“Angger, kau sudah berada cukup jauh dalam melangkah di jelajah orang-orang berilmu tinggi dalam olah kanuragan. Selain ilmu kebal dan serangan melalui sorot mata, kini kau mampu mengolah watak panas menjadi. seperti cahaya matahari yang terhalang mendung,” berkata Ki Waskita. Ki Jayaraga menambahkan kemudian,” namun itu tidak berarti engkau tidak tak tertandingi. Mungkin ada satu dua orang yang melebihimu, karena memang tidak ada yang sempurna.”
” Kiai berdua. Ki Gede. Aku menyadari kurnia yang aku terima sudah terlampau banyak. Aku sadar masih banyak orang yang memiliki ilmu yang jauh lebih tinggi dari ilmuku. Mungkin di Menoreh, Mataram, Pegunungan Sewu atau padepokan-padepokan yang tersebar di Mataram,” berkata Agung Sedayu.
“Aku ingin kesadaran seperti itu akan tetap berada dalam dirimu. Dengan begitu, kau akan memberi manfaat lebih banyak lagi dengan sikap dan pandangan hidupmu Agung Sedayu.” berkata Ki Gede Menoreh.
Kemudian katanya, “Peliharalah kesadaran itu di dalam hatimu. Meskipun demikian, kau tetap dapat meningkatkan ilmumu lebih tinggi lagi. Kau telah memahami bahwa ilmu mempunyai keluasan yang hampir tidak terbatas, dan kau juga menyadari jika orang-orang seperti diri kita inilah yang menjadi pembatasan bagi ilmu itu sendiri. Agar kau tidak menjadi pembatas bagi ilmu, maka sewajarnya tetap kau pegang ajaran gurumu dan pesan orang tua seperti kami. Segala sesuatu yang terikat dalam dirimu tidak lepas dari Sumber dari segala sumber dari kehidupan. Sumber itu pula yang menjadi penggerak utama setiap rasa welas asih. Segala kemurahan telah kau terima, karena itu harus kau pergunakan bagi kebesaran namaNya.”
Agung Sedayu menundukkan kepalanya dan berkata pelan, “aku akan selalu mengingatnya.”
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Terbit rasa syukur dan terima kasih atas kurnia yang telah diterimanya. Semakin tinggi lapisan yang dicapainya akan selalu disertai dengan segala tanggung jawab yang sebanyak itu pula.
“Sekarang, kita dapat meninggalkan sungai ini.” berkata Ki Gede. Lalu katanya, “beristirahatlah sebaik-baiknya Agung Sedayu.”
Demikianlah kemudian orang-orang itu meninggalkan sungai dan beriringan menuju rumah Ki Gede Menoreh. Setelah singgah barang sejenak di rumah Ki Gede, kemudian Agung Sedayu melangkah pulang disertai Ki Waskita dan Ki Jayaraga.
Pada malam Rara Wulan bertempur dengan empat orang pengikut Pangeran Ranapati, di Kademangan Sangkal Putung, seorang lelaki tua yang bertubuh gempal dan berhidung agak besar sedang mendekati rumah Swandaru Geni. Rambutnya yang sedikit berombak tergerai hingga ke punggung. “Benarkah ini rumah Ki Swandaru?” bertanya lelaki itu kepada perondan yang dijumpainya.
“Benar ki sanak. Siapakah ki sanak?” perondan bertanya balik.
“Oh aku hanya seorang pengembara yang kemalaman,” jawabnya.
“Ki sanak dapat bermalam di banjar pedukuhan induk. Aku akan memberitahukan kepada penjaga banjar tentang ki sanak,” kata perondan yang menduga orang di hadapannya itu membutuhkan tempat bermalam.
“Ah, orang sepertiku dapat bermalam dimana saja,” kata orang itu seakan dapat mengerti maksud perondan, lalu,” sampaikanlah bahwa aku ingin bertemu dengannya.”
“Siapakah sebutan ki sanak?”
“Katakan padanya bahwa aku, Ki Kawuk Blambangan ingin bertemu dengannya. Esok usai senja aku akan kembali kesini.”
“Baik ki sanak. Kami sampaikan Ki Swandaru bila ia turun ke gardu malam ini atau jika tidak, esok seusai fajar.”
