Adalah keberuntungan bagi Sukra yang melihat pergerakan Ki Patih Mandaraka secepat bayangan. Pengawal Menoreh yang mendadak mampu melihat dengan penerangan yang terbatas itu bertanya-tanya dalam hati, “Siapa gerangan yang melintasi tanaman perdu dengan kecepatan tinggi? Kawan atau lawan?” Lamat-lamat ia mendengar suara burung kedasih dengan nada yang sangat dikenalnya. Ya, tidak banyak orang yang tahu irama sandi yang berlaku di kalangan prajurit Mataram yang berhubungan dengan Tanah Perdikan Menoreh. Setiap wilayah mempunyai nada yang berlainan, dan lebih baik lagi adalah hanya Sukra seorang yang mengenal senandung rahasia itu.
“Ki Patih,” desis Sukra dalam hati.
Sukra meloncat mundur, ke samping kiri dan kanan bergantian, melangkah menyilang, maju dan mundur, mengikuti petunjuk yang diberikan oleh Ki Patih Mandaraka melalui gelombang suara jarak jauh. Namun itu bukan gerakan untuk menghindari serangan empat atau lima orang yang mengeroyoknya! Ki Patih sengaja mengacaukan susunan gelar lawan dengan memerintahkan Sukra bergerak dalam bidang segi lima. Ki Patih mengetrapkan gelar Cakra Byuha dalam bentuk paling sederhana dan mudah dijalankan oleh anak muda dari Menoreh itu. Demikianlah, kemudian kepungan lawan lambat laun mulai terurai dan Sukra tetap bertarung dengan tandang terbaik. Ketajaman nalar dan kematangan siasat yang dibangun dalam waktu singkat, tanpa disadari oleh lawan-lawan Sukra, ternyata bergeser semakin dekat dengan lingkar perkelahian Ki Demang Brumbung.
Dalam waktu itu, dalam waktu beberapa kejapan mata, Sukra dapat melihat bahwa Ki Demang Brumbung mengalami kepayahan yang sangat sulit diungkap kata-kata. Kain Ki Demang telah terbuka dan robek di banyak tempat. Darah kering telah bercampur dengan debu dan keringat, meski demikian, sorot mata Ki Demang Brumbung tetap memancarkan kekuatan dan semangat yang sangat hebat.
Meledaklah seisi dada Sukra! Bagaimana ia dapat bertahan dalam kedudukannya sementara Ki Demang Brumbung berada di bawah ancaman taring tajam anjing-anjing liar?
Sukra meninggalkan gelanggang perkelahiannya, lalu menerjang kerumunan orang-orang yang mengeroyok Ki Demang Brrumbung. Sepasang anak panah di tangannya mendadak berubah menjadi senjata yang menakutkan. Sukra telah lupa diri setelah menerima pesan Ki Patih Mandaraka sebelum ia melabrak garis belakang gelar Parang Barong dengan sangat hebat. Pergerakan Sukra terlalu cepat untuk diikuti oleh pengeroyoknya, meski demikian orang-orang berusaha mengejar dan mencegahnya memasuki gelanggang pembantaian Ki Demang Brumbung. Namun malang, nasib anak buah Raden Atmandaru terbentur tembok kokoh yang mengambil wujud dalam diri seseorang yang dahulu terkenal dengan sebutan Ki Juru Martani.
“Lepaskan anak itu, dan biarkan ia menuruti keliaran yang memuncak,” kata Ki Patih Mandaraka dengan nada yang mewah.
Liar, buas dan sanggup menciutkan nyali setiap orang yang memandang adalah puncak kesimpulan bagi orang yang mengamati tandang Sukra sejak awal. Senjata-senjata lawan terpental ketika membentur sepasang anak panah Sukra. Ki Demang Brumbung tercekat dan tidak sanggup berkata agar Sukra tidak mencampuri pertarungannya, tetapi hanya sinar matanya saja yang berbicara. Kekhawatiran yang sempat hinggap dalam hati Ki Demang sekonyong-konyong pergi seperti pencuri yang terpergok ketika akan menjalankan niatnya. Kecemasan Ki Demang tentang keselamatan Sukra mendadak mental seperti senjata-senjata yang sedang berdesing di sekitarnya. Kesempatan yang sangat baik untuk menarik diri sejenak agar ketahanan tubuh mempunyai jeda untuk pemulihan.
Pada waktu itu, seorang lawan mengincar arah mundur Ki Demang dan ia tidak sadar bahwa tata gerak Sukra sangat sulit diukur dan diperkirakan. Maka ketika ia mengalihkan langkah, ujung anak panah Sukra sudah menanti tepat dua jari di bawah tulang rusuknya, tumit Sukra mendarat pula pada permukaan dadanya. Satu orang menyusul roboh.
Gelap semakin kelam dan pekat. Sepasang anak panah Sukra tanpa henti mengeluarkan suara berdecit. Sepenuh tenaga dan sepuncak perhatian tercurah seluruhnya pada perkelahian yang kini berubah seluruhnya. Ki Demang Brumbung telah lepas dari kungkungan jari-jari maut, seketika terjadi lonjakan tenaga di dalam dirinya. Walau pun belum dapat dianggap cukup untuk mengimbangi geliat Sukra, tetapi Ki Demang mampu menerjang lawan-lawannya seperti seekor banteng terluka. Cairan berwarna merah bercipratan, berjatuhan seperti gerimis di musim kemarau, meski jarang tapi mampu membuat cemas seluruh pengeroyoknya.
