KETIGA PANGERAN HASTINA MENAMATKAN PENDIDIKAN
Sudah dua belas tahun lamanya Resiwara Bisma di Padepokan Talkanda mendidik ketiga putra Prabu Kresna Dwipayana, yaitu Raden Dretarastra, Raden Pandu Dewayana, dan Raden Yamawidura. Ketiganya diajari ilmu tata negara dan keprajuritan sebagaimana yang dulu pernah ia peroleh dari Batara Wrehaspati dan Batara Ramaparasu.
Kini ketiga pangeran itu telah berusia sembilan belas tahun dan menamatkan semua pelajaran. Resiwara Bisma lalu memerintahkan mereka agar bertapa di puncak Gunung Saptaarga (tempat leluhur mereka berasal), untuk meminta anugerah dewata sebagai penyempurna ilmu masing-masing. Ketiganya pun mohon pamit dan berangkat melaksanakan perintah dengan ditemani para panakawan Kyai Semar, Nala Gareng, Petruk, dan Bagong.
Setelah empat puluh hari bertapa, Raden Dretarastra, Raden Pandu, dan Raden Yamawidura didatangi Batara Guru, Batari Durga, dan Batara Narada. Mereka pun bangun dari tapa dan dipersilakan untuk meminta anugerah sesuai yang diinginkan masing-masing. Raden Dretarastra yang tuna netra meminta diberi kekuatan tubuh melebihi rata-rata manusia biasa. Batari Durga pun menganugerahkan Aji Leburgeni yang membuat Raden Dretarastra mampu meremukkan benda apa saja dengan kedua tangannya.
Sementara itu, Raden Pandu meminta diberi anugerah ilmu kesaktian untuk melindungi Kerajaan Hastina. Batara Guru pun memberikan Aji Brajadenta dan Aji Brajamusti yang masing-masing ditempatkan pada lengan kanan dan kirinya. Yang terakhir, Raden Yamawidura meminta diberi kepandaian pikir dan kebijaksanaan. Maka, Batara Narada pun menganugerahkan Aji Kawidagdan kepada putra bungsu Prabu Kresna Dwipayana tersebut.
Setelah dirasa cukup, Batara Guru, Batari Durga, dan Batara Narada kembali ke kahyangan. Resiwara Bisma kemudian datang dan memberikan ucapan selamat kepada ketiga keponakannya tersebut. Ia lalu mengantar mereka pulang ke Kerajaan Hastina untuk menghadap sang ayah di sana.
PRABU KRESNA DWIPAYANA MENERIMA KUNJUNGAN PRABU DASABAHU
Prabu Kresna Dwipayana di Kerajaan Hastina sedang dihadap Patih Jayayatna, Resi Krepa, Arya Banduwangka, Arya Bargawa, dan Arya Bilawa. Tidak lama kemudian datanglah Resiwara Bisma dan ketiga pangeran. Sungguh bangga dan bahagia Prabu Kresna Dwipayana melihat ketiga putranya telah tumbuh dewasa dan menamatkan segala pelajaran yang diberikan oleh Resiwara Bisma, serta mendapatkan anugerah dewata sesuai dengan apa yang mereka butuhkan.
Belum puas Prabu Kresna Dwipayana melepas rindu dengan ketiga putranya, tiba-tiba muncul seorang raja bernama Prabu Dasabahu dari Kerajaan Sriwedari, yang mengaku masih sepupu jauh Prabu Kresna Dwipayana. Prabu Dasabahu menjelaskan bahwa Prabu Kresna Dwipayana adalah putra Resi Parasara, sedangkan Resi Parasara adalah putra dari pasangan Batara Sakri dan Dewi Sati. Dewi Sati memiliki adik bernama Prabu Partana, dan mereka berdua adalah putra-putri Prabu Partawijaya dari Kerajaan Gujulaha atau Tabelasuket. Setelah ayahnya meninggal, Prabu Partana mendirikan Kerajaan Sriwedari (bekas taman sari Kerajaan Mahespati milik Prabu Arjunasasrabahu). Kemudian Prabu Partana digantikan putranya yang bernama Prabu Partayadnya, yang merupakan ayah dari Prabu Dasabahu tersebut.