Demikianlah kemudian orang yang menyebut dirinya sebagai Ki Kawuk Blambangan berlalu dari tempat itu. Para petugas ronda mengawasinya hingga bayangan Ki Kawuk Blambangan hilang dalam kegelapan.
“Apakah kau tidak curiga pada orang itu?” tanya seorang peronda.
“Tentu saja aku mencurigainya. Kita harus sebarkan kehadiran orang itu kepada teman-teman yang lain. Sehingga nantinya kita dapat terus mengawasinya sebelum Ki Swandaru menjelaskan persoalannya,” jawab peronda yang lebih tua umurnya. Mereka yang mendengarnya lalu menganggukkan kepala setuju.
“Sebagai murid utama Perguruan Orang Bercambuk, sudah barang tentu Ki Swandaru mempunyai ilmu yang tinggi. Mungkin hanya selapis tipis dibandingkan kakak seperguruannya, Agung Sedayu,” gumam Ki Kawuk Blambangan dalam hatinya sesaat setelah pergi meninggalkan para peronda.
Ia masih bergumam,” kademangan ini terlihat sangat berkembang. Sekalipun hanya ada Ki Swandaru dan istrinya tentu aku tidak boleh ceroboh bertindak. Aku harus tetap waspada sampai saatnya itu tiba,” dalam hatinya.
Ia berbelok ke kiri ketika sudah sampai di simpang tiga. Untuk menghindari para perondan, ia mempercepat langkahnya dan mengetrapkan ajian yang serupa dengan Sapta Pangrungu.
Sejenak kemudian, ia menyusup ke sawah yang mengering karena baru saja panen kemudian menuju hutan kecil bagian utara. Sesampainya disana, suara burung hantu ia perdengarkan. Berturut-turut suara burung kedasih pun bergema.
“Bagus. Bathara Keling belum meninggalkan gubuk di dalam hutan,” desisnya kemudian ia menyelinap diantara pohon-pohon dalam hutan.
” Ki Kawuk,” berkata Bathara Keling setelah melihat bayangan mendekatinya.
“Sebentar lagi kita akan masuk di sekitar anak demang Sangkal Putung,” kata Ki Kawuk setelah duduk sebelah menyebelah dengan Bathara Keling yang berwajah sedikit lonjong dan bertubuh agak kecil.
“Baguslah. Apakah tadi Ki Kawuk sudah bertemu dengan anak itu?” bertanya Bathara Keling.
“Belum. Aku bisa menemuinya tetapi ia dapat menjadi curiga karena kedatanganku pada malam yang larut.”
“Lalu apakah kita tetap seperti rencana semula?”
“Benar. Agaknya kemampuan anak itu hanya selapis tipis dari Agung Sedayu.”
” Darimana kesimpulan itu didapatkan? Kita belum menjajagi anak itu.”
“Mudah. Aku tidak merasakan pancaran tenaga yang sangat besar dari dalam rumah itu. Saat kita mengamati Agung Sedayu yang sedang melatih seorang anak muda di bukit kecil Tanah Menoreh, aku merasakan getar yang lumayan besar. Dan getaran-getaran itu aku tangkap di saat keduanya sedang tidak memusatkan nalar budi. Maksudku, getaran Agung Sedayu dan Swandaru tidak jauh berbeda ketika keduanya diam.”
” Terserah Ki Kawuk. Aku akan istirahat sebentar lagi dan membuat rencana itu menjadi masak di kepalaku,” kata Bathara Keling lalu beringsut ke dalam gubuk.
“Baiklah. Malam ini kita melihat bagian belakang rumah Ki Demang,” kata Ki Kawuk kemudian bersandar pada sebuah pohon yang tak jauh dari gubuknya.
Ketika malam telah memasuki kedalaman yang cukup gelap. Di bagian belakang dinding pagar rumah Swandaru Geni, Ki Kawuk melompat ke sebuah dahan pohon mangga yang cukup besar. Ia mengamati secara mendalam lingkungan yang berada di bagian belakang rumah ki demang. Terlihat olehnya sebuah kandang kuda, sanggar terbuka dan sebuah bangunan kecil yang menurutnya itu adalah sanggar tertutup. Ternyata pada malam itu Ki Kawuk Blambangan melakukan pengamatan itu hingga ayam berkokok untuk pertama kali. Merasa telah cukup melakukan pengamatan, Bathara Keling menggamit Ki Kawuk Blambangan dan memberi isyarat untuk pergi. Dengan ilmu meringankan tubuh yang cukup tinggi serta kemampuan menyerap bunyi, kedua orang tersebut tidak mengalami kesulitan meninggalkan rumah Swandaru.
