Dak duk dak duk, klontang klontang!
Dadaku terasa sakit menerima tendangan berulang-ulang. Belum lagi suara bising kaleng yang jatuh bergantian, membuat kotoran di telingaku berlompat-lompatan. Rasanya aku ingin menggelinding pergi, tetapi tangan gesit bocah lelaki itu selalu berhasil menangkap tubuhku kembali.
“Apa yang kamu lakukan di lorong belakang, Nang?” Terdengar teriakan seorang wanita dari arah dapur. Aku mengira demikian setelah mendengar bunyi kompor dihidupkan beberapa kali. Aku memang belum tahu seluk beluk tempat ini. Tadi malam, anak laki-laki yang dipanggil ‘Nang’ oleh wanita itu, membawaku dari toko yang terletak di samping depot gas elpiji.
“Saya sedang berlatih menggiring bola melewati lintasan, Bu.” Baru saja Nang selesai menjawab pertanyaan, seorang wanita muncul dengan raut wajah menampakkan rasa penasaran.
“Ya, ampun. Kalau mau berlatih itu di alun-alun. Bukan di tempat sempit seperti ini. Lagipula tidak bisa kalau menggunakan lintasan dari kaleng yang ditumpuk-tumpuk seperti itu. Selain gampang ambruk, suara bisingnya merobekkan gendang telinga Ibu!” omelnya panjang lebar.
“Cepatlah berangkat ke alun-alun. Mumpung masih pagi!” Beliau melanjutkan ucapannya.
Aku merasa tak enak hati, melihat beliau marah-marah. Bukan permintaanku, jika aku sekarang berada di sini. Bukan salahku kalau suara berisik yang kami timbulkan, jadi mengganggunya. Bukan keinginanku kalau aku menimbulkan kecanduan. Membuat para laki-laki rela begadang semalaman. Menciptakan keributan antara suami istri, karena anak-anak terganggu tidurnya akibat suara gaduh di depan televisi. Menyebabkan pekerja kantoran mendapat teguran karena tertidur di atas mejanya gara-gara terpukau pada aksiku sepanjang malam. Membuat para pendukung rela tawuran dan bertindak brutal demi membela klub kesayangan.
Aku sedih, sangat sedih. Benar-benar bukan kehendakku bila terjadi hal seperti demikian.
Aku alat permainan yang disukai oleh semua anak laki-laki. Keinginanku cukup sederhana. Aku hanya ingin melihat senyum bahagia melengkung menghiasi, setiap mereka bermain bersamaku. Karena itu aku senang ketika Nang membawaku pergi melintasi jalan beraspal. Tubuhku mengepak laksana burung sikatan. Berkejaran dengan tanaman-tanaman singkong yang berbaris di tepi jalan. Mereka saling berpegangan, menentang tiupan angin pagi yang cukup kencang.
Sayang sekali kegembiraanku tidak berumur panjang. Setiba di alun-alun, aku ditinggalkan setelah tubuhku melenting akibat tendangan dan jatuh di antara semak belukar. Hampir putus pita suaraku karena memanggil-manggil Nang, dia tetap tak mampu mendengar.
Hingga senja menyapa semesta raya, ketika alun-alun berubah menjadi pusat keramaian, aku tetap terasing terabaikan.
Dari tempatku berada, aku lihat penjual-penjual jajanan mulai menggelar dagangan. Kilatan api ditingkahi kepulan asap dari minyak goreng panas, membubung ke udara dengan jelas.
Semakin malam, orang-orang semakin banyak yang berdatangan. Laki-laki, perempuan. Tua, muda, anak-anak, bahkan bayi berkopiah. Mereka duduk-duduk di rerumputan, mengudap jajanan, atau sekedar berbincang-bincang. Langit kelam yang tak berbintang di atasku, tenggelam oleh pendar lampu-lampu taman dan kembang api yang disulut dan dipegang oleh anak-anak yang riang berlarian.
Mereka membuat hatiku diselimuti rasa iri.
Bebas bergerak sesuka hati, sementara aku dikungkung sepi. Terhimpit di antara semak belukar. Tak mampu bergerak hingga tubuhku letih dan pegal. Perlukah aku melihat kegembiraan itu? Tidak. Maka memejamkan mata adalah pilihan yang terbaik.
“Hai, cepat kemari. Ada bola di sini!”
Suara itu membuatku tersentak dan membuka mata. Seorang bocah laki-laki gundul berdiri menatapku dengan mata berbinar. Dengan cepat dipeluknya tubuhku kemudian dipamerkannya pada teman-temannya.
“Ayo, ayo. Tendang, tendang!”
Kehadiranku menambah semarak suasana malam di alun-alun. Melihat kegembiraan dan sorak-sorai anak-anak yang bermain bersamaku, mengusir rasa tak berguna yang tadi menggelayuti. Hatiku bahagia karena akhirnya keberadaanku menghadirkan keceriaan di tengah mereka. Meski anak-anak itu akan datang dan pergi, aku tak perlu bersedih lagi. Karena masih ada hari esok bagiku untuk menghibur dan bermain bersama-sama.
Aku tak lagi tersia-sia.
Dikejar dan ditendang.
Dilemparkan dan dipeluk dalam dekapan.
Permainan hanya dapat berjalan ketika aku berada di gelanggang.