Padepokan Witasem
cerita wayang
Pekan Prosa

Terkurung

Tempat ini, dulu aku menyebutnya rumah, tapi sejak hampir setahun yang lalu aku tak yakin lagi bahwa bangunan ini adalah rumah. Pintu dan jendela tertutup rapat seolah memberi isyarat agar jangan pernah mendekat pada orang yang melihat. Tempat ini menjelma menjadi labirin yang membuatku tersesat dan sulit menemukan jalan keluar.

Hampir setahun aku terkurung di sini, menatap nanar pada dinding kelabu berdebu. Sesekali mengintip keluar sekadar memastikan seseorang yang datang, lalu segera bersembunyi lagi bagai seekor tikus pembawa virus pes yang sedang diburu parang tajam. Di lain waktu, saat rasa bosan dan kesedihan mendatangiku dengan wajah serupa, aku merangkak mendekati jendela yang celahnya memperlihatkan cahaya bulan purnama. Kemudian jemari kurusku gemetar menghitung, satu, dua, tiga, dan seterusnya.

Saat hitunganku sampai pada angka sembilan puluh sembilan, aku tak sanggup lagi menahan air bah yang seketika tumpah ruah membanjiri seluruh rumah. Pada saat itu kumohon agar kami musnah; aku dan rumah itu. Tapi selalu saja hanya debu-debu yang lesap, sementara laba-laba masih bersarang di tempatnya dan aku tertelungkup di ujung amben; meratapi nasib dan merasa tidak berguna.

Terkadang aku merasa heran, bagaimana Tuhan menciptakan makhluk sebodoh diriku?

loading...

“Kali ini saja, besok janji tak akan lagi.” Selalu itu yang kau katakan lalu kau ingkari lagi. Sementara aku, si makhluk bodoh tetap mengangguk dan percaya. Entah hatinya terbuat dari apa, bahkan saat para penagih datang dia tetap setia memasang badan. Melapangkan dada dan menulikan telinga untuk segala caci maki dan sumpah serapah. Lalu saat dadanya tak sanggup lagi menahan sesak, maka ia akan meratap seperti anak kecil. Hanya meratap tanpa melakukan apa-apa. Dasar bodoh dan tidak berguna!

Kebodohan itu membawa petaka, kebodohan yang mengantarku terkurung dalam sengsara. Kebodohan yang kusadari tapi tak sanggup membuatku memiliki nyali. Duh Gusti, jika seluruh dunia mengutukku atas kebodohan ini, maka sesungguhnya itu tak lebih baik karena aku masih erat memeluk kebodohan itu atau sebaliknya, aku rasa tidak ada bedanya. Aku tetaplah si bodoh yang mengorbankan diri untuk laki-laki pemalas yang berlindung di balik ayat-ayat suci.

“Bersabarlah, bersabarlah sedikit lagi,” jawabmu untuk keluhanku tentang pasak yang besarnya nyaris merobohkan tiang. “Tuhan tidak akan membiarkanmu dan anak-anak kelaparan, kamu harus percaya itu!” tandasmu menyurutkan api dalam dadaku. Memadamkan bara yang menyala di mataku, lalu berakhir dengan isakku di pelukanmu.

Dan kini, pasak-pasak itu berlomba bersama rayap, rakus menggerogoti tiang rumah ini. Sedikit lagi pasti roboh jika tak ada seuatu yang aku atau kau perbuat. Pasak dan rayap itu datang karenamu, tapi kau justru meninggalkanku menanggung semuanya; sendirian.

“Berhentilah berhutang, yang lalu sudah menumpuk dan belum terbayarkan. Aku lelah, aku tak sanggup menghadapi mereka.” keluhku setiap kali para penagih itu datang dan kau justru bersembunyi di balik seribu alasan.

“Jangan khawatir, pasti kubayar.” Jawabmu tanpa sedikitpun menampakkan raut menyesal. Kau semakin tersesat dalam belantara riba dan selalu berdalih dengan satu kalimat, “Tuhan tidak pernah melarang kita berhutang.”

Seharusnya saat itu pula aku berhenti.

*

“Diam dan tunggulah di rumah, jaga anak-anak dan jadilah istri yang baik. aku pergi bukan untuk menghindar, tapi aku tengah berusaha menyelesaikan semuanya.”

Kali ini, masihkan aku harus percaya?

Hampir setahun lalu kau mulai terlilit hutang besar lagi, hutang yang hanya mungkin terbayarkan jika Gusti Allah menghendaki. Aku bukan pesimis, tapi karena aku tahu bahwa kami tidak punya apa-apa lagi. Rumah tempat kami tinggalpun sudah dijaminkan hutang pada seorang kawan.

Satu, dua, tiga, hingga puluhan penagih datang silih berganti. Menagih dengan kata-kata halus hingga berujung pada caci-maki. Doa-doa buruk pun mulai mereka ucapkan saat hanya ada aku yang menunduk kelu, meremas jari jemari hingga terasa linu, sementara kau menghilang bagai di telan bumi. Duh Gusti, hari esok seperti apa yang akan kuberi pada anak-anakku nanti?

“Ibu sudah makan?” celetuk si tengah saat membuka tudung saji dan hanya menemukan sepotong lauk tersisa Aku tersenyum, berpura-pura kenyang di depan anak-anak sudah menjadi rutunitasku kini. Tak mengapa, mungkin ini tirakatku agar anak-anakku kelak tak bernasib sama. Mungkin juga ini upayaku untuk menangkal doa-doa buruk agar mereka tak tertimpa.

Dapur harus tetap berasap, tungku harus tetap menyala. Dengan segala keterbatasan waktu dan sembari kucing-kucingan dengan para hantu, ya para penagih itu, anak-anakku menyebutnya hantu. Mungkin karena mereka seringkali melihatku gemetar ketakutan setiap kali mataku menangkap bayangan dari celah pintu dan jendela.

“Sampai kapan seperti ini?”

“Jangan cengeng, kita sedang diuji. Kita tidak akan pernah bisa naik kelas jika tak sanggup menyelesaikan soal-soal dalam ujian ini. Kamu harus tahu itu!”

“Aku tahu akan hal itu, tapi aku tak yakin kalau ini ujian.”

“Apa maksudmu?”

“Kamu yang membuat masalah, kamu yang mencari persoalan, jadi selesaikan dengan caramu, jangan libatkan aku!”

“Kamu istriku, kamu otomatis terlibat. Seluruh dunia tidak akan percaya sekalipun hingga berbusa kau katakan itu!”

Dan di sini aku, masih di sini. Dalam sebuah bangunan yang bahkan seluruh cerita di dalamnya, bukan lagi milikku.

Relungsunyi, 070623

Wedaran Terkait

Puisi : Pulang

kibanjarasman

Perempuan itu adalah Yunda

kibanjarasman

Cinta Nabi

kibanjarasman

Cahayaku Tak Benderang

kibanjarasman

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.