Tandang Sukra seolah menjadi satu daya yang berkekuatan sangat besar, dan itu dirasakan oleh Ki Demang Brumbung dan Ki Plaosan. Barangkali, ini adalah untuk pertama kali mereka berpasangan dengan seorang pengawal yang memiliki kekuatan cadas.
Semangat orang-orang – yang sebelumnya mengepung Sukra – mendadak pecah berantakan. Melihat Ki Patih Mandaraka berdiri mentereng ketika menutup usaha mereka memburu Sukra, sekelompok orang itu segera memutar arah. Percuma mengeroyok Ki Juru Martani meski seorang diri, itu sama dengan membenturkan kepala pada tebing kokoh Merapi. Mereka ingin melarikan diri. Namun Ki Patih Mandaraka mengangkat sebelah lengan, empat orang terayun lalu terlempar, kemudian lumpuh sebelum dapat memalingkan muka.
Sambil menarik napas lega karena sudah menghindarkan tangan berbasah darah, Ki Patih Mandaraka memutar tubuh, menghadap pada arah tiga lingkar perkelahian yang masih tarik-menarik sangat kuat. Dalam waktu itu, Ki Patih berucap syukur sewaktu melihat keadaan Ki Demang Brumbung yang mampu kembali pada jalurnya, tangguh dan gagah berani. Sejumlah orang telah terkapar dan sebagian berlari sipat kuping. Menurut perkiraan Ki Patih Mandaraka, perkelahian pasangan Sukra dan Ki Demang Brumbung tidak akan berlangsung lebih lama dari Ki Plaosan.
Ki Patih Mandaraka bersiaga. Banyak pengikut Raden Atmandaru yang dibiarkannya pergi meninggalkan medan perkelahian. Itu penting agar Raden Atmandaru tahu kekuatan Mataram yang tidak berada di sekitar Panembahan Hanykrawati dan Kepatihan. Namun tidak ada kata lolos bagi Ki Panji Secamerti. Berbahaya bila membiarkan orang itu tetap berkeliaran atau berhubungan dengan pengikut makar lainnya.
Sama halnya dengan Ki Patih Mandaraka, Ki Plaosan bertekad bulat tidak akan memberi kelonggaran bagi orang yang pernah menjadi atasannya. Keputusan hatinya sudah bulat meski untuk membunuh Ki Panji Secamerti bukan keinginan sesungguhnya.
Gelanggang pertarungan Ki Plaosan cukup sulit didekati. Ki Panji Secamerti mencoba banyak cara untuk menekan musuhnya. Ia memadukan unsur-unsur gerak kanuragan yang diajarkan di keprajuritan dengan tenaga cadangan yang luwes berubah sifat. Ini adalah cara yang sangat keras dan nyaris tidak memberi ruang untuk ampunan bagi lawannya. Secuil kelengahan Ki Plaosan akan berakibat mengerikan. Meski tata gerak itu lazim diketahui oleh para prajurit Mataram, tetapi tenaga cadangan Ki Panji tidak bakal membuat perkenalan. Ki Palosan mudah membaca dan membuat terkaan, hanya saja yang menjadi lawannya adalah seorang panji yang mumpuni. Kebuasan atau hasrat yang terpendam dalam hati Ki Panji pun mendapatkan jalan untuk menghamburkan diri. Semakin sering ia membuat perkiraan dan tepat, semakin sengit Ki Panji membenturkan tenaga.
Udara yang meliputi arena perkelahian mereka terus-menerus berubah-ubah sifat. Ketika lontaran tenaga mampu mendorong udara untuk berputar, maka kadang tercipta angin yang sanggup memotong pangkal pohon. Tak jarang tiba-tiba beralih menjadi udara dingin yang mampu meretakkan tulang-tulang.
Dua batang keris saling sikat di udara ketika masing-masing telah diloloskan oleh pemiliknya. Ki Plaosan cukup sadar diri bahwa senjata Ki Panji Secamerti berkemampuan tidak terduga, meski belum sebanding dengan Kiai Plered. Sebaliknya, keris Ki Plaosan pun mengeluarkan hawa yang cukup menggiriskan hati Ki Panji Secamerti. Masing-masing dari mereka tampak berhati-hati. Tekanan perkelahian tidak lagi seramai sebelumnya yang banyak terjadi benturan-benturan kaki dan tangan. Pertarungan Ki Plaosan melawan Ki Panji Secamerti beralih suasana. Keris yang berada di tangan mereka sanggup memecahkan batu sebesar kerbau dari jarak yang cukup jauh. Mereka kini lebih berhati-hati dan bergerak lebih lambat dibandingkan perkelahian tangan kosong.
Ki Plaosan tahu bahwa Ki Panji Secamerti akan menempuh jalan bahaya dengan sepasang senjata di tangannya. Begitu pula Ki Panji yang sudah dapat menduga isi hati musuhnya ketika sebatang keris telah mengumbar sesuatu yang ganjil. Sebentar lagi tidak akan ada yang berloncatan ke segala tempat. Tidak akan ada lagi salah satu dari mereka yang berbuat bodoh.
4 comments
Masih bs mendapatkan serial merebut mataram seiral 58..fsr
stay tune ya ki..
Merebut mataram serial 58 sangat menarik dan menegangkan sehingga pingin terus mengikuti serial selanjutnya
matur nuwun, ki