Banyak orang di sekitar kita yang sudah memaklumi bahwa posisi orang yang berhutang itu berada di bawah tekanan. Dari ancaman yang tersirat dalam berbagai ayat suci maupun kabar nabawi. Tak dapat dipungkiri bahwa ada sebagian orang yang menjadikan kegiatan berhutang itu sebagai penyaluran hobi. Salah satu contoh adalah meminjam sejumlah uang pada bank sedangkan dia mempunyai asset yang dapat dijual. Dalam konteks bisnis, ada ungkapan “kalau bisa berusaha dengan pinjaman, mengapa harus melepas asset?” Yup, tentu orang yang demikian itu mempunyai perhitungan tersendiri dan mungkin juga lebih detail rinciannya dibandingkan dengan apa yang kita ketahui.
Ada juga orang yang berhutang dengan syarat bahwa hutang akan dilunasi bila asset laku atau urusan beres atau apapun. Fakta yang mungkin terjadi di lingkungan kita itu begini, sebuah contoh, si A pinjam kepada si B sekian puluh juta dan akan dilunasi bila bonusnya cair atau apapun yang memang menurut A dapat meyakinkan si B agar mau memberi pinjaman. Dan seringkali terjadi adalah si A abai terhadap janjinya. Kalau teman saya pernah bilang “ kalau duit sudah ada di tangan ya sayang untuk dilepas sekalipun untuk melunasi hutang”.
Kita tak berbincang tentang ancaman bagi orang yang melalaikan hutang. Toh setiap saat kita dapat saja mendengarkan saran dari banyak orang untuk mendahulukan pelunasan hutang. Sedangkan kita juga paham bahwa di sekitar kita pun banyak orang yang berhutang untuk sekedar menutup biaya hidup. Jangan kita berprasangka dulu bahwa biaya hidup tinggi karena dia banyak jajan. Asumsikan saja seorang asisten rumah tangga atau seorang tenaga kasar atau mungkin penjual sayur keliling atau orang yang hidup mandiri/wira usaha dengan gaji di bawah UMR. Pernahkah terbersit dalam hati kita bahwa mereka adalah orang yang kurang beruntung? Bahwa mereka memang ditakdirkan hidup di bawah garis standar? Satu hal yang pasti adalah bahwa kita tidak akan pernah mampu menolak perbedaan yang telah ditetapkan Tuhan. Maksud saya adalah orang-orang yang kurang beruntung itu akan selalu ada. Sebagian dari mereka juga mempunyai harga diri tinggi dari niat mengabaikan hutang. Mereka gagal melunasi hutang karena memang tidak ada kemampuan untuk melunasi.
Bisa saja dan boleh jadi, akan ada sebagian dari kita berpikir mungkin dia malas atau mungkin dia salah memutuskan atau apapun yang bernada mencemooh. Sekali lagi saya katakan bahwa ada orang yang kurang beruntung itu yang memiliki harga diri yang tinggi dan standar moral yang luar biasa. Bahwa mereka benar-benar berhutang dengan tujuan positif. Dan untuk orang yang demikian itu sebenarnya ada satu pertanyaan bagi kita semua.
Apakah kita mampu menggugurkan kewajiban bagi mereka? Dengan kata lain, apakah kita mampu menjadikan hutang itu sebagai sedekah bagi mereka?
Demikianlah.Wassalam