Keesokan harinya di pendapa, Swandaru mengerutkan kening mendengar nama Ki Kawuk Blambangan disebut oleh petugas ronda. Ia mencoba mengingat mungkin pernah bertemu atau akan mengenali orang itu.
“Aku kira aku belum pernah mengenal nama itu. Ia orang yang pernah aku kenal lalu menggunakan sebutan lain, tetapi mungkin juga ia belum pernah aku temui,” kata Swandaru.
Pandan Wangi yang kebetulan berada didekatnya berkata,” kakang sebaiknya tidak terlalu percaya dulu dengan orang itu. Meskipun ia menawarkan sesuatu yang barangkali akan menarik perhatian kakang.”
Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti maksud istrinya. Pandan Wangi mengingatkan suaminya tentang Ki Ambara yang pernah berjual beli kuda dengannya. Hingga kemudian mendorong Swandaru untuk mengangkat senjata melawan Mataram, meski pada akhirnya niat itu dapat diurungkan.
Akan tetapi Pandan Wangi juga terbayang kembali betapa suaminya pernah jatuh ke pelukan wanita yang lebih muda. Sebagai seodang wanita yang berusaha menunjukkan kesetiaan kepada suaminya, sudah barang tentu berat baginya untuk melupakan peristiwa itu. Meskipun Agung Sedayu tidak mengatakan yang sebenarnya, akan tetapi naluri kewanitaan Pandan Wangi mengatakan ada sesuatu yang telah terjadi pada suaminya.
Kehadiran Empu Wisanata yang membantah Ki Ambara, agaknya menjadi bekal baginya untuk kembali mengarungi rumah tangga dengan Swandaru. Sejak peristiwa Kedung Jati sebenarnyalah Pandan Wangi masih berusaha memendam dalam-dalam gejolak perasaannya. Kehadiran Ki Kawuk Blambangan ternyata mengoyak kembali luka lama yang belum kering.
Swandaru melihat kesan yang berbeda pada raut wajah Pandan Wangi.
“Baiklah, Nyi. Aku akan melihat dulu pembuatan bendungan itu. Setelah matahari berada di puncak, aku akan segera pulang,” berkata Ki Swandaru.
Nyi Pandan Wangi menganggukkan kepala sambil melepas kepergian suaminya.
“Agaknya aku memang harus selalu mengamati diri seperti pesan guru,” gumam Ki Swandaru dalam hatinya.
“Dan tentu saja kakang Agung Sedayu tidak akan mengampuni aku kali ini. Sekar Mirah juga mungkin saja tidak akan pernah memaafkan diriku lagi seperti yang telah berlalu,” desisnya dalam hati sambil matanya menatap bentangan sawah di hadapannya.
Lalu Swandaru bergegas menuju ke sungai yang sedang dibangun sebuah bendungan dan jembatan kecil. Beberapa pekerjaan hari itu telah ia limpahkan kepada para bebahu kademangan. Ki Demang Sangkal Putung sendiri sudah semakin beranjak usia, dengan begitu Ki Swandaru lebih banyak mewakili ayahnya dalam pekerjaan sehari-hari.
Tanpa setahu dirinya, sepasang mata lekat-lekat mengawasi Ki Swandaru Geni. Dari jarak yang cukup jauh, orang ini mengamati keadaan di sekeliling rumah Ki Demang Sangkal Putung.
“Perempuan itu mampu menyembunyikan ilmunya. Sudah tentu ia akan berubah menjadi seekor singa betina bila kedua pedangnya sudah tergenggam,” kata orang itu.
“Bagaimana aku dapat mendekati perempuan itu saat siang hari?” pikir orang itu yang ternyata adalah Ki Kawuk Blambangan. Sedangkan Bathara Keling telah mengikuti kepergian Ki Swandaru Geni.
