Padepokan Witasem
cerita silat jawa, bara di borobudur, cerita silat majapahit, cerita silat bondan, cerita silat kolosal
Bab 7 Taring yang Mengancam

Taring yang Mengancam 2

“Kalian lihat rumah itu? Agaknya rumah dengan kayu penyanggah dan berukiran burung rajawali itulah rumah Ki Juru Manyuran,” berkata orang ketiga dengan jari menunjuk ke arah yang dimaksudkan olehnya.

“Kau benar. Aku yakin itulah rumahnya sesuai petunjuk dari Tuanku Pang Randu,” jawab orang yang berkumis tipis. Lantas dia menghentak tali kekang kuda, mengarahkan tujuan pada rumah berukiran burung rajawali yang cukup besar hingga tampak dari kejauhan. Berderaplah kemudian mereka bertiga dengan kecepatan sedang. Ketika mereka tiba di seberang jalan, pekarangan pun tampak terbentang cukup luas. Pemimpin rombongan  mengerutkan kening.  Dia sedang menebak susunan beberapa bangunan yang terlindung oleh rimbun daun pepohonan dan pendapa yang berada di depan. Menurut laporan yang diterimanya, Ki Juru Manyuran sedang mengembangkan kekuatan pengawal di bawah arahan sejumlah orang asing.

Seorang lelaki yang berjaga di regol halaman rumah itu segera meminta mereka bertiga untuk berhenti. “Siapakah Ki Sanak bertiga?” penjaga regol itu bertanya.

“Kami bertiga datang dari kotaraja. Katakan saja pada pemilik rumah ini bahwa ada tiga orang datang dari kotaraja ingin bertemu dengannya,” jawab lelaki berkumis tipis itu dengan sikap merendahkan penjaga regol.

loading...

“Aku akan menyampaikan pada pemilik rumah, tetapi jelaskan dulu jati diri Ki Sanak bertiga agar aku dapat memberi jawaban yang baik pada pemilik rumah,” ucap penjaga regol itu agak keras. Dia tersinggung dengan sikap lelaki berkumis tipis itu.

“Kakang, lebih kau hajar saja penjaga ini. Dia tidak tahu sedang berhadapan dengan siapa,” bisik lelaki berbaju putih.

“Diamlah!” sergah lelaki berkumis tipis pada temannya. Sambil berpaling pada penjaga regol, orang ini berkata dengan nada kasar, “Ki Sanak, aku tidak mengulangi permintaanku. Sebaiknya kau segera lakukan apa yang aku perintahkan padamu!”

Lelaki penjaga regol menggeretakkan gigi, berusaha menahan marah yang mulai membakar hatinya. “Pergilah! Kalian bertiga segera pergi dari sini!”

Ketiga orang yang mengaku dari kotaraja pun menertawakan penjaga regol. Seorang dari mereka berkata, ”Apa kau kira dapat mengusir kami begitu saja seperti menepuk lalat? Ataukah kau akan berteriak meminta pertolongan pada orang-orang sekitar rumah ini?”

Penjaga regol membentak keras dan menyuruhnya untuk diam. Tiba-tiba datang beberapa anak muda dengan tubuh basah bermandi keringat datang menghampiri lelaki penjaga regol. Segera mereka berdiri di sebelah kiri dan kanan lelaki penjaga regol. Seorang anak muda  yang bertubuh sedang dan mengenakan celana setinggi betis kemudian bertanya, ”Apa yang sedang terjadi, Ki Marta?”

“Mereka adalah sekumpulan orang yang tidak tahu tata krama, Ngger,” jawab Ki Marta, lelaki yang menjaga regol.

“Ki Sanak bertiga, kami mendengar apa yang dikatakan oleh orang tua kami ini, dan memang seharusnya kalian bertiga cepat-cepat keluar dari pedukuhan kami,” kata anak muda yang sepertinya adalah pemimpin dari anak-anak muda yang baru saja datang.

“Apakah kita akan pergi sekarang, Ki Wanasinga?” bertanya orang berpakaian putih.

Orang yang dipanggil sebagai Ki Wanasinga itu menggelengkan kepala. Bibirnya menyeringai tipis dan kumis tipisnya sedikit menambah garang pada wajahnya. Lalu katanya, ”Tidak ada salahnya kita menguji kemampuan mereka.” Dia menoleh wajah kedua kawannya bergantian lalu menganggukkan kepala. Sambil menatap tajam wajah Ki Marta, dia berkata, ”Ki Marta, bukankah itu namamu? Nah sekarang dengarkan kata-kataku! Aku dan kedua kawanku ini akan pergi meninggalkan pedukuhan ini jika kalian dapat mengalahkan kami bertiga. Dan kalian dapat bertempur bersama-sama melawan salah seorang dari kami. Kalian dapat memilih salah satu dari kami bertiga untuk menjadi lawan kalian.”

“Sombong!” bentak seorang anak muda sambil meloncat maju mendorongkan kepalan tangan menyerang Ki Wanasinga. Dalam sekejap saja terjadi keributan di tengah jalan dan tepat berada di depan halaman rumah Ki Juru Manyuran. Ki Wanasinga dikeroyok oleh beberapa anak muda yang tadinya berkumpul di halaman belakang rumah.

“Marilah bermain denganku, belalang-belalang kecil! Kalian akan merasakan patah tulang dengan latihan bersamaku,” Ki Wanasinga berkata meremehkan sambil menggertak nyali para pengawal pedukuhan. Tangan kanannya membentuk seperti cakar harimau dan berusaha meremas setiap kepalan tangan yang mendekatinya.

Anak-anak muda itu bukanlah anak-anak yang tidak pernah belajar olah kanuragan, tetapi mereka sedang menghadapi orang yang mempunyai lapisan jauh diatas mereka. Sesaat kemudian kepungan mereka yang rapat mulai berlubang. Satu dua anak muda terpental keluar dari barisan. Namun teman-teman mereka cepat menutup lubang itu dengan gerakan yang gesit dan tangkas.

Sekalipun mereka terpental dan jatuh, anak-anak muda itu semakin beringas menyerang Ki Wanasinga. Menyadari jika dia sedang berhadapan dengan sekelompok pemuda yang tidak mengenal rasa sakit, Ki Wanasinga sedikit menambah lapisan tenaga. Beberapa jurus kemudian kepungan itu semakin banyak mempunyai lubang yang agaknya sulit untuk ditutup kembali, anak-anak muda yang terkena hantaman keras Ki Wanasinga mulai merasakan sakit pada setiap sendi tubuhnya.

Satu atau dua orang mengerang kesakitan dan sulit untuk bangkit kembali.

Tiba-tiba pada saat itu ada bayangan berkelebat cepat memasuki lingkaran, tahu-tahu Feng Kong Li menerjang Ki Wanasinga, mengarahkan tendangan ke arah perut. Ki Wanasinga cukup terkejut karena angin tendangan itu sudah terasa olehnya sebelum telapak kaki lawan benar-benar mendarat pada perutnya.

Wedaran Terkait

Taring yang Mengancam Pajang 9

kibanjarasman

Taring yang Mengancam Pajang 8

kibanjarasman

Taring yang Mengancam Pajang 11

kibanjarasman

Taring yang Mengancam Pajang 10

kibanjarasman

Taring yang Mengancam 7

kibanjarasman

Taring yang Mengancam 6

kibanjarasman

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.