“Angger Pangeran tidak pergi seorang diri,” ucap Nyi Ageng Banyak Patra setibanya di dalam ruangan dan bertegus sapa dengan dua orang yang ada sebelumnya. Ia menoleh pada Ki Patih, lantas berkata, “Saya akan menyertakan Sukra bersama Angger Pangeran.”
Pangeran Purbaya mengerutkan kening, bertanya dalam hati tentang nama yang belum dikenalnya. Ketika ia akan menggetarkan bibir, Ki Patih Mandaraka mengangkat tangan lalu katanya, “Pangeran, Sukra adalah seorang pengawal Tanah Perdikan. Ia akan menjadi penghubung kita, menyambungkan garis-garis kekuatan yang berada di Sangkal Putung, Pajang dan Mataram!”
“Pajang?” ulang Pangeran Purbaya.
“Ada alasan lain yang dapat membuatku sedikit memaksa Angger agar menerima usulan ini,” Nyi Ageng Banyak Patra melanjutkan ucapannya.
“Saya mendengarkan, Bibi.”
“Sebagai penghubung, Sukra pun akan menghimpun keterangan dan perkembangan sebanyak yang ia bisa kumpulkan. Untuk kepentingan itu, Bibi ingin Angger Pangeran mengajarinya cara menyamar, meleburkan jati diri di tengah-tengah sekumpulan orang yang akan dijumpainya.”
Dahi Pangeran Purbaya berkerut. “Bagaimana dengan kemampuan pribadi?”
“Bibimu melatihnya dengan tekanan tinggi selama beberapa hari terakhir,” jawab Ki Patih Mandaraka. “Sebelumnya, Sukra mendapatkan gemblengan dari Agung Sedayu dan juga Glagah Putih. Aku kira, dalam hal ini, kita tidak perlu merisaukan kemampuannya.”
“Oh, seperti itu ternyata,” kata Pangeran Purbaya menerima pendapat Ki Patih Mandaraka dan Nyi Ageng Banyak Patra. “Bibi, ada apakah dengan Pajang yang Bibi sebut sebagai kekuatan yang tidak terpisahkan dari Mataram?”
“Agung Sedayu,” jawab singkat Nyi Ageng Banyak Patra.
“Agung Sedayu,” lirih Pangeran Purbaya berucap, “apa yang terjadi sebenarnya?”
Nyi Ageng Banyak Patra lantas menuturkan kejadian demi kejadian secara ringkas namun begitu benderang dipahami oleh Pangeran Purbaya. “Bila demikian, sepertinya kita tidak lagi berada di bawah tekanan atau sedang menjadi bahan mainan oleh mereka, Eyang Patih.” kata Pangeran Purbaya kemudian, “meski Agung Sedayu terluka parah – seperti yang dijelaskan Bibi – saya kira ia akan tetap tegak dengan bantuan yang dapat diberikan pada kita.” Sejenak Pangeran Purbaya mencukupkan kata-kata, kemudian ia berguman, “Kita tidak boleh kalah dan larut dalam permainan orang semacam Raden Atmandaru.”
“Di Kepatihan, kita dapat bicara seperti itu. Tetapi, Ngger, kita harus ingat bahwa ia mempunyai orang yang berada di dalam lingkar tangan Wayah Panembahan. Adalah tugasmu yang utama untuk memilah kawan dan lawan di sekitar Panembahan Hanykrawati,” kata Ki Patih Mandaraka.
“Sementara waktu saya tinggalkan Mataram, dan saya telah meminta bantuan Ki Tumenggung Mandurareja untuk memulai pengawasan. Saya harap beliau dapat menguasai peta pikiran-pikiran yang berseberangan di sekitar Panembahan Hanykrawati. Kita akan terus mencari dan memisahkan orang demi orang.” Paras wajah Pangeran Purbaya menunjukkan ketegasan yang sepertinya sulit ditekuk seperti lipatan kain.
Lantas, mereka bertiga mengambil waktu untuk pembahasan siasat agar lebih matang. Menjelang senja, pertemuan usai, Pangeran Purbaya mendatangi bilik yang dulu pernah ditempati oleh Raden Rangga.
Di dalam bilik itulah Sukra diperintahkan oleh Nyi Banyak Patra untuk menunggu. Sehari penuh, selepas bentangan fajar yang memudar, Sukra duduk bersila, mengamati setiap gejolak perasaan, menyelami bisikan-bisikan hati, membangun ulang pengalaman-pengalaman yang pernah dilaluinya selama ini. Sinar benderang memenuhi ruang hati Sukra ketika ia menapaki petunjuk Nyi Banyak Patra setahap demi setahap. HIngga kemudian, segalanya berubah menjadi begitu sunyi.
Dalam keadaan itu, Sukra seolah terlepas dari ikatan waktu. Ia mencurahkan dan membiarkan semua yang bergolak mencari jalan untuk mencurahkan diri. Sekali waktu, Sukra melihat bayangan dirinya di bawah air terjun. Kadang-kadang ia merasakan benturan yang nyata ketika tampak pada kelopak matanya tubuhnya terlontar deras lalu membentur dinding cadas gunung yang tinggi. Peluh membasahi kening dan punggung Sukra meski udara begitu dingin menusuk tulang. Demikianlah yang dirasakan Sukra yang begitu tekun dan seksama menjalankan petunjuk-petunjuk guru Kinasih.
