lukisan alam yang hidup. Kontur tanah yang bergelombang seakan menampilkan tarian daun padi yang dinamis ketika ditiup angin pegunungan.
Di bawah kaki B-Gum, air sungai yang jernih mengalir dengan gemericik yang konstan. Kecipak air telaten membelah bebatuan dan mengaliri parit-parit kecil yang memberi napas pada setiap batang padi.
Itu semua adalah potret kemakmuran abadi. Itu adalah harmoni alam yang seolah tak akan dapat diusik penderitaan.
Namun, di tengah ketenangan itu, jemari B-Gum perlahan meraba gagang pedangnya dengan gelisah. Tatapannya yang semula lembut mengikuti aliran air, tiba-tiba menajam saat menyadari sesuatu pada garis batas air di tepian sungai. B-Gum tersentak oleh bayangan buruk yang tiba-tiba merayap masuk ke dalam benaknya.
“Musik datang bergiliran. Roda nasib pun terus berputar. Apakah aku sedang melihat sesuatu yang rapuh?” B-Gum bertanya dalam hati.
Meski air masih melimpah, B-Gum sadar bahwa itu bernilai sementara. “Semua ini hanyalah ilusi yang rapuh,” alam sedang membisikkan peringatan rahasia melalui hembusan angin yang terasa lebih kering dari biasanya. B-Gum pun terkenang peristiwa besar pada masa lampau yang terpahat abadi di dalam kitab suci ; kesuburan ini akan tiba berada di ambang batas terakhirnya sebelum perubahan besar terjadi.
Dalam benaknya, bayangan hijau itu mendadak luntur dan berganti dengan fatamorgana yang mengerikan. Dia seolah melihat tanah-tanah persawahan itu mulai retak menganga, membentuk rekahan-rekahan haus yang tak lagi mampu menyerap kehidupan. Sungai yang tadinya riuh dengan suara air, berubah menjadi hamparan batu kali yang panas dan kering kerontang. Bayangan tentang musim kemarau panjang yang brutal kini memenuhi pandangannya; sebuah masa di mana langit tak lagi menjatuhkan setetes pun harapan, dan negerinya akan dipaksa berlutut menghadapi bencana kelaparan yang sangat panjang. Kabar bencana pun kerap mendatang surat kabar, televisi bahkan konten-konten para artis karbitan.
“Pahatan candi dan ayat-ayat suci mungkin akan kembali,” ucapnya dalam hati.
Kesadaran itu menghantam dadanya dengan keras. B-Gum mengerti bahwa sebagai pelindung, dia tidak boleh hanya terlena pada kecukupan saat ini. Tanaman padi yang manja akan layu saat air berhenti mengalir.
Apakah dia harus pergi menemui gurunya? Apakah dia harus terlebih dulu menggali perpustakaan untuk memulai pencarian benih yang hilang?
Bisa jadi, sekarang adalah saat untuk memperkenalkan kembali kekuatan sorgum — si tanaman kuno yang mampu bertahan di tanah paling gersang sekalipun.
Dengan wajah yang lurus menatap cakrawala, pancaran tekadnya menjangkau semesta. Dia harus bekerja sebelum matahari membakar habis segala harapan di tanah kelahirannya.