“Baiklah, aku akan memutar dan mencoba memasuki halaman belakang rumah,” kata Ki Kawuk Blambangan. Kemudian ia bergeser memutari rumah Ki Demang untuk mencari tahu keadaan rumah itu di siang hari lebih mendalam.
Selama berhari-hari agaknya Ki Kawuk Blambangan telah melakukan pengamatan terhadap rumah yang ditinggali Swandaru dan keluarganya. Demikian pula dengan Bathara Keling yang juga mengikuti semua kegiatan Swandaru sehari-hari di kademangan. Maka dengan begitu segala sesuatu kebiasaan Swandaru dan istrinya telah mereka kenal dengan baik.
“Agaknya istri Swandaru tidak pernah menggunakan sanggar itu, Ki Keling,” kata Ki Kawuk Blambangan lalu “aku tidak pernah melihatnya memasuki sanggar di waktu aku mengamati rumah itu.”
“Ki Kawuk dapat mencoba untuk mengamati di malam hari,” kata Bathara Keling. Ki Kawuk mengangguk kecil, lalu dia memutuskan untuk suatu ketika akan mengamati sanggar itu di malam hari. Bahkan ia akan menggunakan sanggar itu jika rencana yang disusun berhasil memasuki kehidupan keluarga Swandaru Geni.
Senja yang berlalu dan telah berganti malam, Ki Kawuk Blambangan menepati janjinya untuk menemui Swandaru Geni.
Sebenarnyalah Swandaru telah bersiap untuk menemui orang seperti yang telah disampaikan para pengawal kepadanya. Agaknya karena Swandaru merasa harus kembali ke dalam untuk mengingatkan Pandan Wangi agar ikut mengamati halaman belakang. Swandaru merasa perlu melakukan itu karena bukan suatu kebiasaan bagi dirinya menemui orang yang tidak dikenalnya untuk pertama kali pada malam hari. Karena itu ia merasa perlu memberi tahu istrinya untuk meningkatkan kewaspadaan.
Tidak berapa lama kemudian, ia telah kembali ke pendapa dan didapatinya seorang lelaki berdiri tegak di tengah halaman depan rumahnya. Demikian lelaki itu melihat Swandaru, ia lalu mengangguk hormat.
“Maaf, Ki Swandaru. Aku datang menemuimu di saat hari mulai gelap.”
Ki Swandaru termangu-mangu sejenak. Ia belum pernah mengenal orang itu. Namun ia segera teringat jika ia akan kedatangan seorang tamu usai senja. Ia pun segera mempersilahkan orang itu naik pendapa dan demikian orang itu duduk, maka Ki Swandaru memanggil seorang di dalam untuk membuatkan sekedar minuman dan makanan bagi tamunya.
Sejenak kemudian telah tersaji minuman hangat dan KI Swandaru mempersilahkan tamunya untuk minum.
“Marilah, Ki Sanak. Silakan minum mumpung masih hangat,” kata Ki Swandaru mempersilakan.
KI Kawuk Blambangan merasa harus menyesuaikan dirinya untuk mengikuti kebiasan tuan rumah. Sesaat ia termangu-mangu sejenak. Ia belum berkata tentang apapun akan tetapi lebih dahulu sudah dipersilakan untuk minum.
Sambil menganggukkan kepala dan tersenyum, Ki Kawuk Blambangan berkata,” terima kasih. Tidak baik menolak rezeki.” Ia kemudian minum beberapa teguk.
Setelah minum beberapa teguk, ia bertanya, “Maaf Ki. Jadi aku sekarang berhadapan dengan Ki Swandaru Geni?”
“Ya, Ki Sanak,” jawab Swandaru. Kemudian ia bertanya, “Siapakah Ki Sanak ini dan apakah maksud kedatangan Ki Sanak?”
“Namaku Ki Kawuk Blambangan. Apakah Ki Swandaru pernah mendengar?”
Swandaru menggelengkan kepala sambil berkata, “Belum, Ki Sanak. Aku belum pernah mendengarnya.”
