Padepokan Witasem
api di bukit menoreh, mataram, kiai gringsing, kiai plered, panembahan hanykrawati, agung sedayu
Bab 5 Merebut Mataram

Merebut Mataram 68

Ki Patih tidak meragukan pertimbangan Nyi Banyak Patra. Benar, bila Sukra tetap berada di kotaraja, apa yang dapat diperbuatnya? Tentu tidak ada karena banyak paugeran yang menjadi batasan pergerakan pengawal Menoreh itu. Namun menjadikan Sukra sebagai penghubung tentu akan menyamarkan siasat-siasat yang akan mereka terapkan dalam meredam hasrat Raden Atmandaru. “Dan orang tidak dapat mengira bahwa Sukra juga mengemban tugas persandian,” gumam Ki Patih dalam hati. Meski demikian, ia tidak ingin menempatkan anak muda itu dalam keadaan bahaya walau tugasnya akan penuh ancaman.

Seolah terbaca oleh Ki Demang Brumbung, maka senapati cerdas itu berkata, “Mohon maaf Ki Patih dan Nyi Ageng, bukankah itu berbahaya baginya? Kita belum tahu dan butuh jawaban, apakah Sukra mengenal jalan menuju Pajang? Termasuk di dalamnya adalah lorong-lorong kecil yang lepas dari pantauan lawan.”

“Sebenarnya kita tidak punya alasan untuk menahannya tetap berada di kotaraja, Ki Rangga,” ucap Nyi Ageng Banyak Patra. Lantas guru Kinasih itu berpaling pada Sukra lalu berkata, “Anak muda, semenjak kebakaran melanda Tanah Perdikan, aku mulai mendengar sepak terjangmu sebagai pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Aku mengikutimu dengan cara yang tidak dapat dimengerti oleh Ki Gede dan bebahu Menoreh. Tadi, Ki Patih serba sedikit mengutarakan pendapatnya tentang dirimu. Yang ingin aku tanyakan padamu adalah ; apakah engkau sanggup menempuh jalan cadas antara Pajang dan Mataram?”

“Saya, Nyi,” lirih Sukra berkata. “Hal mendasar adalah saya tidak ingin bertanya mengenai tujuan ke Pajang, tetapi nama Ki Lurah mulai disebutkan dalam pertemuan ini.”

loading...

“Apakah itu mempunyai arti penting bagimu?” tanya Nyi Ageng Banyak Patra dengan senyum mengembang yang tertahan. Ia sengaja menyebut Agung Sedayu untuk menghilangkan keraguan atau waswas yang mungkin sedang menghunjam cukup dalam di hati Sukra.

“Saya, Nyi. Ki Lurah adalah orang tua dalam kehidupan saya bila tidak dapat disebut sebagai pengganti. Maka saya tidak ingin bertanya tentang untuk apa saya pergi ke Pajang? Untuk apa saya bertahan di Kepatihan atau kotaraja? Saya cukup mengingat Ki Lurah, Nyi Sekar Mirah dan putri beliau berdua. Itu sudah cukup menjadi bekal mendaki jalan cadas yang Nyi Ageng sebutkan.”

Pelan-pelan Nyi Ageng Banyak Patra mengendurkan tulang punggungnya lalu menghadapkan wajah pada Ki Patih Mandaraka. “Saya serahkan pada Paman,” kata Nyi Ageng kemudian. Pikirnya, ia sudah cukup yakin bahwa Sukra akan sanggup mengemban beban berat selama di dalam diri anak muda itu masih ada bayangan Agung Sedayu. Cukuplah kecintaan Sukra pada Agung Sedayu yang akan membakar perkemahan Raden Atmandaru. Tak perlu lagi membangkitkan kenangan-kenangan tentang masa lalu atau perihal lain yang tidak diketahuinya.

Ki Patih beranjak dari tempat duduknya, mengangsurkan selembar kain pada Sukra. “Selain jalan dan petunjuk yang akan menuntunmu tiba di tempat Agung Sedayu, bentang kain juga menerangkan lorong dan jalan-jalan yang dapat kau gunakan untuk menyelamatkan diri bila bahaya tidak dapat dikendalikan,” ucap Ki Patih Mandaraka yang sebelumnya – ketika Nyi Banyak Patra mengajukan nama Sukra – telah meminta Ki Plaosan untuk menggambar kasar wilayah-wilayah yang akan dilewati Sukra. “Bila engkau telah menyalinnya secara tajam dalam benakmu, musnahkan lembaran itu!”

“Saya mendengarkan, Ki Patih,” kata Sukra dengan tatap mata lekat pada lembaran kain. Sejenak kemudian, di dalam ruang pikirannya muncul pertanyaan, apa yang terjadi pada Ki Lurah setelah mereka meninggalkan Slumpring? Apakah Ki Lurah terluka atau bagaimana? Siapakah Kinasih? Apakah ia dapat merawat Ki Lurah dengan baik? Napas panjang terdengar berhembus halus tetapi pendengaran tajam Ki Patih dan Nyi Banyak Patra tidak dapat dilewati.

“Apakah engkau berpikir tentang keadaan Ki Lurah?” Suara Nyi Ageng lembut memasuki pendengaran Sukra. Begitu lembut dan sejuk.

Sekejap Sukra menatap mata Nyi Banyak Patra namun tidak ada yang diucapkan olehnya.

