Padepokan Witasem
Celoteh Wit Asem

Sidang Gembluk Jonggring Witasem

Kahyangan Jonggring Witasem terlihat gelap dan suram. Lebih masuk lagi ke dalam yang terlihat malah suasana angker tapi menggelikan. Para raksasa dan pangeran kegelapan ternyata telah duduk di sekeliling meja dan bergurau. Sengkuni yang menyelinap masuk hanya geleng-geleng kepala. “Ini gimana? Kok yang ngobrol cuma gigi-gigi yang lepaskan dari bibir,” Sengkuni sedikit menahan tawa saat para pangeran tertawa dengan ompong yang lebar menganga.

Sebenarnya para pangeran kegelapan dan raksasa ini hanya kurang tidur saja. Mengenai makan, mereka malah melebihi kemampuan manusia seisi jagat asem. Dan itu seharusnya dapat dimaklumi karena mereka yang duduk di sekeliling meja ini berasal dari telur yang sama.

Pada zaman dahulu, ada seekor ular yang mempunyai kepala burung merak. Ujug-ujug, begini ceritanya, si ular lalu bertelur satu ekor. Karena ia tidak merasa berhubungan asem dengan setiap orang, maka si ular ngeloyor begitu saja. Kabar buruknya, si ular ini sekarang sudah mati dalam pembunuhan yang tidak sengaja dilakukan oleh anak-anak kecil pedukuhan Rokasem. Lama telur itu menggelinding ke sana dan ke sini karena sebagai telur ular ajaib ya pantas saja jika memiliki keuangan yang ajaib juga. Akhirnya pecahlah telur itu dan keluarlah bayi-bayi mungil yang lucu nan menggemaskan. Mereka tumbuh dengan makan banyak benda, tidur di sembarang tempat.

Dari waktu ke waktu, mereka semakin besar dan mulai berbaur dengan manusia wajar lainnya di pedukuhan. Satu keanehan terjadi lalu mereka terusir dari pedukuhan. Ketika pedukuhan menggelar wayang kulit dengan lakon “Wong Edan Ra Keduman”, mereka ikut menonton dari jarak yang cukup dekat.

loading...

Ketika dalang mulai bersuluk :

Langit kerlap kerlip

Minyak licin, segara asrep (minyak licin, laut menjadi dingin)

Muka licin, segara retak (muka licin, dasar laut menjadi retak)

Kowe ora duwe isin (kamu tidak punya malu)

Tiba-tiba terlepaslah gigi dan taring mereka. Tentu saja orang-orang pedukuhan tertawa. Menertawakan kelucuan raksasa yang tiba-tiba ompong saat makan kacang. Seorang pangeran Witasem pun menertawakan pangeran yang lain karena muka mereka yang tiba-tiba bergerak luwes namun liar. Mletat mletot.

Sengkuni mengingat semua kejadian itu dengan mesam-mesem dengan ajian Jaran Goyang Semar Mesem.

Lalu terjadilah perselisihan di antara para pangeran dan raksasa. Ucapan mereka tidak begitu jelas. Ada yang bersuara sengau dan hanya ah ih uh, ada yang cuma terdengar ba bi bu te, yang pasti di ruangan sidang itu hanya berisik, riuh tapi gak jelas yang diomongkan. Lha wong ompong kabeh (lha kan yang bicara ompong semua).

suster-ngesot-dan-kolor-ijo-ramaikan-pilgub-jateng

sumber gambar : http://mediacenterbawaslujateng.blogspot.co.id/2013/01/suster-ngesot-dan-kolor-ijo-ramaikan.html

 

Pangeran Witasem lalu berdiri sambil menggebrak meja dengan perut segede tong kosong. Sambil menunjuk penuh marah, ia bilang, ” wa we atata awu awu!”

Yang ditunjuk pun tak kalah garang. Asemasem bangkit dengan bibir bawah yang menyentuh meja katanya, ”bla awe wo ta tu tu!”

Sesaat kemudian, mereka terlibat perang tanding. Mereka sama-sama sakti. Sama-sama ompong.

Sengkuni ngakak habis ketika dua orang yang bertarung itu berusaha menggigit telinga lawan masing-masing.

“Wasyu!” seru Sengkuni dalam hatinya lalu ngloyor pergi setelah melihat keadaan di ruangan itu semakin kacau.

Saat berada di luar, ia teringat sesuatu. Sengkuni memutar tubuhnya lalu melihat ke sebuah kayu yang lebar dan bertuliskan :

Sidang Gembluk Jonggring Witasem hanya dapat diikuti mereka yang bibirnya berbahan kolor.

 

Wedaran Terkait

Ketika Kinclong Dituduh Bersekutu dengan Setan

kibanjarasman

Kegalauan Tiwul saat Kyai Mengusir Tuhan

kibanjarasman

(Kyai Sogol) Skandal Secangkir Kopi dan Getas

kibanjarasman

(Kyai Sogol) Ridlo itu Bukan Imajinasi – 2

kibanjarasman

(Kyai Sogol) Ridlo itu Bukan Imajinasi

kibanjarasman

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.