Prabu Kresna Dwipayana gembira mengetahui bahwa Prabu Dasabahu yang ada di hadapannya kini ternyata masih saudara sepupu tingkat dua dengannya. Setelah hubungan mereka lebih akrab, Prabu Dasabahu pun menjelaskan maksud kedatangannya adalah ingin meminta tolong kepada Prabu Kresna Dwipayana untuk memadamkan wabah penyakit yang kini melanda Kerajaan Sriwedari. Menurut petunjuk dewata yang ia peroleh, wabah tersebut berasal dari gangguan makhluk halus yang hanya bisa dipadamkan jika dipasangi tumbal. Adapun orang yang harus memasang tumbal adalah putra kedua raja Hastina yang bernama Raden Pandu Dewayana.
Prabu Kresna Dwipayana ragu-ragu apakah mungkin putra keduanya mampu memadamkan wabah penyakit di Kerajaan Sriwedari tersebut. Resiwara Bisma berusaha meyakinkannya bahwa Raden Pandu memiliki bakat alamiah sejak lahir, dan ia melihat sendiri bagaimana keponakannya itu saat berusia tujuh tahun mampu menumpas Prabu Nagapaya raja Guabarong yang menyerang Kahyangan Suralaya. Prabu Kresna Dwipayana menjawab bahwa keberhasilan Raden Pandu di Kahyangan Suralaya dulu adalah berkat perlindungan dewata. Resiwara Bisma pun membalas, jika nanti Raden Pandu diizinkan berangkat ke Kerajaan Sriwedari juga tetap mendapatkan perlindungan dewa, yaitu Batara Ismaya yang berwujud Kyai Semar.
Prabu Kresna Dwipayana menyadari kekeliruannya yang terlalu mementingkan kasih sayang pribadi sehingga meragukan petunjuk dewata yang diterima Prabu Dasabahu. Ia pun mengizinkan Raden Pandu ikut Prabu Dasabahu pergi, tentu saja dengan diiringi para panakawan Kyai Semar, Nala Gareng, Petruk, dan Bagong.
Raden Pandu menerima perintah tersebut dengan senang hati. Ia lalu berangkat bersama Prabu Dasabahu menuju Kerajaan Sriwedari.
RADEN PANDU MEMASANG TUMBAL DI SRIWEDARI
Prabu Dasabahu, Raden Pandu, dan para panakawan telah tiba di Kerajaan Sriwedari. Mereka heran melihat keadaan negeri itu yang kini sunyi senyap dengan penduduk tinggal sedikit. Patih Jayakusuma menyambut kepulangan rajanya dan menjelaskan bahwa selama Prabu Dasabahu pergi ke Kerajaan Hastina, semakin banyak penduduk Sriwedari yang meninggal terkena wabah penyakit, sedangkan mereka yang masih hidup pergi mengungsi ke negara tetangga.
Prabu Dasabahu semakin prihatin melihat keadaan negerinya. Tak lupa ia juga berterima kasih kepada Patih Jayakusuma yang tetap setia menjaga Kerajaan Sriwedari selama ia pergi mencari pertolongan ke negeri Hastina.
Prabu Dasabahu lalu meminta pendapat kepada Kyai Semar tentang bagaimana caranya meredakan wabah penyakit tersebut. Kyai Semar pun meminta daftar tempat-tempat paling angker di segenap penjuru Kerajaan Sriwedari. Patih Jayakusuma segera menyiapkan daftar tersebut dan menyerahkannya kepada Kyai Semar. Mereka lalu berangkat bersama-sama mendatangi tempat-tempat angker tersebut. Di sepanjang perjalanan, Kyai Semar mengajari Raden Pandu bagaimana cara memasang tumbal beserta mantra yang harus diucapkan.
Sesampainya di tempat-tempat angker tersebut, Raden Pandu segera bekerja sesuai petunjuk yang ia terima dari Kyai Semar. Tempat terakhir yang mereka datangi adalah pemakaman luas bernama Setragopaya. Begitu tumbal selesai dipasang di situ tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut. Rupanya kaum makhluk halus merasa kepanasan dan mereka menjerit-jerit minta tolong. Tidak lama kemudian muncul pula sebuah istana emas di dalam lingkungan pemakaman tersebut lengkap dengan penduduknya.
