Aku membayangi diriku yang melenggang ke dalam sebuah cermin. Ia mematut wajah, dan aku terkesima! Bukankah dia adalah aku? Tetapi aku tidak melihat wajah yang sama.
“Hari menjelang siang saat petani beranjak ke pematang. Di sini, aku tidak mendengarmu bicara. Ataukah kau bersuara dalam kebisuan?” bibirnya bergerak lalu ia mengucap itu dan ditujukan padaku.
“Sebenarnya bukan karena bisu. Namun aku lapar,” jawabku.
Dia, diriku yang kedua, tersenyum dari balik cermin. “Nada puitis tidak pernah dapat menjadi penawar lapar. Kecuali kau jatuh cinta.”
loading...
“Mungkin.” Aku menutup mulut, menahan tawa. “Orang bilang jatuh cinta akan menjadikan segalanya indah. Dan lapar itu indah.”