“Baiklah. Agaknya aku harus bersikap terbuka dan berkata sebagaimana mestinya. Ki Swandaru, ketahuilah, sebagai murid utama Perguruan Orang Bercambuk tentu Ki Swandaru berada selapis tipis di bawah Ki Rangga Agung Sedayu sebagai kakak seperguruan,” berkata Ki Kawuk Blambangan. Lalu katanya,“ aku kemari untuk berteman dengan Ki Swandaru, agar aku yang sudah tua ini dapat memperluas ilmu kanuragan dan wawasan yang lain.”
“Aku tidak mengerti,” desis Ki Swandaru dengan dahi berkerut
“Ki Swandaru. Bukankah KI Swandaru telah melakukan perang tanding dengan Ki Rangga Agung Sedayu di Tanah Perdikan Menoreh?”
Raut muka Ki Swandaru memerah. Ia tidak suka dengan sikap Ki Kawuk yang terkesan sombong. Bahkan Swandaru sedikit tersinggung ketika Ki Kawuk mengatakan itu kepadanya. Karena baginya, kekalahan dari kakak seperguruannya seharusnya tidak diketahui oleh banyak orang. Oleh karenanya ia menjadi heran. Dipandanginya kedua mata Ki Kawuk seakan-akan menusuk isi hati dan mengungkapkan apa yang menjadi maksud kedatangan Ki Kawuk. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Dari mana Ki Kawuk mengetahuinya?”
“Ketika perang tanding itu terjadi, sebenarnyalah orang-orang dari perguruan Kedung Jati ikut menjadi saksi,” berkata Ki Kawuk Blambangan.
“Sebenarnyalah Pangeran Ranapati mengetahui perang tanding itu melalui pengikutnya yang menyusup di Perguruan Kedung Jati. Akan tetapi Pangeran Ranapati telah memutuskan untuk tidak turut dalam gerakan yang digagas oleh Ki Saba Lintang,” berkata Ki Kawuk Blambangan.
Jantung Swandaru berdentang lebih keras. Ia merasakan dirinya seperti terhempas dalam perut Merapi. Rasa heran semakin bergayut dalam hatinya.
“Siapakah sebenarnya orang ini dan Pangeran Ranapati?” desis Ki Swandaru dalam hatinya.
“Aku mohon maaf. Aku akui ucapanku tadi tentu telah menyinggung Ki Swandaru. Dan aku bermaksud baik dengan berusaha menemui Ki Swandaru. Akan ada banyak hal yang dapat kita bicarakan.”
Namun kemudian, berkata Ki Kawuk,” sudahlah Ki. Aku lihat Ki Swandaru dalam gairah tinggi membangun kademangan. Keadaan sekarang ini tentu sangat jauh berbeda dibandingkan saat Tohpati masih disekitar kademangan.”
Ia melanjutkan,” perdagangan dan kiriman-kiriman hasil bumi dari pedukuhan agaknya deras mengalir melewati jalanan yang rata dan kokoh.”
Ki Kawuk merasa ia harus dapat mengendalikan pikiran Swandaru. Oleh karenanya ia segera mengalihkan pembicaraan seputar kemajuan Kademangan Sangkal Putung. Ki Demang Sangkal Putung yang sudah sering kesulitan menjalankan tugasnya kini menyerahkan sepenuhnya ke Swandaru. Kemudian pembicaraan mengalir lancar ketika Ki Swandaru menceritakan segala usaha yang dilakukan untuk kemajuan kademangan. Ki Kawuk sesekali manggut-manggut sambil mengerutkan kening. Bahkan Ki Kawuk juga menyatakan gagasannya kepada Ki Swandaru. Dalam pada itu, Ki Kawuk dalam pengakuannya adalah seorang anak saudagar hasil bumi. Dan perlahan-lahan keheranan Swandaru mulai terkikis dan untuk sejenak dia telah melupakan pertanyaan yang terbersit dalam hatinya.
Ki Kawuk juga bercerita tentang perjalanannya di masa muda ketika ia diajak oleh ayahnya ke berbagai daerah. Dari Kadipaten Gresik hingga Demak, dari Jepara hingga pesisir selatan Panaraga. Sesekali Ki Swandaru melontarkan pertanyaan yang dijawab cukup tangkas oleh Ki Kawuk.
