Padepokan Witasem
api di bukit menoreh, mataram, kiai gringsing, kiai plered, panembahan hanykrawati, agung sedayu
Bab 5 Merebut Mataram

Merebut Mataram 44

Di halaman belakang, agak jauh dari pakiwan, Swandaru tenggelam dalam kesenyapan yang menyergap hatinya. Meski dari balik pintu butulan dan pembatas pekarangan kerap terdengar langkah kaki orang berlalu-lalang, tetapi semuanya terdengar seolah desah angin yang tidak sanggup mengusiknya.

Ucapan ayahnya dan Sekar Mirah pelan-pelan menggurat bekas pada ruang hatinya. Bahwa ia benar-benar menjadikan kehidupannya dan seluruh keluarganya sebagai benda pertaruhan. Menantang kekuatan Mataram itu dapat dilakukan oleh banyak orang. Menentang Panembahan Hanykrawati pun telah menjadi bagian kelam perjalanan Mataram, walau Panembahan Senapati masih tegak berdiri. Namun, masa depan anak dan Sangkal Putung?

“Mungkinkah itu sama dengan menempatkan mereka di tepi jurang ketika berlangsung badai?” Pertanyaan yang muncul dalam hatinya pun masih sulit dijawabnya. “Andai kejayaan Raden Atmandaru tiba waktunya, apakah ia benar-benar menepati janji? Bagaimana bila kemudian aku diburu sebagaimana mereka menghendaki kematian Kakang Agung Sedayu?” Meski ia dapat melihat bahaya besar yang mengancam, namun Swandaru belum dapat menerima pendapatnya sendiri. “Yang aku tahu adalah hari-hari ini bukan saat untuk membuang waktu dengan merenungi nasib.” Memerah paras wajah Swandaru ketika hatinya mencemooh, “Oh, merenungi nasib? Bermalam-malam meringkuk dalam dekap hangat sepasang daging lunak? Engkau melupakan segala yang menjadi milikmu, mengabaikan semua yang menjadi tanggung jawabmu, kemudian kau berkata nasibku yang malang. Pantaskah itu, Swandaru?”

Karena siksaan dari perasaannya dan teraniaya pikirannya sendiri, lantas mendorong Swandaru ke sudut yang sulit terjangkau oleh perkiraan orang lain. Ia merasa begitu bodoh dan mendadak dungu karena sangat patuh ketika dikebiri oleh hasrat. Andai kata, dengan keadaan seperti hari-harinya di Randulanang, apakah ia mempunyai kemampuan menjadi seorang tumenggung? Bahkan untuk mengendalikan keamanan Sangkal Putung pun belum tentu dapat dilakukannya. Para pengawal kademangan pasti mencibirnya meski mustahil diucapkan secara benderang. Pada saat ini, para pengawal tentu dapat diperkirakan sedang membicarakannya. Apa yang dapat dilakukannya bila ia mendengar kasak kusuk : Swandaru Geni tercucuk hidungnya di bawah goyang pantat perempuan?

loading...

Menjadi salah satu pemimpin di Mataram adalah kedudukan yang diidam-idamkannya, Swandaru jujur mengenai hal itu.  Bahkan tanpa periu membuat permohonan secara khusus, ia dapat meraih kedudukan rangga atau panji. Panembahan Hanykrawati dan Ki Patih Mandaraka tentu akan menimbang segala masukan bila ada orang yang membawa namanya. Dan itu dapat dilakukannya melalui Agung Sedayu atau Ki Gede Menoreh, atau mungkin juga Ki Tumenggung Untara. Seburuk-buruknya mungkin Sangkal Putung akan memperoleh tempat khusus bila menimbang setitik kelam di masa silam.

Sepenuh kesadaran yang mengguncang permukaan kademangan, Swandaru akhirnya menemukan dirinya yang sedang terpuruk, terjerembab oleh angan dan terikat kenikmatan yang berada di antara dua tulang. “Ini adalah kekalahan sejati,” sesalnya, kemudian ia beranjak bangkit, membuka pintu butulan lalu melarutkan diri dalam arus orang-orang yang melintasi jalan.