Sejumlah hari sebelumnya, di bawah pengawasan Nyi Ageng Banyak Patra, Sukra menghabiskan waktu di dalam sanggar tertutup untuk menyempurnakan segala pengetahuan yang diperolehnya dari Agung Sedayu dan Glagah Putih. Bersimbah debu dan peluh, Sukra membuat gerakan-gerakan memukul di atas kepala, bergulingan dengan tusukan-tusukan yang berbahaya. Dua batang anak panah dan sebilah pedang menjadi senjata yang digunakan bergantian sesuai arahan Nyi Banyak Patra. Maka, ragam gerak Sukra menjadi semakin kaya, semakin sulit diterka dan tentunya, semakin dahsyat!
Olah pernapasan yang dipelajarinya dari Sekar Mirah tanpa sengaja pun tak lepas dari pengamatan Nyi Banyak Patra. Tenaga cadangan yang dilimpahkan oleh Ki Patih Mandaraka pun menjadi semakin mendekati batas kemampuan orang-orang pilih tanding. Mungkin, seandainya, Sukra berkelahi dengan salah seorang pembantu Raden Atmandaru, kata ‘kalah’ masih jauh darinya. Kurang dari sepekan atau nyaris sepekan penuh, Sukra berada di dalam ruangan dan jarang tergapai oleh sinar matahari. Bukan tanpa alasan Nyi Banyak Patra memilih latihan yang tersembuyi. Ia dan Ki Patih Mandaraka tidak ingin keberadaan Sukra diketahui oleh banyak orang. Mereka berdua sedang menyiapkan Sukra sebagai senjata rahasia dan sembilu yang menyayat jantung pengikut Raden Atmandaru. Sukra menjadi sosok yang berbeda walau kurang dari sepekan berada di bawah tempaan seorang empu tangguh, Nyi Ageng Banyak Patra. Besi yang teronggok di bawah dipan dan jarang digunakan, kini, telah menjelma menjadi senjata andalan.
Senja belum benar-benar berakhir sewaktu Sukra mendengar langkah kaki yang begitu ringan sedang mendekati ruangan yang ditempatinya. Pangeran Purbaya bukan orang yang biasa berjalan dengan segenap bobot tubuh. Ia adalah senapati tangguh yang begitu ringan ketika menjejakkan kaki, tetapi getarannya dapat diketahui Sukra. Peningkatan kemampuan yang sulit diterima nalar sehat! “Seseorang mendekat. Langkahnya begitu ringan dan bunyi itu, suara itu, sangat berlainan dengan langkah kaki pengawal atau orang-orang yang bekerja di Kepatihan. Orang itu sedang menuju ke sini. Siapa?” Sukra membatin.
“Sukra,” ucap Pangeran Purbaya dengan nada lembut. “Apakah engkau memberiku izin untuk masuk?”
“Aku? Ada orang yang menempatkanku seperti itu? Begitu tinggi? Siapakah aku?” Perasaan Sukra tercekat ketika mendengar suara dan nada yang membuatnya gugup. Seingatnya, orang biasa mengetuk pintu lalu menyebut nama yang berada di dalam ruangan, kemudian menunggu jawaban. Tetapi, orang ini? Meminta izin? Untuk beberapa waktu lamanya, Sukra tidak dapat mengeluarkan suara. Ia sangat gugup karena perlakuan orang yang belum dilihatnya.
“Sukra?” kembali suara di balik pintu itu menyebut nama Sukra dengan nada rendah.
“Aku seperti ayam yang dipaksa bertelur sebelum waktunya,” keluh Sukra dalam hati. Ia beranjak dengan lutut sedikit gemetar.
Pintu berderit pelan, Sukra melihat seorang lelaki yang berusia lebih tua dari Agung Sedayu dan mempunyai pancaran wibawa yang berbeda. Sukra melihat seorang lelaki yang berpakaian biasa tetapi menyimpan keagungan di balik yang terlihat oleh mata. Ia belum pernah melihat lelaki itu.
“Apakah engkau hanya memandangku saja tanpa ada izin masuk?”
“Oh, silahkan, silahkan masuk, Ki Sanak..ah..Tuan..,” ucap Sukra dengan rasa gugup yang luar biasa. Baru pertama kali ia merasakan hamparan wibawa yang lain dengan Ki Patih atau orang-orang yang dikenalnya. Hampir-hampir Sukra tak sanggup menatap wajah Pangeran Purbaya secara langsung.
“Di mana engkau dudukkan aku?” Pertanyaan yang sanggup membuat Sukra mati berdiri. Nyatanya, Sukra hanya mematung. Kembali Pangeran Purbaya mengulang pertanyaan, namun kali ini, Sukra mulai berusaha menguasai diri. Sedikit membungkuk, ibu jari Sukra mengarahkan Pangeran Purbaya pada bangku papan yang berukuran sedang.