Perlahan-lahan perasaaan Ki Swandaru mulai mengendap dan ia merasa sedikit tertarik pada Ki Kawuk Blambangan.
Hingga kemudian Ki Kawuk berkata, “baiklah Ki Swandaru. Aku menghargai kesediaan Ki Swandaru menerimaku sebagai seorang tamu. Mungkin pertemuan kita kali ini bukanlah pertemuan yang terakhir. Aku mengagumi semua gagasan Ki Swandaru untuk kemajuan kademangan ini. Mungkin di lain kesempatan, aku akan mendapat giliran menyampaikan gagasan yang sekiranya dapat diterima oleh Ki Swandaru demi kemakmuran rakyat kademangan ini.”
“Jika demikian, dimanakah Ki Kawuk tinggal selama ini di kademangan?”
“Dalam hal ini, aku tidak ingin merahasiakan siapa diriku. Maafkanlah aku, Ki Swandaru. Pada akhirnyalah Ki Swandaru akan mengetahui tempatku berteduh selama ini. Sungguh tidak pantas bagiku mengundang Ki Swandaru karena aku bukanlah siapa-siapa di tanah Mataram.”
Namun kemudian katanya, “Tetapi aku tahu bahwa aku akan datang satu dua kali ke rumah Ki Swandaru. Apabila hal semacam itu mendapat perkenan dari Ki Swandaru yang tentunya sudah sangat sibuk setiap hari.”
“Silahkan Ki Kawuk. Ki Kawuk dapat menemuiku kapan saja. Aku akan memberi pesan kepada para pengawal,” berkata Ki Swandaru.
Malam semakin erat menyelimuti Kademangan Sangkal Putung. Ki Kawuk Blambangan segera meminta diri dan berharap akan ada pertemuan dengan Ki Swandaru di hari-hari depan. Swandaru kemudian mengantar tamunya sampai ke regol halaman dan tidak melepaskan tatap matanya dari orang itu berjalan menjauhi rumahnya.
Demikianlah hingga keesokan harinya, Ki Kawuk berusaha untuk berada di tempat Swandaru singgah saat berkeliling kademangan. Namun begitu, Ki Kawuk bersikap seolah-olah dirinya tidak melihat Ki Swandaru. Ki Kawuk berusaha melibatkan dirinya dalam hubungan dengan rakyat sekitarnya. Selain ia akan mendapat bahan-bahan tentang kemampuan kademangan itu sendiri, ia juga dapat mempelajari cara berpikir Ki Swandaru Geni. Setelah beberapa pekan, ia berusaha menempatkan dirinya dalam lingkungan kademangan. Sebenarnyalah keadaan Ki Kawuk telah diketahui oleh Ki Swandaru yang agaknya telah menugaskan beberapa petugas sandi untuk memperhatikan gerak geriknya. Kesabaran Ki Kawuk dan kemampuannya mengamati keadaan agaknya memberikan hasil yang ia harapkan. Petugas sandi Kademangan Sangkal Putung tidak menemukan sesuatu yang tidak wajar selama kehadirannya di pedukuhan induk hingga pedukuhan sekitarnya.
“Tidak ada, Ki Swandaru. Beberapa malam aku juga mengikutinya hingga keluar pedukuhan induk. Agaknya ia memiliki rumah yang berada sedikit di luar Pedukuhan Randulanang,” berkata seorang petugas sandi.
“Terkadang ia terlihat di pasar lembu pada hari pasaran. Orang ini agaknya juga terampil jual beli lembu dan kerbau, Ki,” kata kawannya.
Dengan kepala terangguk-angguk, Ki Swandaru bergumam,” ia mungkin mengatakan yang sebenarnya.”
“Tentang apakah Ki Swandaru?”
“Dahulu ia merupakan anak saudagar. Pembicaraan yang kami lakukan juga memberikan tanda jika ia termasuk orang yang berwawasan luas.”
“Agaknya ia berkata jujur. Aku pernah melihatnya berbicara dengan seorang petani di pedukuhan sebelah selatan kademangan ini. Ia menunjuk ke suatu arah, lalu tangannya bergerak-gerak seakan-akan memberitahu petani itu tentang apa yang tepat dikerjakan,” kata petugas sandi yang pertama. Lalu ia menambahkan,” esoknya aku temui petani itu. Lalu ia mengatakan orang yang dijumpainya di pematang telah memberi serba sedikit tata cara tanam berselang-seling.”