Didorong oleh rasa bersalah dan keinginan untuk melepaskan Sangkal Putung dari tekanan pengikut Raden Atmandaru, Swandaru mengayun langkah sedikit cepat. Tubuhnya yang gempal menyelinap cepat di antara orang-orang yang berjalan lenggang menyusur jalan-jalan dan lorong. Setibanya di sebuah gardu jaga, Swandaru meminta salah seorang pengawal untuk menyertainya pergi ke Gondang Wates. “Siapakah yang menjadi teman Nyi Pandan Wangi di Gondang Wates?” tanya Swandaru pada pemimpin regu.

“Beliau seorang diri, Ki. Telah berlalu beberapa malam, mungkin dua atau tiga dalam hitungan kami sejak perintah Ki Rangga diturunkan,” jawab ketua regu.

“Belum adakah bantuan dari Mataram atau Jati Anom sampai sejauh ini?”

“Kami semua sedang menunggu. Namun Ki Rangga meminta kami untuk tidak mengharapkan bantuan karena kademangan, menurut beliau, nyaris tidak mempunyai jalur untuk menyusupkan bantuan. Baru Ki Gede Menoreh yang mengirimkan dua anak muda, dan ternyata mereka sangat membantu kami.”

“Dua anak muda? Kalian dapat sebut nama?”

“Sayoga dan seorang lagi, Sukra.”

“Pertanda baik. Ini melegakan.”

Suasana di sekitar gardu jaga sedikit meningkat tegang sewaktu Swandaru meminta mereka mengulang siasat dan pesan-pesan dari Agung Sedayu.

Para penjaga tidak segera mengabulkan permintaan Swandaru. Bunija, yang ditunjuk sebagai ketua kelompok pada saat itu, seolah menahan napas sambil memandang wajah Swandaru. Bagaimana ia dapat mengatakan di depan banyak orang? Lagipula, ke mana Swandaru yang menghilang lebih dari sepekan? Dalam waktu itu, Bunija telah mendapatkan kabar bahwa Swandaru tidak datang sendirian.

“Ki Swandaru datang bersama seorang lelaki dan perempuan. Dua orang asing yang sepatutnya dicurigai karena seperti itulah Ki Rangga memberi perintah pada kita,” kata seorang anak muda pada Dharmana sebelum Swandaru memasuki halaman rumahnya menjelang fajar. Dan senada itu juga yang disampaikan Dharmana pada Bunija.

Swandaru dapat merasakan kejanggalan yang menebar di dalam gardu dan sekitarnya. Ia memandang satu demi satu wajah pengawal kemudian mengangguk tanpa arti. Sejenak ia membuat dugaan dan perkiraan dengan mulut mengatup rapat. Kemudian ia berkata, “Aku adalah pemimpin pengawal kademangan. Bagaimanapun, kalian telah melihatnya sebagai kenyataan. Aku sedang berusaha untuk memperbaiki keadaan meski – mungkin – telah berkembang suara-suara yang membuatku merasa tidak enak. Ini sama sekali bukan suasana yang menyenangkan.”

Bunija dan dua pengawal mengangguk.

Tanggapan mereka bertiga membuat kening Swandaru berkerut. Namun ia sudah menyangka bahwa berita itu begitu cepat tersebar. “Dapatkah kalian mengabaikan suara-suara itu dengan melihatku kedudukanku di kademangan?” tanya Swandaru. “Atau bila kalian tidak dapat mengatakannya, apakah ada orang lain yang menggantikan kedudukanku selagi Ki Rangga tidak berada di Sangkal Putung?”

“Dharmana,” jawab Bunija tegas.

Meski ingin menghardik Bunija, Swandaru menahan diri. Suasana genting yang terjadi di kademangan dalam waktu belakangan tidak dapat membuatnya berbuat sekendak hati. Terlebih ia tidak berada di Sangkal Putung semenjak gangguan keamanan kerap terjadi. Namun kepatuhan mereka pada perintah Agung Sedayu, begitulah dugaannya, membuatnya kesal. “Agung Sedayu bukan siapa-siapa di kademangan ini. Ia hanya lelaki yang bernasib baik ketika adikku bersedia menjadi istrinya!” geramnya dalam hati.

Wedaran Terkait

Merebut Mataram 9

kibanjarasman

Merebut Mataram 8

kibanjarasman

Merebut Mataram 70

kibanjarasman

Merebut Mataram 7

kibanjarasman

Merebut Mataram 69

kibanjarasman

Merebut Mataram 68

kibanjarasman

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.