Ngisor Wit Asem

Matahari Tak Pernah Sendiri : Sains Transisi Energi yang Lebih Rumit daripada Judul Besar Media

oleh cak Heru Prabowo


Transisi energi bukan dongeng tiga paragraf. Ia lebih mirip orkestra: instrumennya beragam, iramanya kompleks, dan tidak pernah cukup hanya dengan “menggebuk satu drum paling keras”. Matahari penting. Sangat penting. Tapi ia tidak mungkin bekerja sendirian menggerakkan planet berpenduduk delapan miliar yang butuh listrik 24 jam, cuaca berubah-ubah, dan permintaan energi melonjak di malam hari ketika ia sedang tidur.

Di sinilah artikel ini berdiri: bukan untuk membantah peran solar, tetapi untuk mengembalikan akal sehat ke tengah gemuruh euforia. Karena jika masa depan memang ingin kita bangun, maka membangunnya dengan pemahaman yang jernih jauh lebih baik daripada membangunnya dengan harapan setengah matang.

.

*Cahaya Besar Yang Sering Disederhanakan*

Artikel New Scientist (Le Page, 2025) adalah salah satu opini yang mengangkat satu tesis provokatif: matahari adalah satu-satunya sumber energi jangka panjang yang benar-benar sustainable. Dari sisi fisika mentah, klaim itu tidak salah. Matahari memancarkan sekitar 173.000 terawatt energi ke Bumi setiap saat — sementara kebutuhan energi primer seluruh umat manusia hanya sekitar 18 terawatt (IEA, 2024). Space-wise, sejumlah kajian seperti Carbon Tracker (2021) maupun Nature Communications (2021) menunjukkan bahwa sekitar 0,3–0,5% daratan global cukup untuk memasang PV (panel surya) yang secara teoritis mampu mencukupi kebutuhan listrik dunia.

Secara ekonomi pun surya semakin memukau. Levelized Cost of Electricity (LCOE) solar utility-scale kini menjadi salah satu yang termurah di dunia (IRENA, 2023). Banyak negara kini membangun gigawatt demi gigawatt, dan kurva harga panel telah turun sekitar 90% sejak 2010.

Tapi fisika, ekonomi, dan transisi sistem energi bukan tiga bab yang bisa dibaca terpisah. Ada yang sering luput dari kesederhanaan narasi “solar bisa menyelamatkan semuanya”.

.

Sorgum adalah bahan pangan yang dikenal masyarakat Nusantara selain beras. Mengandung serta tinggi dan aman bagi penderita diabetes. Pembelian dapat dilakukan online atay hubungi admin blog.

*Matahari Tidak Menyala di Malam Hari: Variabilitas yang Menuntut Penopang*

Masalah terbesar solar bukan pada jumlah energinya, tetapi pada ketersediaan waktunya. Matahari tidak bekerja di malam hari. Ia juga tidak konsisten di musim hujan. Bahkan di negara tropis seperti Indonesia, intensitas radiasi surya bisa turun hingga 60% pada musim puncak awan (BMKG, 2023).

Inilah sebabnya laporan IEA World Energy Outlook 2024 menekankan bahwa tanpa storage skala besar, kontribusi solar maksimal hanya 20–30% dari total energi suatu sistem listrik sebelum risiko blackouts meningkat. Untuk mentransisikan dunia ke sistem yang hampir sepenuhnya terbarukan, kita tidak hanya butuh panel — kita butuh baterai (BESS), pumped hydro, demand response, grid interkoneksi lintas negara, dan pembangkit fleksibel.

Sains energi jelas:
Solar adalah pilar penting, tapi ia tidak bisa menjadi seluruh rumah.

.

*Panel Surya Juga Punya Jejak Karbon dan Jejak Bumi*

Ada satu lagi narasi populer yang sering disapu bersih: “solar itu nol emisi”.
Ya — nol emisi saat operasi, tetapi tidak selama manufaktur.

IPCC (2022) menempatkan lifecycle emission PV pada kisaran 40–50 gCO₂/kWh, jauh lebih rendah daripada fosil, tetapi lebih tinggi dibandingkan nuklir (12 gCO₂/kWh) dan sebagian porsi geotermal (25–40 gCO₂/kWh). Panel juga menggunakan material intensif energi seperti aluminium, kaca, silikon, dan kadang kadmium, yang produksinya memiliki dampak lingkungan. Masalah daur ulang pun belum tuntas: meskipun PV mampu didaur ulang hingga 90–95% (IRENA, 2023), tingkat daur ulang aktual global masih <10%.

Ini bukan argumen anti-surya. Ini hanya pengingat bahwa tidak ada teknologi energi yang benar-benar “murni”. Kita harus jujur memandang seluruh siklus hidup.

.

*Indonesia: Di Mana Matahari Berlimpah, Tapi Sistem Tidak Siap*

Indonesia seolah diberkahi surga radiasi matahari: 4,5–5,5 kWh/m²/hari di sebagian besar wilayah.
Potensi teknis PV mencapai 3,3–20 terawatt peak (IESR, 2025).

Tapi potensi bukan realitas.

Hingga akhir 2025, total instalasi PV nasional masih di kisaran 300–350 MW, kurang dari 0,5% kapasitas pembangkit. Rooftop solar bahkan hanya ~100 MW, jauh dari target 1 GW/tahun RPJMN. RUPTL 2025–2034 memasukkan solar dengan porsi 11,9 GW saja — termasuk proyek-proyek yang kemungkinan besar tertunda karena persoalan interkoneksi, overcapacity PLN di Jawa, dan struktur tarif yang tidak memberi insentif.

Indonesia tetap negara dengan potensi besar, tetapi dengan hambatan struktural lebih besar: grid yang belum fleksibel, ketergantungan energi fosil (terutama batubara), dan model bisnis PLN yang konservatif.