Banyak bahan pembicaraan yang terjadi diantara ketiga orang itu. Lalu Swandaru Geni berkata dalam hatinya,” agaknya Ki Kawuk ini orang yang dapat dipercaya. Mungkin ada baiknya aku bicarakan dengan Pandan Wangi tentang kemungkinan Ki Kawuk untuk menempati satu rumah yang kebetulan kosong di pedukuhan induk.”
Sesampainya di regol halaman rumah Ki Swandaru, kedua petugas sandi itu meminta diri untuk pulang dan Swandaru segera menuju pakiwan untuk sekedar membenahi dirinya.
Setelah makan malam dengan keluarganya dan Pandan Wangi yang telah membereskan peralatan makan, lalu KI Swandaru berkata,” Wangi, bagaimana jika Ki Kawuk itu aku tempatkan di rumah yang dahulu ditempati oleh Ki Sunu?”
“Apakah kakang benar-benar mempercayai orang itu?” bertanya Pandan Wangi kepada suaminya.
“Tentunya aku bertanya kepadamu setelah aku mempunyai keyakinan tentang orang itu.”
“Baiklah kakang. Aku akan menurut apa yang kakang anggap baik,” kata Pandan Wangi. Ki Swandaru menangkap getar gelisah pada perasaan istrinya. Sebagai orang yang sudah hidup bersama sekian lama, Ki Swandaru dapat menangkap perasaan istrinya melalui raut muka dan sinar mata istrinya. Namun begitu, Ki Swandaru adalah orang yang keras hati, ia tidak mudah digoyahkan hanya dengan sinar mata dan raut muka meski itu orang yang ia cintai. Terbayang olehnya kemajuan-kemajuan yang akan diraih kademangan Sangkal Putung jika Ki Kawuk berada di sisinya untuk sekedar menjadi teman bicara.
Sementara itu di serambi Kepatihan, Ki Patih Mandaraka sedang duduk berhadapan dengan Pangeran Mangkubumi.
“Paman Patih, sampai hari ini kita belum mendapat kabar dari Glagah Putih dan Rara Wulan. Terlalu lama menunggu akan memberi kesempatan Pangeran Ranapati lebih bebas menyusun diri,” berkata Pangeran Mangkubumi.
“Angger Pangeran, agaknya keadaan di Panaraga belum dapat memberikan gambaran yang terang bagi Glagah Putih. Mungkin saja dia masih menunggu kesempatan mendekati Pangeran Ranapati.”
“Petugas sandi yang kita kirimkan telah memberi gambaran itu, paman.”
“Dan kita akan mengikuti gambaran itu agar lebih dapat memperluas pengamatan. Sehingga penilaian yang kita lakukan dapat menghindarkan benturan yang lebih luas. Apalagi angger Pangeran Jayanegara belum terlihat membantu Pangeran Ranapati.”
Pangeran Mangkubumi menarik nafas dalam-dalam. Ia mengakui kesabaran yang luar biasa dari Ki Patih untuk memutuskan sikap. Dan ia juga mengagumi kesabaran dan kecermatan Ki Patih Mandaraka dalam mengumpulkan bahan-bahan yang diperlukan.
“Apakah sebaiknya kita merundingkan keadaan Panaraga ini dengan Panembahan, Paman Patih?” bertanya Pangeran Mangkubumi.
“Sebaiknya memang begitu, angger. Aku kira dalam satu dua malam ini akan menerima laporan dari Ki Tumenggung Wirayudha sendiri. Ia telah mengirimkan empat atau lima petugas sandi yang terpisah dari Glagah Putih dan Rara Wulan,” jawab Ki Patih Mandaraka.
“Jika begitu, aku minta diri. Selebihnya aku akan menunggu bimbingan Paman Patih,” berkata Pangeran Mangkubumi sambil membungkuk hormat. Ki Patih Mandaraka melepaskan Pangeran Mangkubumi dengan senyum. Dalam hatinya, ia bertanya pada dirinya sendiri,”apakah akan terjadi pertumpahan darah demi sebuah tahta Mataram?”