ISTRI PRABU DASABAHU MENJADI RATU MAKHLUK HALUS
Rombongan Prabu Dasabahu segera mendekati istana gaib tersebut. Melihat kedatangan mereka, para makhluk halus pun bubar berlarian, kecuali seorang perempuan yang tetap di tempatnya sambil mengeluh kepanasan. Prabu Dasabahu mengenali roh perempuan tersebut bernama Ken Hyasi, yang semasa hidupnya bekerja di istana Sriwedari sebagai pelayan istrinya. Adapun istri Prabu Dasabahu bernama Dewi Panitra juga sudah meninggal beberapa bulan yang lalu, bahkan sebelum meninggalnya Ken Hyasi.
Begitu ditanyai Prabu Dasabahu, Ken Hyasi menjelaskan bahwa dirinya kini mengabdi kepada roh Dewi Panitra yang telah menjadi ratu makhluk halus dan mendirikan kerajaan gaib di pemakaman Setragopaya. Adapun wabah penyakit yang kini melanda Kerajaan Sriwedari adalah perbuatan Dewi Panitra yang ingin membunuh penduduk dan menjadikan arwah mereka sebagai bala tentara Kerajaan Setragopaya.
Prabu Dasabahu prihatin mendengar berita itu. Ia sadar istrinya semasa hidup memang kurang peduli pada urusan kerohanian dan lebih suka menuruti nafsu keduniawian belaka. Prabu Dasabahu menyesal dulu terlalu memanjakan istrinya yang suka berbuat seenaknya sehingga kini setelah meninggal, arwahnya tersesat dan tidak dapat memasuki alam baka yang semestinya.
RADEN PANDU MENUMPAS PASUKAN MAKHLUK HALUS
Tidak lama kemudian muncul arwah Dewi Panitra bersama pasukannya menyerbu rombongan Prabu Dasabahu. Prabu Dasabahu meminta kepada istrinya itu supaya menghentikan segala wabah penyakit yang melanda Kerajaan Sriwedari. Sebaliknya, Dewi Panitra justru ingin membunuh Prabu Dasabahu supaya arwah mereka dapat berkumpul lagi dan berpasangan di alam gaib. Usai berkata demikian, ia lalu memerintahkan pasukan makhluk halus yang dipimpin Patih Praswa dan senapati Arya Sanggrisma supaya menyerang Prabu Dasabahu.
Raden Pandu dan Patih Jayakusuma segera maju menghadapi serangan tersebut. Terjadilah pertempuran di antara mereka. Pada puncaknya, Raden Pandu mengerahkan Aji Pengabaran yang pernah ia pelajari dari Resiwara Bisma untuk memukul mundur pasukan makhluk halus tersebut.
Ketika matahari terbit, pasukan makhluk halus telah mengalami kekalahan dan banyak yang musnah. Kini yang tersisa dari mereka hanya tinggal arwah Patih Praswa dan Arya Sanggrisma yang keduanya menyatakan tunduk kepada Raden Pandu, sedangkan roh Dewi Panitra melarikan diri. Tiba-tiba muncul roh seorang kakek tua dari arah lain, bernama Resi Sangki yang memohon supaya Patih Praswa dan Arya Sanggrisma dibebaskan, karena mereka berdua adalah putranya.
Resi Sangki mengaku datang dari alam baka yang sejati untuk membebaskan kedua putranya dari pengaruh sesat Dewi Panitra. Ia berniat membawa arwah Patih Praswa dan Arya Sanggrisma untuk memasuki alam roh yang semestinya. Sebagai tebusan, Resi Sangki memberikan pusaka gaib kepada Raden Pandu berupa Kantong Arumba dan Minyak Pranawa. Raden Pandu pun bersedia membebaskan Patih Praswa dan Arya Sanggrisma. Keduanya lalu pergi bersama-sama Resi Sangki meninggalkan kerajaan gaib Setragopaya menuju alam keabadian.
RADEN PANDU MEMBANTU KESULITAN KERAJAAN SINGGELA
Wabah penyakit yang melanda Kerajaan Sriwedari kini telah reda. Penduduk yang tersisa berangsur-angsur mendapatkan kesembuhan, sedangkan yang mengungsi ke negara tetangga juga banyak yang kembali menempati rumah mereka. Prabu Dasabahu sangat berterima kasih kepada Raden Pandu dan para panakawan, terutama Kyai Semar atas segala bantuan yang mereka berikan.
