Derai hujan masih belum juga berhenti. Deras bagai ditumpahkan dari langit. Aku berlari pulang menerobos deras hujan karena perutku sudah perih kelaparan.
Suara kecipak air terbelah jejakku menghambur tidak beraturan. Air hujan geram merajamku hingga baju seragamku kian melekat di tubuh. Tas dan sepatu aku bungkus dengan tas plastik agar aman dari terpaan hujan. Aku berlari dengan telanjang kaki. Gigiku bergemeletuk, ruas jari-jariku memucat. Tubuhku mengigil kedinginan. Aku makin bergegas saat membayangkan hangatnya berdiang di depan perapian sambil mengunyah singkong bakar.
Beberapa kali cahaya petir berkilatan membelah langit. Pohon-pohon menghindari sambaran dengan merundukkan pucuk dahan. Kawanan burung emprit hinggap berhimpitan saling menghangatkan.
“Jangan bermain hujan. Sangat berbahaya karena petir bisa memanggangmu!” Terngiang nasehat bapak.
Jantungku berdebar, gamang antara berteduh atau melanjutkan langkah. Rumahku masih berjarak beberapa puluh meter lagi.
“Ah, sudah kepalang basah.” Aku terus menerjang hujan.
Tinggal satu belokan lagi aku akan sampai di rumah. Pagar hidup dari tanaman teh-tehan yang menjadi ciri khas rumahku, sudah terlihat. Seminggu sekali bapak memangkas daun teh-tehan dengan menggu nakan sabit untuk menjaga kerapiannya. Agar sabit awet tajam, bapak selalu mengasahnya dengan menggunakan batu wungkal.
Air mengucur deras dari tubuhku saat aku sampai di rumah. Rupaku kelimis, persis seperti tikus yang kecemplung dalam genangan minyak jelantah. Si Manis yang tengah tidur di bawah kursi memicingkan mata, terganggu karena bulunya menjadi basah terkena kibasan tanganku. Ia menjilati bulunya sambil mendelik marah, lalu beringsut ke dalam rumah untuk mencari kehangatan.
Aku memeras baju dan celanaku sebelum masuk rumah agar air tidak berceceran di atas lantai.
“Danur, kamu hujan-hujanan lagi!” Suara ibu mengejutkan aku.
“Nyuwun pangapunten, Ibu!” Aku merasa bersalah lalu segera mlipir ke kamar mandi.