“Terima kasih,” kata Pangeran Purbaya sambil menahan geli melihat gerak gerik Sukra yang canggung dan gagap.
Sukra berjalan dengan berjingkat kaki seolah tak ingin menimbulkan suara yang menambah kacau suasana hatinya. Ingin bertanya tentang diri lelaki yang berada di dekatnya, tetapi Sukra tak mampu. Ia lebih memilih menunggu lelaki itu memperkenalkan diri.
“Namamu Sukra? Benar?’ tanya Pangeran Purbaya.
“Benar, Tuan.”
“Dari mana asalmu?”
“Tanah Perdikan, Tuan. Tepatnya, Menoreh. Tanah Perdikan Menoreh, itu kebanyakan orang jika menyebut tempat tinggal kami.”
“Sedang apa kau di tempat ini?”
Benar-benar gugup Sukra dengan pertanyaan itu. Apakah ia salah ditempatkan atau ada sesuatu yang lain. Cukup lama ia berusaha mengendapkan diri, kemudian jawabnya, “Saya mendapat perintah Nyi Ageng untuk berdiam di sini, Tuan. Tidak ada lagi selain itu.”
Pangeran Purbaya kemudian berkisah mengenai bilik itu di masa lalu. Suasana sedikit mencair – bagi Sukra. Setidaknya ia mendapat kesempatan cukup untuk menata hati.
Usai berkisah tentang Raden Rangga, Pangeran Purbaya mengenalkan diri, “Orang biasa memanggilku Pangeran Purbaya.”
“Duh, Gusti. Inikah alasan mengapa aku merasa ambyar?” keluh Sukra. Betapa ia berjumpa dan mengenal orang-orang luar biasa dalam waktu singkat. Semuanya berlangsung secara mengejutkan dan sulit baginya untuk benar-benar dapat menguasai perasaan sejak menjauhi Slumpring. Berbagai peristiwa penting dan bahaya bergantian menjemput dirinya.
“Sukra,” kata Pangeran Purbaya dengan nada yang jauh berbeda dengan sebelumnya. Datar dan sangat tegas dan lebih tajam daripada udara dingin. “Engkau tentu telah mengerti bahaya yang mengintai Mataram. Engkau telah berjumpa dengan orang-orang yang ingin merebut Mataram dengan cara keras. Aku ingin mendengar suaramu tentang keadaan yang terjadi di sekitar kita. Katakan!”
“Apakah diizinkan bila saya bertutur dari awal?”
“Bila engkau anggap sebagai cara yang mudah.”
“Ki Gede Menoreh mengutus saya dan dua orang lain untuk mengamati keadaan Sangkal Putung.” Sukra mengawali penuturan, lalu melanjutkannya pada bagian-bagian yang dianggap penting.
“Dan, bagaimana sikapmu sekarang?” tanya Pangeran Purbaya seusai Sukra bertutur kisah.
“Tidak tahu, Pangeran.”
“Aku tidak mengerti maksudmu.”
“Saya tidak tahu harus bagaimana, Pangeran. Yang saya tahu adalah perintah Nyi Ageng agar saya mengemban tugas sebagai penghubung Ki Lurah Agung Sedayu dengan Mataram.”
“Selain itu?”
“Saya tidak tahu bila belum berjumpa dengan Ki Lurah.”
“Mengapa harus menunggu Ki Lurah?” cecar Pangeran Purbaya yang mengikuti kebiasaan Sukra dalam menyebut nama Agung Sedayu. Ia mengetahui kebiasaan itu dari Ki Patih Mandaraka dan Ki Demang Brumbung.
“Saya tidak tahu, Pangeran. Bagi saya, saya hanya wajib mengikuti perintah Ki Lurah, dan tidak lebih dari itu. Apabila Pangeran, dalem nyuwun duka ingkang ageng, berkehendak mengetahui bagaimana saya, biarlah Ki Lurah yang akan memberi jawaban. Saya benar-benar tidak tahu, Pangeran. Saya bersungguh-sungguh dengan ucapan saya. Mohon dimaafkan,” kata Sukra lirih.
Terbitlah keyakinan Pangeran Purbaya : di bawah siksaan, Sukra tidak akan membcoorkan rahasia Mataram seandainya ia tertangkap. Sedikit lama ia memandang Sukra, lalu Pangeran Purbaya bangkit dari duduknya kemudian berkata, “Berkemaslah. Sebentar lagi, engkau akan menemaniku ke Sangkal Putung.“
“Bukan ke Pajang?”
“Sangkal Putung. Pajang adalah tujuanmu yang ditetapkan oleh Nyi Ageng Banyak Patra. Namun, aku ingin mengenalmu lebih baik. Bergegaslah,” pungkas Pangeran Purbaya. Dengan isyarat tangan, ia meminta izin untuk meninggalkan ruangan.
“Nderekaken, Pangeran,” sahut Sukra sambil membuka pintu untuk Pangeran Purbaya.
“Aku tunggu di pendapa.”
“Saya, Pangeran.”