Tiba-tiba datang adik ipar Prabu Dasabahu, yaitu saudara kandung mendiang Dewi Panitra yang bernama Prabu Palguna, raja Singgela. Prabu Palguna mengeluh bahwa negerinya kini sering diserang berbagai macam hewan gaib yang sulit sekali ditumpas. Sungguh kebetulan Raden Pandu belum pulang ke Kerajaan Hastina. Mendengar berita tersebut, ia pun mengajak para panakawan untuk ikut membantu kesulitan yang dialami Kerajaan Singgela. Prabu Palguna sangat senang mendengarnya. Mereka lalu bersama-sama berlayar menuju Kerajaan Singgela yang terletak di Pulau Sailan. Prabu Dasabahu juga ikut pergi menyertai.
Sesampainya di Kerajaan Singgela, Raden Pandu segera bertindak menghadapi hewan-hewan gaib yang sering menyerang penduduk itu. Ia pun mengerahkan Aji Pengabaran membuat hewan-hewan tersebut musnah dan berubah wujud menjadi roh orang-orang yang telah mati. Salah satu di antara mereka adalah Bagawan Amisana, mertua Prabu Palguna sendiri.
Bagawan Amisana memimpin para arwah tersebut berterima kasih atas bantuan Raden Pandu yang membebaskan diri mereka dari penderitaan. Dulu semasa hidup, mereka adalah orang-orang yang senang memakai susuk, yaitu menanam semacam benda di dalam tubuh untuk tujuan tertentu. Ada yang memakai susuk kecantikan, ada yang memakai susuk keperkasaan, ada pula yang memakai susuk kewibawaan. Namun sayangnya, pemakaian susuk ini ternyata menghalangi mereka setelah meninggal dunia, yaitu ketika hendak memasuki alam baka. Akibatnya, mereka menjadi arwah penasaran yang bergentayangan mengganggu orang-orang yang masih hidup.
Kyai Semar menjelaskan barangsiapa memakai susuk hendaknya melepas benda itu sebelum meninggal. Jika si pemakai terlanjur meninggal tanpa sempat melepaskannya, maka pihak keluarga yang harus melepaskan benda itu saat memandikan jenazah, antara lain dengan menggunakan sarana daun kelor. Akan tetapi, yang lebih baik adalah menghindari pemakaian susuk dan menggantinya dengan memupuk rasa percaya diri serta mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Prabu Dasabahu dan Prabu Palguna mendengar penuturan Kyai Semar dengan seksama untuk nanti mereka sampaikan kepada rakyat negeri masing-masing.
Arwah Bagawan Amisana dan para pengikutnya sekali lagi berterima kasih, kemudian mohon pamit memasuki alam baka. Mereka pun meninggalkan benda-benda susuk yang mereka gunakan semasa hidup untuk diserahkan kepada Raden Pandu. Ada yang berupa batu permata, ada pula yang berupa logam mulia ataupun besi baja. Raden Pandu menerima benda-benda tersebut untuk dijadikan kenang-kenangan, bukan untuk digunakan sebagai susuk seperti yang telah mereka lakukan semasa hidup.
RADEN PANDU TERTARIK MELIHAT KEINDAHAN TAMAN SOKA
Prabu Palguna berterima kasih atas bantuan Raden Pandu yang telah mengembalikan ketenteraman di Kerajaan Singgela. Raden Pandu sendiri terkagum-kagum melihat keindahan istana Singgela. Prabu Palguna menjelaskan bahwa di Pulau Sailan ini dulunya terdapat Kerajaan Alengka yang jauh lebih indah daripada Kerajaan Singgela. Setelah Prabu Rahwana raja Alengka gugur di tangan Prabu Sri Rama (titisan Batara Wisnu), takhta pun diduduki adiknya yang bernama Prabu Wibisana, yang kemudian memindahkan ibu kota ke Singgela. Setelah beberapa tahun memimpin Kerajaan Singgela, Prabu Wibisana turun takhta menjadi pendeta di Gunung Cindramanik, dan ia pun digantikan putranya yang bernama Prabu Bisawarna. Kemudian Prabu Bisawarna digantikan putranya yang bernama Prabu Bisaka. Adapun Prabu Bisaka adalah ayah dari Prabu Palguna yang kemudian menggantikannya, serta ayah dari Dewi Panitra istri Prabu Dasabahu.