Sedangkan di Panaraga sendiri, pengikut Pangeran Ranapati dan prajurit Panaraga ternyata gagal menangkap mereka yang keluar dari rumah. Kelompok yang dipimpin oleh Glagah Putih dan Rara Wulan telah berhasil keluar dari kadipaten. Pengalaman Glagah Putih dan Rara Wulan selama menjadi pengembara telah membantu mereka untuk menghilangkan jejak. Sebenarnyalah Nyi Kantil kembali ke Panaraga mengikuti Rara Wulan. Bagaimanapun Rara Wulan tidak sampai hati membiarkan Nyi Kantil seorang diri diantara banyak lelaki. Menjelang matahari menggapai puncaknya, kedua suami istri tiba di rumah Madyasta.
“KI Madyasta, kita harus memikirkan cara supaya Nyi Kantil tidak menganggu pengamatan kita di kadipaten,” berkata Glagah Putih setelah mereka saling bertanya tentang keadaan masing-masing.
“Memang benar Ki Glagah Putih. Ki Darma Tanda sendiri keberatan jika Nyi Kantil berada di rumahnya hingga waktu yang tidak dapat ditentukan. Meski begitu, ia telah mengirim orang untuk menemui salah satu sanaknya di pedukuhan yang jauh dari sini. Menurut Ki Darma Tanda, bibinya ini tinggal bersama seorang anak perempuan yang sudah berusia cukup. Jadi, sementara ini, menurutku usulan Ki Darma Tanda dapat diterima.”
“Apakah Ki Madyasta berkata tentang tujuan kita?”
“Tentu tidak. Aku hanya mengatakan kepadanya jika seorang keluargaku telah menyusul kemari untuk sekedar melihat Panaraga. Dan jika memungkinkan mungkin saudaraku akan pindah ke Panaraga, begitu aku katakan.”
“Oh, tentulah. Ki Madyasta akan selalu dapat mengamankan cara terbaik bagi Mataram,” berkata Glagah Putih dengan senyum di wajahnya. Ki Madyasta mengangguk hormat lalu menarik nafas dalam-dalam, katanya,”aku telah mendengar beberapa prajurit kadipaten tentang Pangeran Ranapati. Pangeran jayaraga telah menerima usulan Mas Panji Wangsadarana untuk membentuk pasukan kecil yang mirip dengan pasukan khusus yang dipimpin Ki Rangga Agung Sedayu.”
Darah Galagah Putih dan Rara Wulan seakan mengalir lebih cepat mendengarkan berita Ki Madyasta. Sejenak kemudian, berkata Glagah Putih,”bagaimana kita melaporkan ke Mataram?”
“Aku akan pergi ke Mataram. Dan agaknya Ki Tumenggung Wirayudha telah mengirim dua orang petugas yang menggantikan Ki Sumbaga dan Ki Sungkana,” jawab Madyasta.
Kemudian, ia berkata,” Malam nanti Ki Galagah Putih dan Nyi Rara Wulan akan dapat bertemu dengan kedua orang itu di alun-alun kadipaten. Aku akan menyertai kalian. Aku kira kita tidak perlu menyembunyikan diri dari prajurit Panaraga.”
Glagah Putih berpandangan dengan istrinya, lalu Rara Wulan menganggukkan kepala. Madyasta kemudian mempersilahkan suami istri itu untuk beristirahat barang sejenak. Sedangkan ia akan menemui kedua petugas sandi yang baru untuk melakukan beberapa langkah untuk mengamankan para petugas sandi dari penglihatan para pengikut Pangeran Ranapati.
(bersambung)
- https://tansaheling.com/2017/10/16/lanjutan-api-di-bukit-menoreh-397-1/
- https://tansaheling.com/2017/10/18/lanjutan-api-di-bukit-menoreh-397-2/
- https://tansaheling.com/2017/10/22/lanjutan-api-di-bukit-menoreh-397-3/
- https://tansaheling.com/2017/10/29/lanjutan-api-di-bukit-menoreh-397-4/
4 comments
Mmm.. Ternyata belum berubah SG nya…
Mungkin ini yang menjadi konflik paling mendebarkan sepanjang ADBM
Mmm.. Ternyata belum berubah SG nya…