Bab 7 - Bara di Bukit Menoreh

Bara di Bukit Menoreh 69 – Pertarungan Maut : Amuk Swandaru

Gejolak perasaan Swandaru pun akhirnya tiba di ujung batas. Ayunan cambuk kakak kandung Sekar Mirah ini semakin mengerikan. Dia melompat tinggi, melampaui kepala para pengeroyoknya. Ketika kakinya menyentuh tanah, seperti amuk prahara, dia menyerang Ki Malawi.

Tiba-tiba pertarungan yang sangat seru terjadi! Begitu cepat dan seperti kilat, Swandaru dan Ki Malawi telah saling membelit. Cukup menarik karena  mereka sama-sama menggunakan senjata yang lentur dan berujung tajam. Meski sempat tersentak karena Swandaru yang tiba-tiba mampu keluar dari kepungan, Ki Malawi dapat menjaga keseimbangan dirinya. Setiap serangan Swandaru dibalas pula dengan serangan yang berkekuatan sama olehnya.

Pertarungan itu seakan-akan dapat memberi gambaran hasil akhir.

Dalam waktu sekejap, mereka berdua telah sama-sama menerima goresan pada permukaan kulit. Kain yang mereka pakai pun sama-sama mulai terkoyak. Tapi dua orang itu terlihat tidak peduli dengan luka-luka yang diterima. Barangkali perasaan mereka sudah penuh dengan satu tujuan ; habisi musuh secepatnya!

Sebenarnyalah mereka sudah sama-sama tidak mempunyai pilihan lain. Bagi Swandaru, menyerang secara terus menerus adalah cara terbaik mengulur waktu agar pengawal kademangan dapat bertahan – setidaknya sampai datang bantuan. Sementara Ki Malawi beranggapan, menyerang adalah kematian yang dipercepat. Entah yang terbunuh adalah dirinya atau Swandaru, tapi menyerang adalah pilihan utama.

Orang ini, Ki Malawi, sudah mengetahui pergerakan kubu kademangan. “Aku sudah terkepung. Tidak ada jalan keselamatan lagi,” katanya dalam hati. Lalu dia membulatkan tekad untuk bertarung hingga ada yang terbunuh dari mereka. Oleh sebab itu, Ki Malawi bertempur dengan pengerahan penuh seluruh kemampuan dan kekuatan yang tersisa hingga ujung rantainya pun dapat mengeluarkan bunyi ledakan dengan nada yang sama sekali berbeda dari lecut cambuk Swandaru. Gelanggang pertarungan itu telah berubah menjadi adu kekuatan raksasa dari dua orang yang mungkin berada pada tingkat yang sama. Dengan demikian, hamburan tenaga raksasa dapat dirasakan di sekeliling lingkar perkelahian.

Para pengeroyok Swandaru segera menepi, begitu pula para pengawal kademangan. Mereka sadar ada bahaya yang mengincar dari tepi gelanggang pertarungan. Sambaran angin dari dua senjata lentur itu dapat berakibat buruk bila mereka terlampau dekat. Dua kubu – yang sebelumnya saling berusaha membunuh – kemudian berdiri mengelilingi gelanggang dalam cengkeram pemandangan yang mengerikan sekaligus mengagumkan itu! Mereka seolah lupa dengan pertarungan sebelumnya. Mereka mematung dan beku. Mereka terpesona dengan pagelaran maut yang berlangsung dengan sangat hebat!

Kadang-kadang bunyi ledakan cambuk dan rantai terdengar beruntun, kemudian berkurang lalu menghentak lagi dalam jarak yang tidak begitu rapat. Baik ujung cambuk Swandaru maupun rantai Ki Malawi sama-sama melontarkan tenaga cadangan sehingga menjadikan permukaan tanah pertempuran menjadi banyak berlubang. Perkelahian itu pun semakin lama menjadi semakin hebat. Mereka masih tampak seimbang meski letih mulai mendera.

Barangkali yang membedakan dari mereka berdua adalah alasan yang melatari perkelahian. Dari kedudukannya sebagai pemimpin kademangan yang disegani hampir di seluruh tlatah Mataram lalu menjadi tahanan rumah, itu sudah tentu menodai harga diri Swandaru. Dengan keadaan itu sebagai alasan, Swandaru merasa bahwa Watu Sumping menjadi tempat yang tepat untuk membuktikan kesetiaan pada Mataram. Selain itu, menyalahkan Pangeran Purbaya atas hukuman yang diterima itu menjadi sesuatu yang mustahil dilakukan, maka menantang pemimpin pemberontak menjadi jalan untuk tampil sebagai pembeda. Swandaru bahkan memancang tekad kuat bila dia memenangi pertarungan, laskar induk Ki Garu Wesi sudah diincarnya sebagai sasaran kemudian.

Demi alasan dan tujuannya itu, Swandaru makin merapatkan serangan. Tangannya bergerak memainkan cambuk dengan kecepatan yang sulit dinalar. Cambuknya menggaung dan mulai jarang meledak-ledak. Benar, Swandaru menapak setingkat lebih tinggi dari seluruh ilmu yang disadapnya dari Kyai Gringsing.