“Engkau, anak muda yang bernama Sukra, ketahuilah bahwa Ki Lurah sudah tidak dalam keadaan bahaya. Ki Lurah berada di bawah tangan penyembuh terbaik di Pajang.” Begitu tinggi penghormatan Nyi Ageng Banyak Patra pada dengan menggunakan ‘Ki Lurah’ seperti halnya Sukra menyebut Agung Sedayu. Keagungan wibawa Nyi Banyak Patra terasa memenuhi ruang pertemuan itu.

Selanjutnya Ki Lurah Plaosan mengambil waktu untuk berbicara. “Kami tidak menganggapmu sebagai petani dusun atau anak muda bodoh yang datang dari dusun paling ujung. Bahkan, bila engkau menolak tugas sebagai penghubung, niscaya aku akan berlutut dan memohon padamu. Aku yakin tidak akan salah, karena sedikit banyak, aku harus mengakui, bahwa engkau telah merebut seluruh ruangan di hati kami. Sukra, kini engkau tahu bahwa ada orang-orang yang berkehendak merebut Mataram. Engkau pun menyaksikan bahwa keinginan mereka sangat kuat dan gerakan mereka begitu nyata. Maka, aku minta padamu agar jangan ada tombak atau pedang yang terhunus di belakang punggung kami. Mungkin Ki Patih dan Nyi Ageng tidak keberatan apabila aku katakan, ‘kami mengandalkanmu.’”

Malam mengapung dengan tenang ketika perut musang mulai menggeliat resah di tengah malam. Ki Patih sadar bahwa meredam gejolak di Mataram tidak semudah membalik tikar pandan. Patih Mataram itu lantas berkata, “Sedikit waktu lagi, kita harus mengambil masa untuk istirahat.” Lalu ia memandang Ki Lurah Plaosan dan Ki Demang Brumbung bergantian, lalu ucapnya, “Senapati berdua dapat mencoba untuk membuat hubungan dengan Pangeran Purbaya.”

“Dan untuk Sukra, biarkan ia tinggal di Kepatihan untuk sementara waktu,” sambung Nyi Ageng Banyak Patra, “aku menduga tentu ia mendapat sentuhan Ki Lurah. Oleh karena itu, aku ingin melihat kedalaman kanuragan yang berada di dalam dirinya karena kedekatan garis ilmu perguruan kami .”

“Saya, Nyi,” ucap lirih Sukra.

Demikianlah keadaan yang berkembang di Kepatihan. Sukra melewatkan hari dengan peningkatan kemampuan di bawah bimbingan Nyi Ageng Banyak Patra. Kegiatan demi kegiatan yang berselubung cahaya suram pun membuat sibuk Ki Lurah Plaosan dan Ki Demang Brumbung. Pergantian orang terkemuka mulai direncanakan Ki Patih Mandaraka untuk dijalankan bertahap.

Pekan bergulir menuju akhir, lalu kembali berputar seperti penggilingan padi. Udara di dalam istana Panembahan Hanykrawati semakin hangat ketika banyak mata beradu pandang dengan sorot curiga.

“Eyang Patih! Perkembangan semakin tidak menentu bila kita bertumpu pada ucapan-ucapan yang menggaung di udara,” kata Pangeran Purbaya ketika menjumpai Ki Patih Mandaraka di tepi sungai yang berjarak ratusan tombak dari Kepatihan. “Usaha Raden Atmandaru dapat mengacaukan pemikiran yang sedang beradu kekuatan di sekeliling Panembahan.”

“Apakah Wayah Panembahan terlihat telah terpengaruh?”

“Mungkin kita butuh waktu tunggu. Mungkin sedikit lagi sebelum kepala ular benar-benar muncul dari belukar semak,” jawab Pangeran Purbaya.

Ki Patih Mandaraka memandang hamparan langit yang tidak bertepi. Ia seolah melihat seekor burung menukik dengan sayap menekuk rapat, mengapit lambung lalu mencengkeram mangsa dengan cakar yang kokoh. “Sejauh yang dapat aku amati, kita sudah berada di bawah tekanan dan permainan mereka. Namun, menjemput orang-orang Raden Atmandaru adalah kesalahan dan hanya menampilkan kegelisahan kita ke permukaan.”

“Mereka akan menertawai kita.”

“Benar.” Ki Patih Mandaraka berdiam diri beberapa lama, kemudian berkata, “Apakah memang tidak ada tanda-tanda mereka akan menyerang secara terbuka?”

“Eyang, sejumlah laporan tidak dapat kita terima karena lawan mampu menyadap di tengah perjalanan. Meski demikian, mereka juga terputus dengan pemimpin makar di kotaraja.”

“Swandaru,” gumam Ki Patih.

“Benar,” ucap Pangeran Purbaya lalu melanjutkan, “kini kita bergantung pada Ki Swandaru dan Nyi Pandan Wangi karena lawan terjebak dalam usahanya menaklukkan Sangkal Putung.”

“Bagus. Semoga menjadi awal yang baik, terutama bila Sangkal Putung mampu menahan mereka. Tidakkah engkau akan pergi ke Sangkal Putung?”

“Saya pergi selepas senja. Petugas sandi yang lolos dari sergapan melaporkan bahwa pengawal kademangan sedang bersiap memukul mundur.”

“Di mana mereka akan membuka pertempuran?”

“Gondang Wates.”

“Tahan kepergian sebelum bibi datang menemuimu.”

“Saya, Ki Patih.”

Wedaran Terkait

Merebut Mataram 9

kibanjarasman

Merebut Mataram 8

kibanjarasman

Merebut Mataram 70

kibanjarasman

Merebut Mataram 7

kibanjarasman

Merebut Mataram 69

kibanjarasman

Merebut Mataram 67

kibanjarasman

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.