Mendengar cerita itu, Raden Pandu menjadi tertarik ingin melihat seperti apa sisa-sisa keindahan Kerajaan Alengka. Prabu Palguna pun mengantarkannya melihat-lihat ke sana. Istana Alengka sudah lama tidak ditempati namun tetap terjaga keindahannya, terutama Taman Soka yang dulu digunakan Prabu Rahwana untuk menyekap Rekyanwara Sinta, istri Sri Rama yang diculiknya.
Raden Pandu ingin sekali membangun taman sari di Kerajaan Hastina yang sama indahnya dengan Taman Soka. Prabu Palguna pun memberikan kepadanya berbagai macam bibit tanaman yang tumbuh di Taman Soka untuk nantinya ditanam di Kerajaan Hastina, sekaligus sebagai ungkapan terima kasih atas segala bantuan pangeran muda tersebut.
PRABU DASABAHU DAN PRABU PALGUNA BERGURU KEPADA PRABU KRESNA DWIPAYANA
Prabu Dasabahu dan Prabu Palguna merasa prihatin melihat nasib Dewi Panitra dan Bagawan Amisana yang menjadi arwah penasaran setelah meninggal dunia. Jika Dewi Panitra dapat dimaklumi karena semasa hidup memang kurang memerhatikan urusan kerohanian. Namun, di lain pihak Bagawan Amisana yang seorang pendeta ternyata masih bisa tersesat pula. Kyai Semar menjelaskan bahwa seseorang yang menguasai ilmu agama belum tentu dapat memasuki alam keabadian yang sebenarnya, apabila ilmu agama tersebut hanya dihafalkan tanpa dihayati, serta tidak digunakan untuk berbuat kebaikan terhadap sesama makhluk.
Mendengar itu, Prabu Dasabahu dan Prabu Palguna memohon kepada Kyai Semar supaya diajari ilmu “sangkan paran dumadi” dan “kalepasan budi” yang sejati, agar kelak setelah meninggal mereka dapat memasuki alam baka dengan sebaik-baiknya.
Kyai Semar mengaku dirinya hanya seorang pengasuh. Jika kedua raja tersebut ingin belajar, hendaknya mereka berguru kepada Prabu Kresna Dwipayana saja, karena raja Hastina tersebut dulunya seorang pendeta bijak berilmu sempurna, bernama Resi Abyasa. Prabu Dasabahu dan Prabu Palguna menerima saran tersebut dan mereka pun bersama-sama mengantarkan Raden Pandu pulang ke negeri Hastina.
Sesampainya di Hastina, rombongan tersebut disambut oleh Prabu Kresna Dwipayana dan Resiwara Bisma. Tiba-tiba datang pula arwah Dewi Panitra bersama sisa-sisa pasukannya yang masih bernafsu ingin membunuh Prabu Dasabahu untuk dijadikan sebagai pasangan di alam gaib. Resiwara Bisma terjun menghadapi mereka dengan mengerahkan Aji Pengabaran membuat para arwah tersebut lumpuh kehilangan daya dan memohon ampun. Prabu Kresna Dwipayana lalu membaca doa dan mantra untuk menyempurnakan para arwah penasaran tersebut sehingga mereka dapat memasuki alam baka dengan tenang.
Melihat itu, Prabu Dasabahu dan Prabu Palguna semakin yakin dan mereka pun menyampaikan niat untuk belajar ilmu kesempurnaan kepada raja Hastina tersebut. Prabu Kresna Dwipayana menerima niat baik mereka dengan senang hati supaya nantinya dapat diajarkan pula kepada pihak lain yang sungguh-sungguh menginginkannya.
RADEN PANDU MEMBANGUN TAMAN KADILENGLENG
Raden Pandu lalu menunjukkan bibit tanaman yang ia peroleh dari Taman Soka di bekas Kerajaan Alengka untuk bisa ditanam di Kerajaan Hastina. Prabu Kresna Dwipayana menyambut baik niat putranya tersebut. Raden Pandu lalu memimpin para juru taman membangun sebuah taman sari yang bentuknya sama persis dengan Taman Soka.
Kini taman indah tersebut telah berdiri. Prabu Kresna Dwipayana meresmikannya dengan memberikan nama Taman Kadilengleng, karena barangsiapa yang menyaksikan keindahan taman tersebut akan terkesima seperti orang yang sedang mabuk kepayang. (wayang)