Dari tempat lain, perkembangan pertarungan Swandaru tak luput dari pengamatan Agung Sedayu. Menurut penilaiannya, adik seperguruannya itu tidak akan mudah dikalahkan tapi juga sangat sulit meraih kemenangan. Apakah dia harus turun tangan? Pertanyaan yang muncul dalam hatinya pun tidak segera terjawab saat senapati Mataram ini melihat pergerakan dari arah yang lain. Agung  Sedayu mengangguk pelan seakan mengerti siasat yang dikembangkan oleh Pandan Wangi. Beberapa kelompok terlihat merayap demi mencapai gelanggang perkelahian Swandaru lalu berhenti dalam jangkauan yang cukup. Dua kelompok melewati garis belakang barisan pertama kemudian berhenti pada jalur Tanah Perdikan. “Pangeran Selarong menjadi pelapis akhir bila Sabungsari gagal menghadang orang-orang yang melarikan diri ke Menoreh,” ucap Agung Sedayu  dalam hati. Tapi yang paling dia tunggu ternyata belum memberikan tanda. Hingga pada batas waktu itu, dia belum mendengar gaung sendaren dari Sukra yang menandakan anak itu telah bertemu dengan Kinasih untuk tugas baru.

Di dalam lingkar pertarungannya, Ki Malawi masih bertempur sekuat tenaga. Dia juga sudah menjejakkan kemampuan setingkat lebih tinggi lagi. Tapi dia tidak lagi dapat membawa korban baru ketika orang-orang semakin jauh dari pertarungannya. Hanya Swandaru saja yang paling dekat dengannya, maka itulah satu-satunya mangsa dalam pandangannya.

Ujung cambuk Swandaru saling membelit dengan trisula kecil yang menjadi ujung senjata Ki Malawi. Mereka terikat dengan cara yang tidak dapat dimengerti. Dua orang itu saling berusaha melepaskan belitan tapi mereka pula menemui jalan buntu. Perkelahian bergeser semakin mendebarkan saat berlangsung lebih dekat. Mereka bertukar pukulan dan tendangan sementara ujung senjata masing-masing masih tidak dapat dilepaskan!

Ketika tangan mereka berbenturan, tubuh mereka tampak bergetar lalu sedikit terpental. Ketika tendangan mereka bertabrakan, tubuh mereka sama terayun. Itu gambaran nyata betapa mereka berada pada tataran yang sama!

Yang terhormat Pembaca Setia Blog Padepokan Witasem.

Kami mengajak Panjenengan utk menjadi pelanggan yang lebih dulu dapat membaca wedaran Kitab Kyai Gringsing serta kisah silat lainnya dari Padepokan Witasem. Untuk mendapatkan kelebihan itu, Panjenengan akan mendapatkan bonus tambahan ;

Kitab Kyai Gringsing (3 Jilid PDF) dan Penaklukan Panarukan serta Bara di Bukit Menoreh (KKG jilid 4) bila sudah selesai. Caranya? Berkenan secara sukarela memberi kontribusi dengan nilai minimal Rp 25 rb/bulan melalui transfer keBCA 822 05 22297 atau BRI 31350 102162 4530 atas nama Roni Dwi Risdianto. Konfirmasi transfer mohon dikirimkan ke WA 081357609831

Tanya Jawab ; T ; Bagaimana jika Kitab Kyai Gringsing Buku ke-4 sudah selesai? Apakah akan ada kelanjutannya?

J ; Kami selalu berusaha memberikan yang terbaik demi keberlangsungan kisah..

Demikian pemberitahuan. Terima kasih.

Saat melihat sepak terjang Swandaru sewaktu masih terkepung, Ki Malawi sudah menduga kekuatan yang tersimpan di dalam diri musuhnya itu. Sekarang dia  dapat meraba bahwa lawannya nyaris terpuruk karena sebab yang tidak diketahuinya. Keberanian Ki Malawi meningkat tajam seiring dengan tekadnya untuk bertarung habis-habisan. Orang ini makin gencar menyerang Swandaru dalam jarak yang semakin dekat. Ki Malawi seolah tidak peduli dengan pertahanannya sendiri. Serangannya membabi buta dan semakin berbahaya.

Pada jalur Tanah Perdikan, tanpa mengabaikan kesiagaan, Pangeran Selarong berjalan menghampiri Sabungsari yang berdiri agak jauh di depan barisannya.

“Ki Lurah,” kata Pangeran Selarong. “Apakah tidak lebih baik kita bergerak menengahi perkelahian itu?”

Sabungsari mengerutkan kening. Ini adalah pertanyaan yang cukup janggal yang dilontarkan oleh seorang pangeran, pikir Sabungsari. Walau begitu, lurah muda Mataram tersebut menjawabnya dengan bijak, “Pangeran, bila pertimbangan itu berdasarkan bahwa kita telah menguasai keadaan, ya, sewajarnya, memang dapat diterima untuk menghindari pertumpahan darah.”

Pangeran Selarong bertanya lagi setelah Sabungsari ternyata tidak meneruskan ucapannya. “Lalu, apa yang menjadikannya tidak wajar?”

Sabungsari mengangguk, kemudian berkata, “Ki Swandaru turun tangan dalam kedudukannya sebagai tahanan atas putusan Pangeran Purbaya. Itulah yang menjadikannya tidak wajar.”

Kisah Terkait

Bara di Bukit Menoreh 61 – Pukulan Pertama Agung Sedayu

kibanjarasman

Bara di Bukit Menoreh 49 – Perbantahan Singkat antara Agung Sedayu dengan Pangeran Selarong

kibanjarasman

Bara di Bukit Menoreh 27 – Menguak Kecurigaan Kepatihan sebagai Persinggahan Pemberontak

kibanjarasman

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.