*Maka, Masa Depan Energi Bukan Satu Cahaya, Tetapi Konstelasi*

Jika solar tidak cukup, lalu apa? Kita tidak kembali ke masa lalu dengan batubara. Kita justru memperluas opsi.

Para ilmuwan energi sepakat bahwa sistem masa depan adalah _*campuran*_ :

— 1) _*Surya*_

Murah, modular, cepat dibangun. Pilar penting siang hari.

— 2) _*Angin (terutama offshore)*_

Lebih stabil pada malam hari di beberapa wilayah.

— 3) _*Hidro*_

Sumber fleksibel; dapat berfungsi sebagai storage (pumped hydro).

— 4) _*Geotermal*_

Sumber beban dasar alamiah, sangat cocok untuk Indonesia (potensi 24 GW, baru terpasang 2,4 GW).

— 5) _*Nuklir generasi baru & SMR*_

Lifecycle emission sangat rendah; bisa mengisi gap variabilitas. Banyak negara mulai kembali melirik nuklir karena kestabilan sistem.

— 6) _*Storage (BESS, hidrogen, pumped hydro)*_

Solar tanpa storage hanya setengah solusi.

— 7) _*Demand Response & Smart Grid*_

Menggeser konsumsi masyarakat agar selaras dengan profil produksi energi.

Sains mengajarkan: tidak ada satu pun teknologi yang sempurna. Tetapi kombinasi yang tepat bisa mendekati sempurna.

.

*Pelajaran Penting: Optimisme Itu Perlu, Asal Tidak Buta*

Optimisme terhadap surya adalah hal baik. Ia memberi arah. Ia memberi semangat. Ia mendorong inovasi. Tetapi optimisme yang tidak dilengkapi realisme justru bisa menjerumuskan negara ke dalam salah strategi: underinvestment in storage, grid, atau teknologi alternatif.

Indonesia butuh solar — itu pasti.
Namun yang kita butuhkan lebih besar lagi: kebijakan energi yang jernih, bukan yang hanya mengikuti judul media yang paling terang.

Matahari penting. Sangat penting.
Tapi matahari tak pernah sendiri.

.

*Glosarium Mini*

_*PV (Photovoltaic)*_: Teknologi panel surya yang mengubah cahaya menjadi listrik.

_*LCOE (Levelized Cost of Electricity)*_: Biaya listrik rata-rata sepanjang umur pembangkit.

_*Lifecycle Emission*_: Total emisi dari pembuatan, operasi, hingga pembongkaran suatu teknologi.

_*Intermittency*_: Ketidakstabilan atau ketidakpastian produksi energi dari sumber seperti solar dan angin.

_*BESS (Battery Energy Storage System)*_: Sistem penyimpanan energi berbasis baterai.

_*Pumped Hydro*_: Sistem penyimpanan energi dengan memompa air ke reservoir ketinggian.

_*SMR (Small Modular Reactor)*_: Reaktor nuklir kecil generasi baru yang lebih fleksibel dan aman.

_*Demand Response*_: Langkah mengubah pola konsumsi listrik agar sesuai kondisi produksi energi.

.

*PUSTAKA BACA*

_*Artikel Populer Ilmiah*_ :

New Scientist. (2024, October). Why solar power is the only viable power source in the long run. New Scientist.

_*Sains Energi & Studi Peer-Reviewed*_

Creutzig, F., Agoston, P., Goldschmidt, J. C., Luderer, G., Nemet, G., & Pietzcker, R. C. (2017). The underestimated potential of solar energy. Nature Energy, 2(9), 17140. https://doi.org/10.1038/nenergy.2017.140

Davis, S. J., & Lewis, N. (2022). Renewables and grid stability. Energy Policy, 164, 112887. https://doi.org/10.1016/j.enpol.2022.112887

Smith, T., Hernandez, R. R., Gordon, L. J., & van Rensburg, B. J. (2023). Land-use implications of scaling solar photovoltaics. Nature Communications, 14, 5571. https://doi.org/10.1038/s41467-023-41164-z

Wilson, G. M., Joyce, A., Raman, A., Buonassisi, T., & Peters, I. M. (2020). Solar PV material supply chains and the need for diversification. Joule, 4(4), 763–778. https://doi.org/10.1016/j.joule.2020.02.007

*_Referensi Konteks Indonesia_*

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. (2023). Outlook Energi Indonesia 2023. KESDM.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. (2021–2030). Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) Nasional 2021–2030. KESDM.

Perusahaan Listrik Negara. (2024). RUPTL 2024–2034 (Draft). PLN.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. (2024). Geothermal Potential Database (2024). Direktorat Panas Bumi.

_*Referensi Global & Multi-Teknologi*_

IEA. (2023). Southeast Asia Energy Outlook 2023. International Energy Agency.

IPCC. (2022). Climate Change 2022: Synthesis Report. Intergovernmental Panel on Climate Change.

IRENA. (2023). World Energy Transitions Outlook 2023. International Renewable Energy Agency.

MIT Energy Initiative. (2018). The future of nuclear energy in a carbon-constrained world. Massachusetts Institute of Technology.

National Renewable Energy Laboratory. (2021–2023). Grid modeling, LCOE trends, and renewable integration reports. NREL.

.

soerabaja, 19-11-2025

Kisah Terkait

Potensi Kerugian Keuangan Negara dalam Proyek KCJB / Whoosh (Simulasi AI Laporan Audit Investigatif BPK RI)

kibanjarasman

AWAS BAHAYA AI UNTUK ANAK ANDA !

kibanjarasman

Sidang Gembluk Jonggring Witasem

Ki Banjar Asman

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.